tirto.id - Setelah Ujian Nasional (UN) resmi dihentikan, muncul ruang kosong dalam sistem penilaian pendidikan Indonesia. Rapor sekolah kerap dianggap tidak adil, karena standar tiap sekolah berbeda. Asesmen Nasional memang berjalan, tapi ia tidak menilai capaian individu, melainkan mutu sekolah dan lingkungannya, dengan kata lain: mutu dan kualitas satuan pendidikan.
“Tes Kemampuan Akademik (TKA) dilatarbelakangi oleh kebutuhan adanya pelaporan capaian akademik individu murid dari penilaian yang terstandar. Tidak tersedianya laporan capaian akademik individu dari penilaian terstandar pada beberapa tahun terakhir menimbulkan beberapa permasalahan,” tulis kata pengantar di situs Pusat Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
TKA lah yang kini diharapkan mengisi kekosongan itu: sebuah tes terstandar yang bisa memotret kemampuan akademik murid secara objektif, tanpa menentukan kelulusan seperti Ujian Nasional di masa lalu. Berbeda dengan UN yang sekarang sudah dihapus, TKA tidak diwajibkan. Namun, bagi murid kelas 12 SMA/SMK, hasil dari tes ini bisa dipakai untuk masuk seleksi perguruan tinggi jalur prestasi.
Sebagai program yang baru tahun ini diterapkan, TKA akan dimulai secara bertahap. Murid SMA/sederajat akan mengikuti TKA pada 1-9 November 2025. Sedangkan untuk murid SD dan SMP, TKA diperkirakan berlangsung pada Maret-April 2026.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan bahwa TKA adalah upaya untuk melaksanakan amanat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Menurut Doni, TKA ini penting karena hasil belajar itu bersifat individual.
“Selain itu, hasil belajar individual ini juga bisa dipakai sebagai evaluasi bagi sekolah. Artinya, kualitas sekolah juga bisa ditentukan dari TKA ini. Mengapa? Karena ini sifatnya objektif dan independen,” ujar Doni.
Menurut Doni, TKA ini bersifat objektif karena ia dilakukan oleh lembaga di luar sekolah itu. Jadi, dalam pelaksanaannya, ada lembaga yang memang dianggap kompeten dan mampu melaksanakan ujian berbasis standar.
Namun, berbeda dengan UN, TKA ini bersifat tidak wajib. Jadi jika murid memilih tidak mengikuti TKA, itu juga dibolehkan.
“Tapi ini juga menjadi salah satu syarat seleksi nasional berbasis prestasi. Jadi nilai tes ini bisa dipakai jika mau masuk ke perguruan tinggi dan juga bisa dipakai kalau anak ini mau melanjutkan ke perguruan tinggi di luar negeri. Karena di luar negeri itu juga membutuhkan hasil ujian yang relatif objektif,” tambah Doni.
Diperlukan dan Diharapkan
Pemerintah menaruh harapan besar pada TKA. Dengan adanya standar nasional ini, hasil murid dari berbagai latar belakang bisa dipotret secara setara. Data yang terkumpul akan membantu pemerintah memetakan mutu pendidikan di seluruh Indonesia, sekaligus jadi bahan perencanaan anggaran dan intervensi kebijakan. Di sisi lain, hasil TKA juga bisa menjadi cermin bagi murid: mereka bisa tahu di mana kekuatan dan kelemahan mereka, lalu memperbaiki proses belajar.
Karena itu, tak mengherankan kalau ada banyak juga murid yang merasa terpacu oleh adanya TKA ini. Mereka merasa bahwa nilai TKA adalah pengakuan sah atas kemampuan akademik mereka serta usaha kerja keras mereka selama ini. Di TKA, tak ada upaya-upaya penggelembungan nilai, atau upaya untuk menaikkan nilai para murid.
"TKA berfungsi sebagai alat ukur kemampuan akademik individual untuk memetakan capaian pembelajaran dan sebagai 'batu uji' untuk mengkonfirmasi nilai rapor, sehingga mencegah praktik 'sedekah nilai' yang selama ini kerap terjadi," tegas Atip Latipulhayat, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dalam rilis resmi (13/9/2025).
Salah satu yang termotivasi untuk mengerjakan TKA adalah Varisha. Murid kelas XII di SMA Bakti Mulya 400 yang terletak di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ini, beranggapan bahwa hasil TKA nanti bisa menjadi validasi nilai kemampuan mereka.
“Karena emang fungsi utama TKA buat kami ya untuk mengukur kemampuan asli kami, untuk membuktikan kemampuan asli,” ujarnya. “Jadi aku sekarang lebih sering belajar materi-materi TKA.”
Namun, yang juga tak boleh dilupakan, karena sifat TKA ini tidak wajib, ada juga sekolah yang membebaskan muridnya. Ini misalnya terjadi di SMK Kesehatan Medika Farma Kalisat, Jember, Jawa Timur. Sebagai sekolah kejuruan yang mengarahkan lulusannya untuk langsung masuk ke dunia kerja, para murid kelas XII di sini sudah menjalani jadwal yang padat. Menurut Shahnaz Apsari, guru di SMK Kesehatan Medika Farma, murid kelas XII di sekolahnya menjalani satu tahun sekolah dengan dua agenda.
“Jadi satu semester pertama itu magang. Satu semester berikutnya ujian kompetensi,” ujar Shahnaz.
Dalam pandangannya, Shahnaz menganggap TKA ini punya keunggulan tapi juga perlu penjelasan lebih lanjut. Misal ada satu muridnya ingin mengambil ujian di Fisika, sedangkan satu lagi di Biologi. Keduanya ingin masuk kuliah jurusan kedokteran, yang lebih banyak menggunakan ilmu biologi. Apakah lantas kesempatan murid yang mengambil ujian TKA Biologi lebih tinggi ketimbang yang mengambil ujian fisika?
Menurut Shahnaz kebingungan ini wajar karena ini adalah program baru yang juga belum lama disosialisasikan. Bahkan mungkin di beberapa sekolah belum dijabarkan dengan seksama.
Selain sosialisasi yang baru dimulai, ada pula sejumlah tantangan yang cukup berat. Salah satunya soal infrastruktur. TKA berbasis komputer, tetapi tidak semua sekolah memiliki fasilitas memadai. Di banyak daerah, jumlah komputer terbatas, jaringan internet pun tidak stabil.
Selain infrastruktur, kesiapan guru juga penting. Soal-soal Higher-Order Thinking Skills (HOTS) yang jadi basis pembuatan soal TKA itu menuntut cara pengajaran yang berbeda. Guru perlu membiasakan murid berpikir kritis dan memecahkan masalah. Padahal, di sisi lain, praktik mengajar di banyak sekolah masih berpusat pada hafalan.
Jika perubahan ini tidak diikuti dengan pelatihan dan dukungan, hasil TKA bisa saja tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya, melainkan hanya seberapa sering murid berlatih soal.
Kesenjangan antarwilayah juga jadi kekhawatiran. Di kota besar, murid punya akses ke bimbingan belajar, platform daring, dan simulasi TKA. Sementara di daerah terpencil, fasilitas itu terbatas. Jika pemerintah tidak memberikan intervensi khusus, TKA bisa saja memperlebar jurang ketidaksetaraan, bukan jadi jembatan.
“Tetapi memang tidak dapat dihindari bahwa bagi kelompok tertentu TKA ini mungkin dianggap tidak adil karena perbedaan kualitas, dan justru yang seperti inilah yang harusnya diprioritaskan oleh pemerintah untuk diintervensi,” ujar Doni.
Menunggu Penerapan dan Evaluasi
Meski pelaksanaan TKA masih menyisakan sejumlah pertanyaan, banyak pihak melihatnya sebagai langkah maju dalam sistem pendidikan Indonesia. Tantangan seperti kesiapan infrastruktur sekolah, pemanfaatan hasil TKA, hingga transparansi proses dapat dijawab dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat ekosistem pendidikan. Jika hal ini dilakukan, TKA bukan hanya menjadi pengganti UN, melainkan benar-benar menjadi terobosan yang bermanfaat bagi murid, guru, maupun pembuat kebijakan.
Bagi murid, TKA bisa menjadi alat refleksi diri untuk mengenali potensi dan keterbatasan. Bagi guru, TKA dapat mendorong inovasi dalam pola ajar. Sementara bagi pemerintah, data TKA bisa menjadi pijakan penting untuk merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Menurut Doni, ada tiga poin yang bisa dijadikan evaluasi untuk TKA ke depan. Pertama, harus ada perbaikan dari sisi lembaga yang mengembangkan soal ujian. Harus ada upgrade kemampuan membuat soal, mendesain kemampuan pengujian, hingga jenis soalnya. Karena membuat soal ujian ini sulit dan harus melibatkan para ahli di tiap-tiap bidang ujian.
Kedua, harus ada evaluasi dari sisi penyelenggaraan. Doni menyebut, ada banyak hal yang berjalan tidak sesuai standar. Misal ketika ujian berlangsung, pengawas membiarkan murid mencontek. Bahkan di beberapa kasus, murid disuruh mengosongkan lembar jawaban untuk nanti akan diisi oleh para guru.
Evaluasi ketiga adalah target sasaran. Ini karena perbedaan kualitas sekolah akan berpengaruh pada kualitas murid.
“Nah, sarana, prasarana, kemampuan guru, dan banyak hal lain, itu harus ditingkatkan dan itu tanggung jawah pemerintah. Dari sana, jika kualitas sekolah sudah merata, saya merasa TKA itu sudah bisa (diterapkan),” tutur Doni.
Pada akhirnya, TKA adalah refleksi dari upaya panjang pendidikan Indonesia untuk mencari titik seimbang: menghadirkan standar yang jelas tanpa mengulang tekanan berat UN. Dengan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, TKA berpotensi menjadi fondasi penting menuju sistem pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan berorientasi pada masa depan.
Masuk tirto.id







































