tirto.id - Penanganan kasus pidana yang menetapkan Kopda F dan Serka N sebagai tersangka penganiayaan dan pembunuhan seorang kepala cabang BRI dilakukan melalui mekanisme peradilan militer. Bukan cuma diadili di pengadilan militer, tetapi sejak awal penyidikan dua prajurit TNI AD itu dilakukan Polisi Militer Kodam Jaya.
Menurut Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen Wahyu Yudhayana, kedua tentara itu berstatus aktif sehingga mekanisme peradilan militer relevan ditempuh. Namun, dia memastikan proses penegakan hukum sesuai koridor untuk memastikan hukuman setimpal.
"Saat ini masih berlanjut pemeriksaan para tersangka. Arahan KSAD diproses sesuai aturan berlaku karena TNI AD tidak akan melindungi tindakan prajurit yang melawan hukum," ujar Wahyu dalam sesi temu media massa di Mabes AD, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Kini dua tersangka berstatus tentara dari satuan Kopasus itu masih menjalani pemeriksaan dari internal Pomdam Jaya. Keduanya juga disebut Wahyu ditahan di Pomdam Jaya dengan level keamanan maksimal. Mereka diproses hukum merujuk UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Dalam perspektif Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang dikutip dari laman resmi, mengkritik alasan soal prajurit aktif tak bisa diadili di pengadilan umum. Ada sejumlah beleid yang berbenturan dengan UU tentang peradilan militer.
Pertama, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan ‘setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.’ Artinya, semua warga negara yang terlibat masalah hukum mendapatkan perlakuan yang sama dari aparat penegak hukum.
Kedua, Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri menyatakan ‘Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.’
Ketiga, Pasal 65 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI berbunyi ‘Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.’
Keempat, Pasal 198 UU No. 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer menyatakan, ‘Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.’
Kelima, asas hukum yang berbunyi ‘Lex Posterior Derogat Legi Priori‘ yang artinya peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Dengan kata lain TAP MPR yang terbit pada tahun 2000 dan UU TNI yang terbit pada tahun 2004 mengesampingkan UU Peradilan Militer yang terbit pada tahun 1997.
Dalam perkara yang menewaskan Ilham Pradipta ini, Kopda F dan Serka N terlibat dari awal sampai akhir rangkaian peristiwa. Komandan Pomdam Jaya, Kolonel CPM Donny Agus, mengatakan peranan Kopda F dalam kasus ini mulanya bertindak sebagai perantara.
Dia melakoni tugas penghubung antara para aktor intelektualis dengan tim yang bertugas untuk menculik korban yaitu EW dan tersangka lain.
Keterlibatan Kopda F tidak lepas dari peran Serka N, yang mengajak koleganya itu untuk menculik paksa korban demi imbalan uang Rp95 juta. Serka N juga termasuk tersangka yang dikategorikan sebagai aktor utama dan ikut melakukan penganiayaan.
Melalui tangan Serka N, tubuh korban dibuang di kawasan Bekasi dalam kondisi tubuh lemas setelah dianiaya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Bayu Septianto
Masuk tirto.id


































