Menuju konten utama
Misbar

The Farewell Mengajak Kita Memaknai Kepulangan

Keluarga tak cuma cinta, tapi juga luka. The Farewell menggambarkannya dengan baik.

The Farewell Mengajak Kita Memaknai Kepulangan
Poster film Farewell. FOTO/A24

tirto.id - Anggapan bahwa rumah bisa menjadi tempat sebaik-baiknya untuk pulang tak jarang berakhir problematis. Praktiknya mungkin tak semudah pengucapan teori. Seiring waktu, potensi munculnya pelbagai pertentangan begitu terbuka lebar.

Perasaan terasing, berjarak dengan realitas asal, hingga anggapan bahwa ‘rumah’—yang berasosiasi dengan kampung halaman—tak lagi relevan untuk dibicarakan adalah beberapa contoh pertentangan yang dimaksud.

Oleh Lulu Wang, sutradara kelahiran Beijing 36 tahun lalu, semua kompleksitas itu diolah dalam The Farewell.

Premis Farewell cukup sederhana: satu keluarga berupaya menyembunyikan fakta bahwa nenek mereka divonis kanker. Mereka sepakat membuang realitas pahit tersebut karena percaya kanker adalah kabar buruk—dan oleh sebab itu harus disingkirkan jauh-jauh.

Tak baik bagi hidup, kira-kira itulah yang mereka yakini.

Kanker di tubuh Nai Nai (Shuzhen Zhao) lantas menjadi momentum berkumpulnya anggota keluarga yang terpisah dari Jepang sampai Amerika. Berkedok tengah menghelat acara pernikahan palsu, mereka pulang ke kampung halaman, dengan harapan dapat melihat Nai Nai untuk terakhir kalinya.

Keluarga di Antara Cinta dan Benci

Selama 90 menit, sutradara Wang menyelipkan banyak narasi, dari yang menghangatkan pikiran hingga yang bikin batin bergejolak. Dari jamuan makan malam keluarga dengan beraneka hidangan yang menggugah selera, hingga cekcok soal pertentangan dunia modern dan nilai-nilai tradisi.

Di tengah-tengah itulah Billi (diperankan dengan apik oleh Awkwafina) menjadi episentrum cerita. Dari kacamata seorang Billi, Wang melihat makna keluarga.

Billi lahir di Cina tetapi tumbuh dan besar di Amerika, tepatnya New York. Kedua orang tuanya, Haiyan (Tzi Ma) dan Lu Jian (Diana Lin), memutuskan pindah ke Abang Sam demi mengejar penghidupan yang lebih layak. Di sana, mereka menjadi penerjemah bahasa Cina guna bertahan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hal serupa dialami pula oleh Billi. Ia adalah anak mandiri yang bercita-cita untuk hidup nyeni dengan bekerja di Guggenheim Museum—walaupun lamaran magangnya tak diterima. New York rupanya tak membikin semua berjalan mudah. Ia harus melawan dompet yang kosong, susahnya dapat pekerjaan, serta tagihan apartemen yang terus menghantui.

Terputus puluhan tahun dari tempat kelahirannya, Billi lalu dihadapkan pada sesuatu yang kelak membuat dirinya diselimuti kegundahan: kembali ke Cina untuk bertemu Nai Nai.

Dari sinilah nampak kepiawaian Wang mengolah cerita. Ia mahir menyusun fragmen demi fragmen yang membentuk semesta Farewell. Semuanya dijahit secara rapi dengan logika yang kuat serta tak menyisakan pertanyaan yang ganjil.

Di tangan Wang, eksistensi keluarga didedah habis-habisan. Keluarga, dalam semesta Farewell, merupakan titik bertemunya memori pahit, urusan yang belum selesai, sampai pertanyaan-pertanyaan yang tak punya jawaban. Keluarga besar Billi adalah gambaran kondisi itu. Ia boleh saja terlihat ideal di luar, namun di dalamnya ia sungguh rapuh.

Ada dua poin yang hendak ditekankan Wang. Pertama, kegigihan sebuah keluarga dalam menjaga tradisi, sekalipun hal itu terdengar tak masuk akal. Semua harus dipertahankan, sebab keluarga adalah yang utama. Tak apa menutup fakta selama mendatangkan bahagia.

Kedua, tentang Billi yang menghadapi dilema akan nilai dan tradisi keluarganya. Sebagai anak yang tumbuh di kota modern, sehingga menjadikannya berpikiran terbuka dan menolak terjebak dalam belenggu kekolotan, Billi terganggu dengan apa yang dilakukan keluarganya. Menurutnya, langkah itu tak masuk akal. Mengapa harus disembunyikan ketika pada akhirnya hal tersebut bakal juga terbuka?

Dilema tersebut hanyalah bagian kecil dari kegalauan besar yang dialami Billi: pertentangan ihwal identitas sebagai orang Cina diaspora. Wang menunjukkan berkali-kali adegan di mana Billi terlihat berjarak dengan negara asalnya; ketika ia tak bisa membaca aksara Cina atau saat ia bertanya kepada ayahnya mengenai arti dari kata dan kalimat Cina yang tak ia pahami.

Kejadian-kejadian itu lalu membuat Billi dilumuri bermacam pertanyaan dan keraguan yang bermuara pada satu titik: “Benarkah aku orang Cina?”

Infografik Misbar The Farewell

Infografik Misbar The Farewell. tirto.id/Quita

Bagaimana Keluarga Malah Menjadi Luka

Menonton The Farewell seketika mengingatkan saya pada momen hari raya, manakala orang-orang beramai-ramai untuk pulang setelah bertarung di tanah perantauan.

Momen kepulangan, seharusnya, dapat menjadi peluang untuk menyalurkan sekaligus menuntaskan kerinduan akan sosok terkasih, sajian kuliner yang khas, dan apapun yang berkaitan dengan ingatan-ingatan baik di masa silam.

Apa yang dibayangkan boleh jadi demikian. Namun, tak jarang, realita justru bisa lebih pahit ketimbang gambaran yang diharapkan. Alih-alih menjadi sarana aktualisasi diri, momen pulang malah bisa menghasilkan tekanan bertubi-tubi dengan sederet pertanyaan seperti kapan menikah sampai kapan punya momongan.

Jamuan makan bersama, sebagaimana yang tersaji dalam Farewell, dapat berubah jadi ajang perdebatan ide dan prinsip-prinsip yang senantiasa dibawa. Di The Farewell, prinsip tersebut mewujud dalam “kita” versus “mereka.” Kita di sini merujuk pada keluarga kecil Billi yang sepenuhnya meyakini bahwa mereka adalah orang Amerika. Sementara mereka merepresentasikan sanak saudara Billi yang menganggap tak peduli merantau sampai mana saja, identitas Cina tetaplah melekat di badan.

Yang menarik, pertentangan-pertentangan tersebut tidak dikemas dalam balut hitam dan putih; siapa yang benar dan salah. Wang menempatkan kepelikan keluarga Billi pada ruang abu-abu; ia tak menghakimi salah satu pihak dan mengajak penonton untuk mendiskusikan lebih jauh tentang apa itu keluarga.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf