Menuju konten utama

Sengketa Lahan Hotel Sultan, Bagaimana Tinjauan Hukumnya?

Sengketa lahan antara PT Indobuildco & pemerintah terkait status tanah Hotel Sultan, dipersoalkan apakah berdiri di atas tanah HPL atau tanah negara bebas.

Sengketa Lahan Hotel Sultan, Bagaimana Tinjauan Hukumnya?
Hotel sultan debat kedua pilpres 2019. FOTO/Googlemaps

tirto.id - Sidang lanjutan perkara antara Hotel Sultan lewat PT Indobuildco sebagai penggugat melawan Pemerintah Indonesia kembali digelar pada Selasa, 8 Oktober 2025, di Jakarta. Perkara perdata dengan Nomor 208/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst menggugat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK), Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Keuangan, serta Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat.

Dalam sidang lanjutan, PT Indobuildco menegaskan argumennya bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora (yang menjadi lokasi berdirinya Hotel Sultan) diterbitkan di atas tanah negara bebas, bukan di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) No. 1/Gelora. Oleh karena itu, menurut pihak Indobuildco, pembaruan HGB tersebut seharusnya tidak memerlukan rekomendasi dari Mensesneg maupun PPKGBK sebagai pemegang HPL 1/Gelora.

Dalam gugatan tersebut, PT Indobuildco juga menuntut ganti rugi atas tanah dan bangunan yang mereka kelola sebesar kurang lebih Rp 28 triliun.

Kasus ini berakar dari rencana pemerintah mengeksekusi putusan pengadilan atas HPL No.169/HPL/BPN/89 atas Blok 15 Kawasan GBK dengan luas lahan total mencapai 2.664.210 meter persegi. Putusan tersebut menyatakan tanah yang disengketakan akan kembali menjadi milik negara. Selain itu HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora yang habis pada awal 2023, tidak dapat diperpanjang.

HGB Hotel Sultan sendiri tercantum dalam HGB Indobuildco No.26/Gelora dan No. 27/Gelora. HGB No. 26/Gelora berakhir pada 4 Maret 2023. Sementara, HGB No. 27/Gelora berakhir pada 3 April 2023. Pada tahun 2024, Kementerian Sekretariat Negara sudah melayangkan somasi sejak 2024 untuk mengosongkan bangunan tersebut.

PT Indobuildco merupakan pengelola dan pemilik Hotel Sultan sejak tahun 1982. Perusahaan ini dimiliki oleh Pontjo Sutowo yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Adiguna Shipyard. Hotel Sultan berdiri di atas lahan seluas 13 hektare yang dimuat dalam dua sertifikat HGB, yaitu HGB No. 26 dan No. 27/Gelora.

Argumentasi Hukum Pemerintah

Dalam rangka memperkuat argumennya, pihak pemerintah melalui Mensesneg dan PPKGBK menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Maria S.W. Sumardjono, sebagai ahli hukum agraria.

Dalam kesaksiannya di persidangan, Maria menegaskan bahwa tanah yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada kurun 1959–1962 itu, merupakan tanah yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan (HPL).

“Sejak pembebasan tanah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan pembayaran ganti rugi kepada masyarakat untuk keperluan Asian Games ke-IV tahun 1962, maka pada saat itu juga Pemerintah Republik Indonesia memiliki hak beheer (hak penguasaan) terhadap tanah tersebut,” ucap Maria dalam persidangan, dikutip dari situs Sekretariat Negara, Rabu (8/10/2025).

“Hak ini kemudian secara otomatis dikonversi menjadi HPL berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, tetapi tidak ada pembatasan jangka waktu untuk melakukan pendaftaran,” sambung Maria dalam persidangan.

Maria juga menjelaskan bahwa terbitnya HPL 1/Gelora atas nama Kementerian Sekretariat Negara yang diwakilki oleh PPKGBK pada tahun 1989, adalah bentuk pengadministrasian terhadap tanah negara yang sebelumnya telah dibebaskan dan dibayar ganti rugi oleh pemerintah dalam rangka Asian Games ke-IV pada kurun tahun 1959 - 1962.

Ia menegaskan bahwa bila HGB menyebutkan dasar perolehannya adalah izin penggunaan tanah, maka hak tersebut secara hukum terbit di atas tanah HPL.

Sidang sengketa tanah Hotel Sultan

Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria Sumardjono (tengah) menyampaikan keterangan sebagai Ahli pada sidang gugatan PT Indobuildco terhadap Kementerian Sekretariat Negara dan PPKGBK tarkait sengketa tanah Hotel Sultan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (7/10/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Ahli Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria Sumardjono yang diajukan oleh Kementerian Sekretariat Negara dan PPKGBK. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

Berkaca pada hal tersebut, “maka HGB 26/Gelora dan HGB 27/Gelora berada di atas tanah HPL 1/Gelora. Oleh karenanya, dengan berakhirnya HGB 26/Gelora dan HGB 27/Gelora sejak 3 Maret 2023 dan 3 April 2023, bidang tanah dimaksud telah kembali menjadi bagian dari HPL 1/Gelora,” ucap kuasa hukum Menteri Sekretaris Negara dan PPKGBK Kharis Sucipto dalam keterangan yang sama.

Sebelumnya, pada 13 Desember 2023, Kantor Pertanahan Jakarta Pusat menyatakan permohonan pembaruan HGB 26/Gelora dan HGB 27/Gelora tidak dapat ditindaklanjuti. Alasannya adalah karena PT Indobuildco tidak memperoleh rekomendasi atau izin tertulis dari Kementerian Sekretariat Negara (diwakili PPKGBK) sebagai pemegang HPL, sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Terkait dengan masih berlangsungnya aktivitas komersial oleh PT Indobuildco –setidaknya sampai dengan Oktober 2025, di atas tanah eks HGB yang masa berlakunya telah habis, Maria menyatakan bahwa tindakan tersebut termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum.

“Tindakan itu adalah perbuatan melawan hukum. Karena hubungan hukum antara badan usaha dengan tanah HGB sudah hapus. Sehingga, pemegang HPL berhak untuk meminta badan usaha dimaksud mengosongkan serta mengembalikan tanah dan bangunan di atas tanah HGB tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, pihak PPKGBK menegaskan bahwa lahan dan bangunan yang saat ini ditempati Hotel Sultan merupakan bagian dari aset negara. Tanah tersebut tercatat dalam Sertifikat HPL Nomor 1/Gelora atas nama Sekretariat Negara dan telah ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN).

Pihak Kuasa Hukum PPKGBK, menyampaikan bahwa keberadaan HPL tersebut telah dinyatakan sah melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya, status hukum tanah tersebut tidak lagi dapat diganggu gugat secara hukum. Mereka juga menilai ini sebagai perkara yang berulang-ulang.

Batas waktu PT Indobuildco tinggalkan Hotel Sultan

Warga melintas di depan Hotel Sultan, kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (29/9/2023). Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) memberi waktu kepada PT Indobuildco untuk meninggalkan Blok 15 Kawasan GBK atau di Hotel Sultan sampai hari ini, Jumat 29 September 2023. Untuk diketahui bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) PT Indobuildco telah habis, HGB itu sebelumnya diterbitkan pada 1973 dan diperpanjang kembali selama 20 tahun pada 2002, dan habis pada tahun 2023. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

Penjelasan Kuasa Hukum Hotel Sultan

Sementara itu, Kuasa Hukum PT Indobuildco Hamdan Zoelva menegaskan bahwa sertifikat HGB No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora, yang menjadi dasar hukum kepemilikan lahan Hotel Sultan, diterbitkan di atas tanah negara bebas, bukan di atas lahan yang telah dilekati HPL.

“Saya beri ilustrasi: tahun 1971 saya dapat HGB di Jalan Thamrin (sekarang Jalan Sudirman). HGB kan 30 tahun ya, kemudian tahun 2003 ini diperpanjang. Yang perpanjang Badan Pertanahan Nasional (BPN),” ceritanya saat ditemui Tirto di kantor hukum Zoelva & Partners, Jumat (10/10/2025).

Dalam kasus itu, di tengah masa berlaku HGB tersebut, tiba-tiba muncul pihak lain yang mengklaim HPL atas lahan yang sama, menurut Hamdan, maka yang sah tetaplah HGB yang lebih dahulu terbit.

"Tahun 1989, HGB ini masih ada, keluarlah HPL. Pertanyaannya, mana yang benar: HGB atau HPL? Saya punya sertifikat duluan, tiba-tiba muncul HPL. Selisihnya hampir 20 tahun. Siapa yang benar?" ujarnya.

Sementara dalam kasus Hotel Sultan, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi itu menegaskan bahwa HGB milik PT Indobuildco sudah terbit lebih dahulu sebelum ada HPL. Oleh karena itu, menurutnya tidak ada dasar hukum yang mewajibkan PT Indobuildco meminta izin untuk memperpanjang HGB mereka.

“Hotel Sultan dapat lebih dulu HGB. Masa minta izin kepada Sekneg untuk memperbanyak atau perbarui? Nggak ada urusannya,” ujarnya.

Batas waktu PT Indobuildco tinggalkan Hotel Sultan

Warga melintas di depan Hotel Sultan, kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (29/9/2023). Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) memberi waktu kepada PT Indobuildco untuk meninggalkan Blok 15 Kawasan GBK atau di Hotel Sultan sampai hari ini, Jumat 29 September 2023. Untuk diketahui bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) PT Indobuildco telah habis, HGB itu sebelumnya diterbitkan pada 1973 dan diperpanjang kembali selama 20 tahun pada 2002, dan habis pada tahun 2023. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

Hamdan menyoroti bahwa tudingan perpanjangan tanpa izin ini sempat menyeret beberapa pejabat ke ranah hukum, termasuk Kepala BPN dan Dirut PT Indobuildco, namun semua akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Ia menekankan bahwa perpanjangan HGB dilakukan sesuai dengan aturan: HGB pertama diberikan selama 30 tahun, kemudian dapat diperpanjang selama 20 tahun, dan setelah itu dapat diperbaharui kembali selama 30 tahun.

“Hotel Sultan waktu perpanjangan tahun 2003, nggak ada izin dari Setneg –memang gara-gara tidak minta izin, Pak Pontjo dikriminalisasi, tapi kan bebas. Kemudian, Kepala BPN yang memberikan perpanjangan, itu bebas juga. Jadi, perpanjangan HGB-nya tidak perlu izin Setneg. Karena apa? Karena bukan di atas tanah HPL. Ini HGB murni,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa perpanjangan HGB dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

“Setelah perpanjangan 20 tahun, pemegang HGB yang berakhir haknya dilindungi oleh hukum untuk mendapatkan pembaruan HGB selama 30 tahun. Otomatis, kecuali dia salah gunakan, atau ada perubahan tata kota. Sekarang, nggak ada perubahan apa-apa. Karena itu negara, pemerintah wajib memperbaharui HGB 30 tahun untuk Hotel Sultan,” ujarnya.

Hamdan juga menyatakan berbeda pandangan dengan Guru Besar FH UGM, Maria Sumardjono. Hamdan berpendapat bahwa secara hukum, suatu HPL tidak otomatis lahir hanya karena adanya proses pembebasan lahan oleh pemerintah. Ia menekankan bahwa HPL secara sah baru dianggap ada, apabila telah diterbitkan sertifikatnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Ada SK Gubernur dan SK Menteri Dalam Negeri yang memberikan tanah itu kepada PT Indobuildco untuk diterbitkan HGB. Kalau memang tanah HPL, nggak boleh dong, gubernur menyerahkan tanah itu kepada PT Indobuildco tahun 1971, kalau memang HPL nya sejak tahun 1959,” ujarnya.

Status Tanah Bebas atau Tanah Pembebasan, Penting untuk Dipastikan

Dalam kasus Hotel Sultan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Zakiul Fikri menekankan, pentingnya untuk terlebih dahulu memastikan objek lahan yang disengketakan. Apakah benar itu merupakan tanah yang dulu dibebaskan untuk pembangunan infrastruktur penunjang Asian Games atau bukan?

Bagian ini, menurut Zakiul, menjadi kunci awal dalam memahami akar dari sengketa yang terjadi. “Anggap benar bahwa tanah tersebut merupakan hasil pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah. Maka, kita harus tarik dulu garis pemahaman perihal bagaimana riwayat kemunculan dan apa yang dimaksud dengan HPL,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (10/10/2025).

Ia merujuk pada sejarah politik hukum agraria di Indonesia. HPL pertama kali dikenalkan melalui Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah dan Kebijaksanaan, sebagai regulasi teknis dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara.

Zakiul yang juga Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menjelaskan bahwa HPL muncul sebagai bentuk penguasaan atas tanah-tanah negara yang tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum dengan hak atas tanah tertentu, dan bukan pula hak ulayat.

“Terjadinya tanah negara itu banyak, salah satunya karena adanya peristiwa hukum pelepasan hak dari orang perorangan kepada negara yang disertai dengan ganti kerugian,” ujarnya.

Dalam konteks Hotel Sultan, ia menilai bahwa tanah tersebut termasuk tanah negara yang timbul dari pelepasan hak dengan kompensasi. Dengan demikian, secara prinsipil, pihak yang membayar ganti rugi atas tanah tersebut—dalam hal ini pemerintah—memiliki hak prioritas atas tanah tersebut, atau dalam istilah lama dikenal sebagai hak beheer atau penguasaan.

“Jadi, kalau pemerintah yang membebaskan tanah-tanah itu dahulunya, maka itu tanah negara dengan hak prioritas ada pada kementerian atau departemen yang membebaskan lahan,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa PP No. 8/1953 mengatur agar tanah negara yang telah ada dikuasai departemen/kementerian/lembaga langsung diberi penguasaan kepada departemen bersangkutan. Sementara untuk tanah negara yang belum ada penguasaannya diberikan kewenangan kepada menteri dalam negeri.

Sementara, Permen Agraria No. 9/1965 menyebut, jika sudah dikuasai departemen, lahan diberi konversi menjadi hak pakai. Jika di atas tanah yang telah dikuasai departemen tersebut terdapat kepentingan pihak ketiga maka dikonversi menjadi HPL.

“Jadi, begini awal mula munculnya HPL. Dan memang sejak semula, HPL itu diperuntukkan atas tanah-tanah negara yang ingin diusahakan oleh pihak ketiga, baik orang perorangan ataupun badan hukum,” ujarnya.

Ia menegaskan pentingnya membedakan antara tanah negara bebas dan tanah negara yang berasal dari proses pembebasan oleh instansi pemerintah. Jika tanah negara itu lahir dari proses pembebasan oleh departemen, kementerian, atau lembaga tertentu, maka tanah tersebut bukan termasuk kategori tanah negara bebas.

Bagaimana dengan polemik HPL yang terbit setelah HGB?

Zakiul dari CELIOS berpendapat bahwa secara hukum HPL yang terbit setelah HGB tidak menjadi masalah, asalkan ditinjau dari riwayat lahan yang bersangkutan.

“Secara hukum ga ada masalah, sebab kalau dilihat dari sisi riwayat lahan kalau emang benar hasil dari pelepasan hak maka memang seharusnya itu dasarnya berbentuk HPL, apabila dikelola pihak ketiga. Di atas HPL baru diterbitkan HGB/HP sesuai peruntukkan lahan oleh yang bersangkutan,” ujarnya.

Ia menyebut bahwa apabila HGB di atas tanah negara tidak diperpanjang, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan negara. Terlebih lagi, jika tanah yang dimaksud adalah tanah negara yang bukan tergolong tanah negara bebas.

Namun demikian, menurutnya, negara tetap tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Pemerintah berkewajiban memberikan keterangan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan atas keputusan untuk tidak memperpanjang atau memperbarui HGB tersebut.

“Jadi, gak boleh juga pemerintah menolak perpanjangan maupun pembaharuan HGB seseorang/badan hukum secara semena-mena. Bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 dan 13 UUPA 1960,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PENGOSONGAN HOTEL SULTAN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto