tirto.id - TikTok Shop membantah adanya bisnis lintas batas (cross-border) di dalam platformnya. Manajemen TikTok Shop menyebut, selama ini perusahaan berkomitmen untuk memberdayakan penjual dan Usaha Kecil Menengah Mikro (UMKM) di Indonesia.
"Kami ingin mengklarifikasi bahwa tidak ada bisnis lintas batas (cross-border) di TikTok Shop Indonesia," demikian dikutip keterangan resmi kepada Tirto, Jakarta, Jumat (14/7/2023).
TikTok Shop menegaskan, akan terus berinvestasi di Indonesia. Salah satunya adalah inisiatif TikTok Jalin Nusantara yang telah diumumkan pada acara TikTok SEA Impact Forum.
Dalam keterangannya, TikTok juga membantah project S berpotensi ada di Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan, terdapat bisnis lintas batas atau cross-border di TikTok Shop Indonesia melalui project S TikTok Shop seperti yang pertama kali mencuat di Inggris. Dia menduga media itu jadi pintu masuk produk impor.
“Sekarang mereka klaim produk yang dijual bukan produk luar. Kata siapa, ketika saya mau bikin kebijakan subsidi untuk UMKM di online waktu COVID-19, semua pelaku e-Commerce tidak bisa memisahkan mana produk UMKM mana produk impor. Yang mereka bisa pastikan adalah yang jualan di online adalah UMKM dan mereka tidak bisa pastikan produknya ini, jadi jangan bohongi saya,” kata Menkop UKM dikutip Antara, Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Pemerintah melihat fenomena project S TikTok Shop di Inggris akan merugikan pelaku UMKM jika masuk ke Indonesia. Project S TikTok Shop dicurigai menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di Cina.
“Di Inggris itu 67 persen algoritma TikTok bisa mengubah behavior konsumen di sana dari yang tidak mau belanja jadi belanja. Bisa mengarahkan produk yang mereka bawa dari Cina. Mereka juga bisa sangat murah sekali,” jelas Teten.
TikTok Shop dinilainya menyatukan media sosial, cross-border commerce dan retail online. Dari 21 juta pelaku UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, mayoritas yang dijual di online adalah produk dari Cina.
Sehingga jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat, maka pasar digital Tanah Air akan didominasi oleh produk-produk dari Cina.
Kendati demikian, Teten menegaskan bahwa, ia bukan anti produk Cina maupun dari luar negeri. Namun, sebagai upaya untuk melindungi UMKM, produk dari luar negeri harus mengikuti mekanisme impor produk termasuk melengkapi izin edar dari BPOM, memenuhi SNI hingga sertifikasi halal.
“Kalau misalnya retail online masih dibolehkan menjual produk impor langsung ke konsumen, itu pasti UMKM tidak bisa bersaing karena UMKM di dalam negeri kalau berjualan harus mempunyai izin edar dari BPOM, harus punya sertifikasi halal, punya SNI. Mereka enak langsung,” katanya.
Dalam mengatasi ancaman tersebut, Teten mendesak Kementerian Perdagangan untuk merevisi Permendag Nomor 50/2020 yang saat ini baru mengatur perdagangan di e-Commerce, bukan social commerce. Ia mengaku revisi aturan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit.
“Itu bukan hanya untuk TikTok saja, untuk seluruh e-Commerce untuk juga yang cross-border commerce semua. Jadi jangan kemudian saya dianggap anti TikTok, bukan, saya hanya mau melindungi produk UMKM supaya ada playing field yang sama dengan produk dari luar, jangan kemudian mereka diberi kemudahan,” tandasnya.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang