tirto.id - Donald Trump diperkirakan sudah lama tahu bahwa Rusia berada di balik serangkaian serangan peretasan yang mengintervensi Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Kondisi itu tepatnya ketika Trump mengundang Rusia untuk mencari email-email Hillary Clinton yang hilang, demikian yang diyakini Sekretaris Pers Gedung Putih Josh Earnest.
Terlebih, Trump selalu membantah laporan dinas intelijen AS bahwa Rusia berada di balik penyusupan ke lembaga-lembaga Partai Demokrat, termasuk Komite Nasional Demokrat (DNC), Komite Kampanye Senator Demokrat, dan akun email kepala tim kampanye Hillary Clinton, John Podesta.
Seperti dikutip Antara, Kamis (15/12/2016), Josh Earnest menyatakan keyakinannya bahwa Trump tahu sekali intervensi Rusia itu jauh sebelum komunitas intelijen memastikan serangan siber itu atau tepatnya Oktober silam, satu bulan sebelum pemungutan suara 8 November lalu.
"Ada cukup bukti hal itu telah lama diketahui sebelum Pemilu dan pada kebanyakan kasus jauh sebelum Oktober," kata Earnest menunjuk seruan Trump kepada Rusia untuk membantu dia meretas lawannya, Hillary Clinton.
Earnest menyatakan, Trump sebelumnya telah mengundang Rusia dalam sebuah jumpa pers pertengahan Juli silam untuk membantunya mencari email-email hilang milik Hillary Clinton. "Itulah alasan Trump mendorong Rusia untuk terus meretas," simpul Earnest. Saat itu, Trump menyatakan Rusia kemungkinan besar akan disanjung oleh media massa AS.
Pekan ini New York Times melaporkan bahwa "media massa besar yang memberitakan email-email DNC dan Podesta yang diposting oleh WikiLeaks, telah menjadi intrumen de facto dari intelijen Rusia."
Kesimpulan Earnest juga diperkuat dengan bukti media massa yang sempat memberitakanTrump pernah memuji kepemimpinan Presiden Rusia Vladimir Putin. Trump juga memilih Paul Manafort sebagai kepala tim kampanyenya padahal orang ini memiliki kaitan finansial dan pribadi yang ekstensif dan besar dengan Rusia.
"Jelas bagi mereka yang mengamati Pemilihan Presiden bahwa strategi 'retas dan bocorkan' telah diterapkan tidak setaraf kepada dua pihak [yang mengikuti Pemilu AS] dan kepada dua tim kampanye yang berbeda," kata Earnest.
Dia melanjutkan, satu pihak jelas-jelas dirugikan oleh strategi itu, sedangkan satu pihak lainnya diuntungkan.
Trump sendiri membantah intervensi Rusia itu dengan menyebutnya sebagai teori konspirasi. "Kecuali Anda bisa menangkap peretasnya, sangat sulit memastikan siapa yang meretas," tulis Trump dalam Twitter. "Mengapa ini tidak dilakukan sebelum Pemilu?"
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari