Menuju konten utama

Toilet, Tempat Menggali Inspirasi yang Belum Dinikmati Semua Orang

Toilet sering kali jadi tempat mendapatkan inspirasi. Di Indonesia, fasilitas dasar seperti ini bahkan belum bisa dinikmati semua orang.

Toilet, Tempat Menggali Inspirasi yang Belum Dinikmati Semua Orang
Ilustrasi Toilet. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Banyak orang tentu paham bahwa Martin Luther adalah tokoh yang sangat penting di balik lahirnya agama dengan pemeluk lebih dari 1 miliar jiwa. 95 Tesis yang ditempel di pintu gereja adalah protes dan perlawanan penting terhadap Gereja Katolik Roma. Itu adalah awal dari lahirnya agama Kristen Protestan.

Namun tidak semua orang tahu bahwa Luther punya masalah dengan perutnya. Dia sering kali mengalami konstipasi atau sembelit.

Sekitar tahun 2008, kelompok arkeologis asal Jerman mengungkap sebuah penemuan menarik yang terkait dengan penyakit Luther ini. Mereka awalnya melakukan rekonstruksi terhadap kehidupan rumah tangga Luther. Selama lima tahun mereka melakukan penggalian di tiga lokasi bekas tempat tinggal Luther, antara lain terhadap tangki bir, panci, dan beberapa barang pribadi seperti gelang pernikahan istrinya.

Dari situ tim memperkirakan bahwa Luther sebenarnya keluarga yang cukup mapan. Hal ini terindikasi dari berat badan Luther yang, ketika meninggal di umur 63, sekitar 150 kg. Keluarganya juga rutin makan daging babi dan ikan yang tergolong mahal.

Ditemukan juga toilet yang pernah digunakan Luther lebih dari 470 tahun yang lalu. Toilet itu terbuat dari batu dengan tempat duduk sekitar 30 cm persegi. Di sanalah para arkeolog percaya Luther menuntaskan ide pikirannya tentang 95 Dalil--yang mengubah sejarah.

Direktur Luther Memorial Foundation Stefan Rhein mengatakan selama ini ada anggapan kuat bahwa Luther menuangkan idenya saat berada di gorong-gorong. Akhirnya mereka tahu bahwa gorong-gorong itu tidak lain toilet rumah Luther sendiri.

“Ini penemuan yang luar biasa,” kata Rhein.

Sukarno, presiden pertama Indonesia, juga punya cerita yang menarik tentang toilet. Sukarno bahkan tidak bisa meninggalkan kebiasaan membaca meski ada di toilet. Bahkan di kamar mandi ada meja yang khusus menyimpan buku-buku yang dibaca saat beraktivitas di dalamnya.

Satu kisah lagi lumayan lucu, yaitu tentang tidak adanya toilet.

Ceritanya, setelah bertemu dengan perwakilan Jepang di Saigon, Vietnam, pada Agustus 1945, Sukarno bersama Mohammad Hatta dan dr. Radjiman Wedyodiningrat bertolak ke Indonesia melalui Singapura dengan pesawat yang sudah uzur. “Hawa dalam pesawat amat dingin” karena dinding penuh lubang-lubang bekas peluru, demikian dicatat R. Soeharto, dokter pribadi Sukarno, dalam Saksi Sejarah (1982).

Sukarno kemudian ingin buang air kecil. Masalahnya, tidak ada urinoar atau barang lain yang fungsinya serupa. Ia lantas diperbolehkan membuang air di lantai belakang pesawat. Namun, karena banyak lubang, “maka airnya pun bercipratan dan bertempias ke mana-mana di dalam pesawat akibat tiupan angin.”

“Kawan-kawanku yang malang terpaksa mandi dengan zat cair itu. Dalam keadaan setengah basah inilah Pemimpin Besar dari Revolusi Indonesia sampai di Jakarta,” kata Sukarno seperti dikutip dari Historia. Konon Hatta dan Radjiman tertawa ketika air seni Sukarno merebak di pesawat.

Sukarno, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, “kalau kencing harus cepat” karena bermasalah dengan ginjal. Selain peristiwa di pesawat, Sukarno juga pernah menepi di tengah perjalanan dari Jakarta menuju Istana Bogor menggunakan mobil untuk kencing. “Jadi tidak harus menunggu, justru akan sakit,” kata Asvi dilansir Merdeka.

Fasilitas Dasar yang Belum Selesai

Selain bisa menjadi ruang mencari inspirasi seperti kasus Luther, Sukarno, dan sebagian orang lain, tentu saja toilet dibutuhkan untuk fungsinya yang paling dasar: tempat buang hajat.

Sayangnya bahkan fasilitas dasar seperti ini saja belum dimiliki semua orang. UNICEF mencatat bahwa setidaknya 25 juta orang di Indonesia tidak menggunakan toilet. Biasanya mereka menuntaskan hajat di ruang terbuka macam padang rumput, selokan, parit, jalan, atau sungai.

“Buang air besar sembarangan bukan hanya merendahkan martabat manusia, tetapi juga berisiko besar terhadap kesehatan anak dan masyarakat,” catat UNICEF.

Fungsi toilet untuk kesehatan amat jelas. Buang air besar sembarangan bisa menimbulkan beberapa penyakit seperti diare, kolera, disentri, hepatitis A, atau pun tifus. Sedangkan buruknya sanitasi kerap membuat anak diare atau gangguan pencernaan seperti giardiasis.

Penulis The Conversation Juhri Selamet bahkan mengatakan toilet yang tidak baik sering juga mengakibatkan murid perempuan enggan mengganti pembalut di sekolah. Dampaknya, mereka kerap tidak melanjutkan jam pelajaran atau lebih parah lagi terkena gangguan reproduksi.

Karena itu wajar jika, menurut Juhri, “membicarakan toilet bukan sekadar masalah buang air. Ini soal kesehatan dan masa depan kita semua.”

Ombudsman Indonesia mengemukakan penyediaan sarana dan prasarana seperti toilet umum sebenarnya sudah diatur dalam beberapa aturan seperti UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 48 tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran. Namun di lapangan sering kali ditemui hal-hal di luar ketentuan.

Misalnya, jumlah ideal bilik toilet. Satu bilik toilet diperuntukkan bagi 50 orang dan di tempat wisata sekitar 25-100 orang.

Pada 2016 lalu Ombudsman menemukan sebuah SMP negeri hanya dilengkapi dengan empat toilet. Agar siswa dapat buang air, mereka “harus lari ke hutan atau harus menunggu sampai pulang sekolah.” Kondisi toilet kemudian jadi salah satu indikator orang tua memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Karena toilet terbatas, SMP tersebut mengalami penurunan jumlah murid baru dari 116 menjadi 97.

Infografik toilet

Infografik toilet

Kesulitan mengakses toilet umum tidak hanya di gedung atau sekolah, tapi juga ruang terbuka publik lain seperti pasar, taman, dan tempat wisata.

Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada tahun lalu sebenarnya sudah meluncurkan program Revitalisasi Toilet Destinasi Wisata. Namun, selain masih dalam tahap uji coba, hanya lima destinasi wisata yang menjadi target.

Jajak pendapat Kompas tahun 2016 lalu menyebut 28 persen orang menganggap pasar adalah tempat yang kurang toilet, 27 persen menyebut taman, dan terminal-stasiun sebanyak 23 persen.

Belum lagi jika bicara perbandingan toilet perempuan dan laki-laki yang sering kali persentasenya 1:1. Asosiasi Toilet Indonesia (ATI) menyatakan idealnya jumlah toilet perempuan seharusnya dua kali toilet laki-laki. Ini karena perempuan membutuhkan waktu di toilet lebih lama.

Tentu ini belum termasuk kondisi toilet yang ada. Anda mungkin saja pernah punya pengalaman buruk dengan fasilitas yang satu ini, entah itu bau, kotor, tidak ada air pembilas, atau pintu tak bisa terkunci rapat.

Kesiapan Indonesia untuk sekadar menyediakan fasilitas toilet umum yang layak dan cukup ternyata masih sangat panjang.

Baca juga artikel terkait TOILET atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino