tirto.id - Pada malam, 4 November 1993, di teras sebuah rumah kosong di Jalan Langsat, berkumpullah Wahyudi, Amiruddin, Abdul Mukti, dan Tetap Sembiring. Kepada kawan-kawannya itu Wahyudi yang berprofesi sebagai tukang kebun mengeluh habis dimarahi majikannya karena menghilangkan BPKB. Ia juga curhat sedang dikejar utang, padahal ia sedang bokek.
Lalu, entah dari mana datang ide di kepala Wahyudi untuk merampok. Ide itu lantas disambut Abdul Mukti. Ia juga mengusulkan agar Amiruddin saja yang melakukannya. Amiruddin pun tak berkeberatan sama sekali. Wahyudi dan Amiruddin kemudian merencanakan merampok sebuah rumah yang potensial di bilangan Cilandak.
"Saya ada gambaran di Jl. Keuangan Raya No 19 (Cilandak, Jakarta Selatan)," kata Wahyudi.
Itu tak lain adalah rumah majikannya yang kaya raya. Mereka berdua lalu merencanakan perampokan itu dengan lebih detail. Wahyudi membeberkan semua yang ia tahu soal situasi rumah, cara masuk, jumlah penghuni, hingga barang berharga yang bisa digasak.
Di sesobek kertas bungkus rokok Amiruddin membikin denah rumah itu berdasarkan cerita Wahyudi. Lalu, berdua mereka memastikan langsung ke lokasi malam itu juga. Menjelang tengah malam Wahyudi dan Amiruddin kembali mematangkan rencana bersama Abdul Mukti dan Tetap Sembiring.
"Saya pamit ya, doakan agar sukses,” kata Amiruddin ketika berangkat pada dini hari.
"Mudah-mudahan selamat,” dukung Tetap Sembiring (Kompas, 17/11/1993).
Sesampai di rumah sasaran Amiruddin menjalankan aksinya sesuai rencana. Mula-mula dipanjatnya tembok sisi kanan rumah itu dan menyusurinya hingga ke kolam renang di belakang rumah. Di sana, di atas tempat cuci piring, ada lubang angin yang bisa disusupinya. Ukurannya tak seberapa besar, tapi dasar lihai, Amiruddin pun tak terlalu kesusahan melewatinya.
Rumah itu sepi benar, semua penghuninya sudah lelap. Sangat leluasa Amiruddin menggondol tustel, walkman dan samurai pajangan dari atas buffet di bawah lukisan di ruang tengah rumah itu. Namun, itu hanya barang sampingan. Tujuan utama Amiruddin adalah koleksi arloji dan uang tunai yang ada di kamar si empunya rumah (Kompas, 15/11/1993).
Jadi, masuklah ia ke kamar pemilik rumah itu dan mendapati koleksi arloji itu sesuai perkiraan. Amiruddin tak mau buang waktu menggasak koleksi itu. Namun, tanpa ia nyana lelaki tua pemilik rumah itu terbangun, mungkin karena suara berisik yang ditimbulkan Amiruddin.
“Maling!” teriak Pak tua itu.
Kontan saja Amiruddin panik. Pak tua itu tampak hendak mengambil kaca matanya. Refleks Amiruddin menyaut senapan yang tergantung di dinding kamar itu dan langsung memukul pak tua. Ia roboh bersimbah darah. Takut aksinya ketahuan, Amiruddin segera membereskan curiannya dan kabur (Tempo, 20/11/1993).
Esoknya, 5 November 1993—tepat hari ini 25 tahun lalu, khalayak dihebohkan oleh berita tewasnya salah satu maestro lukis terbaik Indonesia, Basoeki Abdullah. Polres Jakarta Selatan yang menangani kasus itu mengatakan, Basoeki tewas karena dipukul kepalanya oleh pencuri yang menggondol koleksi arlojinya.
Basoeki Abdullah Muda
Basoeki (Basuki) Abdullah lahir di Sriwedari, Surakarta, pada 27 Januari 1915. Ayahnya, Raden Abdullah Suryosubroto adalah pelukis naturalis terkenal pada awal abad ke-20. Raden Abdullah adalah juga putra perintis pergerakan nasional Indonesia Dokter Wahidin Sudirohusodo.
Renjana dan kepandaiannya melukis lahir dari lingkungan keluarganya. Selain sang ayah yang memang pelukis, ibunya, Raden Ayu Sukarsih adalah pembatik. Kakaknya pun, Sudjono Abdullah, adalah pelukis panorama. Ayah, kakak, dan Basoeki adalah pelukis-pelukis yang besar di masa ketika mazhab Hindia Molek sedang berkembang.
Basoeki mulai melukis sejak sangat belia. Sekitar umur 4 tahun ia sudah mulai senang menggambar persona seperti Yesus Kristus, Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, dan Khrisnamurti. Di sekolah pun perhatian Basoeki tertuju pada pelajaran menggambar dan sejarah. Pelajaran lain hanya sambil lalu saja ia pelajari. Karena itulah, Basoeki bukanlah siswa yang menonjol secara akademik.
Agus Dermawan T. dalam Basoeki Abdullah Sang Hanoman Keloyongan (2015: 22) menyebut bahwa bakat Basoeki akhirnya mendapat apresiasi dari Pastor Koch. Ialah yang kemudian membekali Basoeki dengan buku-buku pengetahuan seni lukis. Pastor Koch pula yang memungkinkannya mendapat beasiswa belajar melukis ke Belanda.
Basoeki berangkat ke Belanda pada akhir warsa 1933, usai ikut berpameran dalam pekan raya tahunan di Bandung. Kala itu Basoeki memamerkan lukisan “Pertarungan Gatotkaca Lawan Antasena” yang banyak mendapat pujian. Di Belanda ia terdaftar sebagai mahasiswa Academie voor Beeldende Kunsten Den Haag (Hlm. 40-43).
Maestro Potret
Basoeki Abdullah adalah salah satu mastro seni lukis modern Indonesia. Namanya besar di masa yang bersamaan dengan maestro Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan. Namun, ia mengambil jalan berkesenian yang berbeda dibanding ketiga maestro itu.
Sejak mulai belajar hingga dikenal sebagai pelukis, Basoeki setia kepada aliran naturalisme. Di Hindia Belanda, pada 1920-an hingga 1930-an, aliran ini lebih spesifik lagi dikenal sebagai Mooi Indie yang berciri khas romantik-turistik.
Ketika ia kembali ke Hindia Belanda pada 1937 dan menggelar beberapa kali pameran, sebuah gerakan seni rupa baru berjiwa nasionalis sedang tumbuh. Gerakan itu digawangi oleh organisasi Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) dan Sudjojono tampil sebagai tokoh utamanya. Bagi mereka, yang mengambil sikap oposisi terhadap Mooi Indie, karya-karya naturalis Basoeki berjiwa lemah dan dangkal.
“Dia membuat lukisan bertitel ‘Indonesie’ umpamanja. Saya tengok lukisan apa itu. Rupanja gambar djembatan biasa dengan gunung biru di belakang... Dia tidak mengerti sama sekali rupanya pada hidup masjarakat kita. Dia tidak mengerti bahwa pada perkataan ‘Indonesie’ itu terletak arti bersatu, bangun, bekerdja, djatuh, berkorban, berdjuang terus-menerus,” demikian kritik Sudjojono atas sebuah pameran Basoeki pada 1939 sebagai mana dikutip Agus Dermawan (hlm. 61).
Basoeki menjawab kritik itu dengan menunjuk keterbatasan aliran realisme yang banyak dianut pelukis-pelukis Persagi. Baginya realisme sangat tergantung pada konteks. Pesan lukisan realis bisa terbaca karena ia merekam momen tertentu pada suatu waktu. Sementara karya naturalis tak terbatasi waktu dan lahir secara alamiah.
“Lukisan saya boleh dikecam, namun pandangan yang melecehkan naturalisme adalah keliru besar. Naturalisme justru ibu dari realisme,” tegas Basoeki (hlm. 7).
Talenta besar Basoeki bagi sekalangan akademisi seni rupa pun dianggap laiknya “bintang di balik kabut”. Ia adalah pelukis dengan penguasaan teknik dan eksekusi yang susah dicari tandingannya. Tetapi ia tak mencetuskan wacana atau kecenderungan baru dalam proses kreatifnya.
Itu berbeda, misalnya dengan, Affandi. Di masa awal kariernya Affandi pernah melukis dengan gaya realis fotografis hingga impresionistis sebelum akhirnya ia matang dengan gaya ekspresionis dan teknik pelototan catnya yang khas. Sementara lukisan Basoeki pada 1980-an secara gaya dan teknik adalah sama belaka dengan lukisannya tahun 1930-an.
Namun, pada akhirnya jalan seni adalah pilihan masing-masing. Nama Basoeki mungkin tak akan setenar sekarang jika ia berganti aliran. Justru karena konsistensi itulah namanya kokoh sebagai maestro lukisan naturalis dan potret.
Basoeki Abdullah dikenal sebagai pelukis potret tokoh-tokoh penting Indonesia dan dunia. Tokoh yang pernah dilukisnya antara lain: Sukarno, Fatmawati, Soeharto, Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit, Ferdinand dan Imelda Marcos, Norodom Sihanouk, Sultan Hassanah Bolkiah, hingga Paus Johanes Paulus II.
Ia memacak standar tinggi bagi pelukis potret Indonesia. Komentar dari tokoh kebudayaan L. Soebijat dalam sebuah majalah pada 1939 yang dikutip oleh Agus Dermawan ini (hlm. 60) agaknya cukup untuk menjelaskannya:
“Kepandaian Basoeki melukis potret (orang) sudah sulit untuk disaingi. Ia tak hanya bisa melukis wajah secara persis, mencampur warna, tetapi ia sanggup membuat yang dilukis seolah-olah bernyawa, hingga lukisannya bukan sekadar gambar yang enak dipandang seperti sebuah potret yang persis dengan orangnya, namun juga menyampaikan perasaan, karakter, dan ekspresi)
Karena itulah, pada masanya lukisan Basoeki adalah salah satu yang termahal di Indonesia. Sebagai gambaran, seperti dilaporkan dalam majalah Tempo (20/11/1993), satu lukisannya yang berukuran 60 cm x 80 cm saja harganya Rp20 juta. Itu adalah yang termurah dan ia masih memiliki ratusan lukisan di galerinya dalam berbagai ukuran.
Basoeki pernah pula menggarap lukisan kolosal yang memampang wajah para kepala negara Nonblok. Untuk lukisan itu Basoeki baru mau melepasnya dengan mahar Rp1 miliar. Karena tingginya harga lukisannya, Basoeki pernah terhambat menggelar pameran di TIM. Untuk berjaga-jaga ia mengasuransikan lukisan-lukisannya dengan premi sebesar Rp135 juta dan itu dibebankan kepada pengelola TIM. Tentu saja itu ditolak.
“Dari mana mendapat uang, buat pameran saja sulit,” kata Soetopo, wakil manajer Bina Artistik TIM ketika itu, sebagaimana dikutip Tempo.
Tak heran ia bisa hidup mewah hanya dari hasil melukis. Namun, sayangnya kemewahan itu pulalah yang menjadi penyebab kematiannya yang mendadak. Ia dirampok oleh tukang kebunnya sendiri dan komplotannya.
Editor: Suhendra