tirto.id - Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan angkat bicara soal rencana penempatan perwira TNI aktif di sejumlah lembaga sipil. Ia merasa rencana yang digagas pemerintah bukan masalah besar.
Menurut Luhut, penempatan perwira TNI di institusi sipil atau kementerian dibutuhkan buat mengisi pos yang memang memerlukan kemampuan mereka. Sehingga ia meminta pihak yang keberatan menjelaskan keberatan mereka.
“Kalau ada yang keberatan, coba dijelaskan keberatannya di mana?” kata Luhut, Jumat (22/2/2019).
Memicu Reaksi Masyarakat Sipil
Permintaan Luhut kepada para pihak yang merasa keberatan ditanggapi sejumlah pegiat demokrasi dan pemerhati militer. Rivanlee Anandar, peneliti Kontras, menyampaikan argumen keberatannya. Ia berkata, Kontras keberatan dengan ide tersebut.
Menurutnya, penempatan perwira TNI di institusi sipil atau kementerian mengganggu karir pegawai sipil di institusi mereka. Pegawai punya hak untuk mendapatkan karir yang baik jika mereka punya potensi dan mumpuni duduk di jabatan lebih tinggi.
“Wacana menempatkan perwira ke dalam tubuh pemerintah sama saja menunjukkan kegagalan Panglima TNI dalam melakukan reformasi internal institusinya,” kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Jumat malam.
Senada dengan Rivanlee, Kepala Divisi Advokasi YLBHI Muhammad Isnur juga keberatan dengan rencana pemerintah itu. YLBHI yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil bahkan sudah membuat petisi penolakan.
“Di petisi itu kami sudah sampaikan keberatan,” kata Isnur kepada reporter Tirto.
Dalam petisi itu, mereka menyoroti masalah penataan militer yang sebaiknya didasarkan pada pertimbangan lingkungan strategis organisasi. Selain itu, Koalisi mengingatkan fungsi dasar TNI dan reformasi TNI yang diamanatkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Isnur juga mengkritik pernyataan Luhut. Menurut dia, Luhut tak sadar kapasitas dengan melontarkan pernyataan soal keberatan itu. Isnur menyebut, Luhut seharusnya tahu ada UU TNI dan taat pada UU tersebut.
“Dalam kapasitas apa dia bicara? Karena sebenarnya dia, kan, Menko Maritim? Dalam konteks dia bicara sebagai pejabat publik, seharusnya dia punya etika dan memperhatikan kapasitas,” kata Isnur.
Tanggapan serupa juga disampaikan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Tri Sasongko. Dadang berpandangan, rencana penempatan perwira TNI di institusi sipil atau kementerian merupakan langkah mundur dalam reformasi dan merusak iklim demokrasi Indonesia.
“Saya sangat keberatan. Penempatan para perwira TNI ke birokrasi sipil jelas akan melemahkan demokrasi yang sudah kita perjuangkan dan bangun selama 20 tahun terakhir,” kata Dadang kepada reporter Tirto.
Dadang juga menyoroti pandangan Luhut soal kemampuan sipil yang lemah. Menurut dia, pandangan tersebut tak bisa jadi alasan buat merekrut militer ke dalam institusi sipil. Ia balik curiga, upaya pemerintah memberi ruang bagi perwira TNI menjadi pejabat di kementerian sipil justru bermuatan politis.
“Khawatirnya, ini, kok, hanya dijadikan komoditas politik untuk pilpres, khususnya untuk mengambil hati kalangan militer,” kata Dadang.
Ditanggapi Pejabat Negara dan Politikus
Selain aktivis masyarakat sipil, komentar juga datang dari Komisioner Komnas HAM Chairul Anam. Anam mendasarkan keberatannya pada Pasal 47 UU TNI. Dasar keberatan ini, kata dia, yang membuat dia tak setuju dengan pendapat Luhut.
“Apa yang dikatakan Pak Luhut bisa bertabrakan dengan pasal 47 UU TNI dan semangat reformasi,” kata Anam.
Anam bukan hanya tak sepakat dengan penempatan perwira ini, tapi juga dengan kenaikkan pangkat dan peningkatan status komando teritorial serta rencana revisi UU TNI. Kesemuanya itu dianggap Anam sebagai upaya mengembalikan dwifungsi yang sudah lama dihapus demi kepentingan profesionalisme TNI.
Lebih dari itu, kata Anam, penempatan perwira TNI di kementerian atau institusi sipil bakal menghambat upaya reformasi peradilan militer. Ia sulit membayangkan upaya penegakan hukum jika TNI aktif yang ditempatkan pada jabatan sipil melakukan tindak pidana pada jabatan sipil.
“Pasti akan terjadi tarik menarik yurisdiksi antara peradilan militer dan umum, bahkan penerapan koneksitas pun akan mengalami masalah,” kata Anam.
Keberatan-keberatan seperti tertulis di atas, juga dirasakan Rachland Nashidik, politikus Partai Demokrat. Rachland bahkan mengajak Luhut berdebat untuk menjelaskan poin-poin keberatannya.
Saat dihubungi, Rachland tak mau menjelaskan poin detail keberatannya. Namun, kata dia, salah satu poin yang bikin ia ingin berdebat adalah langkah Luhut yang bertolak belakang dengan semangat reformasi TNI. Upaya tersebut harus dilawan demi demokrasi Indonesia.
“Luhut disebut ‘buldozer’ politik Jokowi. Harus ada yang berani menghadapi atas nama demokrasi,” kata Rachland kepada reporter Tirto.
Makna buldozer yang dimaksud Rachland mengaju pada pemberitaan sejumlah media. Istilah ini muncul saat Luhut membela Arcandra Tahar, yakni berusaha menjaga dan melawan mereka yang menggangu.
Pada sisi lain, Rachland menduga ada upaya politis dari rencana penempatan perwira ini. Ia khawatir, kebijakan tersebut berkaitan kepentingan Pilpres 2019.
“Ini diumumkan menjelang pemilu. Absah untuk menduga ini dengan motif politik. Dengan kata lain, absah menduga, Jokowi menarik TNI ke politik,” kata Rachland.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih