tirto.id - Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini alias NKCTHI berawal dari sebuah buku laris, berisi potongan-potongan kutipan petuah seorang perempuan bernama Awan, untuk anaknya kelak. Ia ditulis Marchella FP, dengan format desain kontemporer dan ilustrasi sederhana nan cantik yang mengundang lebih dari 1,5 juta pengikut di Instagram.
Seperti kebanyakan buku populer di Indonesia, NKCTHI lebih dulu tenar di media sosial. Akun Instagram-nya lebih dulu lahir, kemudian ramainya pembicaraan bikin penulis berani melempar undangan pre-order, yang disambut penerbit besar dengan mencetaknya sesuai pesanan.
Pola bisnis yang semata-mata mencegah margin rugi ini sudah jadi tabiat industri penerbitan buku di Indonesia beberapa tahun belakangan. Mereka memang lebih percaya diri untuk menerbitkan cerita yang sudah ramai dibicarakan di sudut-sudut internet, karena membayangkan pasti laku. Proses kapitalisasi itu, biasanya, tidak berhenti jadi buku. Jika laris, akan dibikinkan buku lanjutan (bisa prekuel atau sekuel) dan difilmkan jika keriuhan di media sosial dirasa cukup menjamin.
Visinema jadi rumah produksi yang mengembangkan NKCTHI jadi cerita utuh ke dalam bentuk film. Angga Dwimas Sasongko, sang CEO Visinema, duduk di bangku sutradara.
Buku NKCTHI yang cuma berisi potongan-potongan kutipan tampaknya jadi keleluasaan Angga untuk mengembangkan dunia Awan (Rachel Amanda). Angga sendiri bilang film ini karya terbaiknya, kalimat tegas untuk menyatakan dia tidak main-main merakit semesta NKCTHI.
Hasilnya? Bisa dibilang NKCTHI adalah karya Angga dengan departemen perakitan karakter paling baik. Semua tokoh tampil tebal sesuai porsinya, bahkan bisa dibilang departemen ini adalah kelebihan paling menonjol dari NKCTHI.
Dimulai dari Awan, arsitek fresh graduate yang patah hati karena kontrak magangnya diputus bos. Ia ambisius dan keras kepala, datang dari keluarga yang cukup berada. Sehingga, menurut Anton (Chiko Jeriko), bosnya, Awan kadang susah mendengarkan orang lain. Padahal yang dituntut dari pekerjaannya adalah sikap kerja sama.
Sikap keras kepala Awan ini bukan cuma tempelan dalam dialog. Beberapa kali kita akan melihatnya memberontak dan melanggar aturan-aturan di sekitarnya. Di awal film, misalnya, ia tak patuh pada arahan seniornya di kantor. Atau bahkan memaksa abang sulungnya berbohong pada orang tua, cuma karena ia mau pulang kerja naik MRT, bukannya dijemput mobil tiap hari. Hebatnya Angga dan penulis naskahnya Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief, sifat keras kepala Awan itu diberi ruang untuk menjelaskan alasannya muncul.
Sehingga Awan, akan terasa seperti karakter yang benar-benar hidup. Tidak satu dimensi.
Angkasa (Rio Dewanto), abang sulung Awan, yang tiap hari ditugasi ayah mereka untuk menjemputnya sepulang kantor, juga dirakit secara mendalam. Ia lebih bertanggung jawab dan asertif daripada Awan. Sejak kecil Angkasa diajarkan untuk selalu melindungi adik-adiknya, menjadi pelindung, yang harus mengesampingkan ego sendiri demi keluarga. Posisinya sebagai sulung dan laki-laki jadi alasan utama Angkasa tak boleh membantah.
Di antara mereka ada Aurora (Sheila Dara), si anak tengah. Ia paling pendiam dan lebih sering menyendiri di studio di belakang rumah mereka. Aurora diam-diam memupuk cemburu pada Awan yang selalu jadi pusat tata surya keluarga. Ia menyembunyikan perasaan itu di balik sifat pendiamnya, yang tak dinyana jadi bom waktu suatu ketika.
Karakter-karakter ini dirakit dengan amat kuat.
Angga, Jenny, dan Melarissa menyiapkan karakter tiga kakak-beradik tokoh utama ini dengan amat detail. Mereka bahkan diberikan hobi, pekerjaan, gaya berpakaian, selera musik, selera seni, dan gaya bicara khas yang spesifik. Sehingga keputusan-keputusan yang mereka buat, dan motivasinya punya alasan jelas.
Aurora, misalnya, punya buku Salvador Dalí dan Paul Klee di samping kasurnya. Meski tak disebut gamblang, dua buku ilustrator ternama itu memperkuat karakter Aurora sebagai seorang seniman. Angga, Jenny, dan Melarissa bahkan meminjam beberapa karya dosen, seniman, dan ilustrator Monica Hapsari sebagai kriya yang dipajang dalam pameran tunggal perdana Aurora.
Salah satu yang menarik adalah ANTARA, sebuah bola hitam raksasa yang berotasi di atas piramida hitam. Sebagaimana namanya, karya seni itu mempertebal kegusaran Aurora sebagai seniman dan anak kedua—mempertebal karakternya. Angga bahkan membiarkan Monica hadir sebagai cameo dan menjejalkan informasi tambahan nan jenaka, tentang pilihan warna kriya seni Aurora yang depresif.
Printilan buat Awan juga tak kalah rinci. Di awal film ia mondar-mandir di Studio TonTon milik arsitek kenamaan Antony Liu. Begitu pula Angkasa yang bekerja sebagai event organizer. Ia digambarkan akrab dengan musisi, dengan latar event di M Bloq.
MRT, Stasiun Blok A, dan Jalanan Prapanca juga jadi pemandangan lazim di NKCTHI. Angga merekam Jakarta—terutama Jakarta Selatan, alias Jaksel—dengan amat intim. Dan cantik. Jadi semesta yang amat cocok dengan karakter-karakter seperti Angkasa, Aurora, dan Awan: tiga anak muda yang datang dari kelas menengah, Jaksel, dengan masalah kelasnya sendiri.
Menggugat Gagasan Keluarga Ideal Tradisional? Atau Merayakannya?
Bukan cuma watak ketiga tokoh utamanya yang didesain Angga, Jenny, dan Melarissa dengan rapi. Mereka juga membelah peran si sulung, si tengah, dan si bungsu dengan tegas dalam keluarga Narendra (Donny Damara). Sebagaimana tegasnya pembagian peran ibu dan ayah dalam keluarga itu.
Narendra adalah ayah yang mengambil peran dominan dan aktif. Ia bahkan cenderung overprotective. Tanpa sadar, ia juga menempatkan perhatian paling besar buat Awan, si bontot—sikap yang dibingkai film ini jadi sumber konflik. Agar sikap itu terasa masuk akal, maka Narendra harus punya alasan. Dalam naskah Jenny dan Melarissa, alasan itu adalah trauma dan luka di masa lampau—yang juga disiapkan jadi kejutan di ujung cerita.
Akibat trauma itu, Narendra terus-terusan berusaha tampak tegar. Berpura-pura kuat sebagai nakhoda kapal.
Di saat yang sama, Ajeng (Susan Bachtiar) makin hari makin jadi pendiam. Trauma yang dijadikan rahasia itu, tanpa ia sadari, menggerogoti dirinya dari dalam. Perannya berubah jadi ibu yang pasif, tak punya peran besar dan nyaris tak bersuara.
Dari luar keluarga Narendra mungkin terlihat baik-baik saja. Awan setidaknya punya iMac, meski belum bekerja; Angkasa masih bisa ke sana-kemari—termasuk pacaran—naik mobil, meski di usia 27 masih tinggal dengan orangtua; Aurora juga setidaknya sudah pernah bikin pameran tunggal di usia segitu, meski gagal dapat beasiswa ke Inggris; Narendra dan Ajeng juga masih tampak mesra, dan tidak pernah ribut.
Namun, sebagaimana keluarga umumnya yang dijerat pembagian-pembagian peran khas patriarkis, keluarga Narendra juga masing-masing memendam luka.
Ayah yang selalu diutus jadi pembuat keputusan dan penentu arah, ternyata tak kuat sendirian memimpin. Meski meminjam karakter-karakter dari keluarga kelas eksklusif, setidaknya sampai di titik itu, saya punya harapan kalau Angga, Jenny, dan Melarissa ingin menguliti nilai-nilai keluarga ideal tradisional, yang selama ini kebanyakan menggunakan kacamata patriarkis—perspektif yang melihat keluarga ideal terdiri dari ayah yang tegas, dominan; ibu yang penurut, dan lembut hati; serta anak laki-laki yang harus kuat dan pemberani, sementara anak perempuan harus selalu dilindungi.
Maka, saat Ajeng, pada satu adegan, mengambil kunci mobil, mengambil kursi kendali, dilengkapi dialog heroik, saya hampir lompat girang dari kursi penonton. NKCTHI hampir jadi film feminis yang kuat karena adegan itu. Sayangnya, solusi yang disusun Angga, Jenny, dan Melarissa kelewat panjang setelahnya. Dan karakter Ajeng rupanya tak benar-benar mengambil alih kendali.
Ia—sebagaimana kebanyakan ibu dan perempuan dalam rumah tangga khas patriarkis—cuma jadi tumbal yang menyediakan solusi buat kesalahan-kesalahan yang diciptakan alpha-male: dalam hal ini, kebutaan Narendra yang ingin keluarganya tetap ideal tanpa kompromi.
Penyelesaian itu nyaris serupa dengan film awal tahun lalu yang juga diproduksi Visinema, Keluarga Cemara. Pada titik tertentu, Gina S. Noer menguliti kerapuhan ayah dalam keluarga ideal tradisional khas patriarkis, yang selalu menganggap dirinya sebagai pelindung. Bedanya, kita masih bisa membawa diskusi lain dari Keluarga Cemara, misalnya tentang kesenjangan kelas, tanpa terjebak poverty porn.
Sementara NKCTHI yang punya karakter-karakter urban kuat, tidak terlalu banyak membawa diskusi lain, kecuali potret keluarga ideal yang coba dikulitinya.
Konflik hidup tiga anak keluarga Narendra juga amat tersegmentasi. Tak semua orang akan bisa bersimpati.
Awan memang sempat menggugat Narendra, karena diam-diam memanfaatkan jaringan untuk menghadiahi anak bungsu itu proyek baru. Sayangnya, debat yang dilontarkan Awan memang cuma mengambang ke mana-mana, sama sekali tak memberi garis batas tegas tentang privilese yang dimiliki kelasnya. Naskah NKCTHI cuma mau kita melihat bagaimana keputusan Narendra itu dipandang dari sisinya, dan sisi Awan—yang tentu saja tak akan membawa diskusi ke mana-mana, selain perkara ego ayah-anak.
Sayangnya, potret keluarga ideal yang sepertinya digugat dalam NKCTHI, justru tampil seperti dirayakan. Bahwa, ujung-ujungnya, keluarga ideal adalah jawaban kebahagiaan kita semua. Dan yang tidak punya, silakan bermimpi terus.
Editor: Windu Jusuf