tirto.id - Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Peribahasa yang cocok disematkan kepada nasib gembong teroris Noordin Mohammad Top. Ia adalah warga negara Malaysia yang sempat jadi buronan yang paling dicari di Indonesia. Noordin terkenal karena kemahirannya merakit bom bersama Dr Azhari.
Tepat sembilan tahun lalu, 17 September 2009, petualangan Noordin berakhir setelah tewas dalam sergapan Densus 88 di Kampung Kepuh Sari RT 3/RW 11, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah.
Di kalangan Jamaah Islamiyah (JI), Noordin adalah orang terpandang. Ia dianggap bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror besar, mulai dari Bom Bali 2002, Bom JW Marriott 2003, Bom Kedutaan Besar Australia 2004, dan Bom JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta, 17 Juli 2009.
Noordin dikenal licin bak belut. Jika ada gelar siapakah penjahat yang paling menyusahkan dan pintar mengelabui polisi, Noordin cocok untuk masuk dalam daftar nominasi ini. Noordin setidaknya terdeteksi berpindah-pindah ke belasan kota Mulai dari Bandung, Solo, Surabaya, Blitar, Pasuruhan, Mojokerto, Indramayu, Pekalongan, Semarang, Batu, Rengasdengklok, Karawang, Wonosobo, Cilacap, dan Bekasi.
Pria yang besar di Johor Malaysia ini setidaknya beberapa kali membuat publik menertawakan polisi karena selalu gagal menangkapnya. Ia telah lima kali lolos dalam penyergapan oleh Densus 88.
Ia juga lolos saat penyergapan pada November 2005 di Kota Batu, Jawa Timur yang menewaskan Dr Azhari. Noordin juga lolos saat pengepungan di Wonosobo, April 2006, dan penyergapan di Palembang Juli 2008. Upaya penangkapan di Bekasi dan Temanggung pada Agustus 2009 juga nihil. Saat disergap di Wonosobo, polisi nyaris menciduknya. Namun dalam baku tembak sejak dini hari yang terjadi sekitar dua jam itu, Noordin berhasil lolos dengan luka tembak di kaki.
Polisi di bawah Kapolri Bambang Hendarso Danuri, sempat menyatakan Noordin telah tewas, tapi setelah itu direvisi. Inilah yang membuat polisi sangat berhati-hati usai proses penggerebekan di Solo 17 September 2009. Kepastian jenazah Noordin diperoleh setelah polisi melihat kecocokan antara data sidik jari Noordin. Sidik jari Noordin diperoleh dari Kepolisian Diraja Malaysia yang dicocokkan dengan sidik jari jenazah, hasilnya ada 14 titik kesamaan baik jari kanan dan kiri. Polisi memastikan Noordin tewas karena terjangan peluru.
"Hasil identifikasi menunjukkan dia adalah Noordin M Top, buronan sembilan tahun yang merupakan target utama selama ini," kata Bambang Hendarso di Mabes Polri, Kamis Sore (17/9/2009) seperti dikutip Antara.
Wartawan Harian Kompas, Sarie Febriane menggambarkan adegan detail bagaimana penyergapan akhir kehidupan Noordin terjadi. Sarie menulis semuanya berawal saat Brigadir Satu I Wayan Pande M mendobrak pintu depan rumah milik Totok di Kampung Kepuhsari, RT 03/RW 11, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo.
Rumah Totok ini disewa seseorang bernama Susilo. Totok mengaku Susilo menyewa kontrakan melalui seorang tetangganya di Kepuhsari, Yuli. Totok tinggal di wilayah kelurahan dan kecamatan yang berbeda. Ia pun mengaku belum pernah bertemu Susilo. Tak ada gelagat kecurigaan Totok pada Susilo.
Sampai pada akhirnya Totok baru tersadar setelah Briptu Pande menguak tabir itu. Briptu adalah polisi pertama yang "nekat" masuk ke dalam rumah yang disewa Susilo.
Awalnya, di rumah ini polisi menduga jadi tempat persembunyian Bagus Budi Pranoto alias Urwah, orang terdekat Noordin. Namun, siapa sangka setelah operasi penyergapan usai, Polisi baru sadar bahwa saat digerebek itu Noordin bersembunyi di sana.
Briptu Pande masih ingat betul, ketika pintu terkuak telinganya menangkap suara jernih bunyi kokangan M16 dari balik pintu kamar depan di dalam rumah itu. Sekian detik kemudian, tiga kali tembakan meletus ke arahnya.
"Saya sudah loncat mundur ke belakang waktu dengar bunyi kokangan senjata itu dan teriak 'ada senjata'!" Bunyi kokangannya terdengar dua kali, enggak tahu kenapa, apa karena dia kaget sampai harus kokang dua kali," cerita Pande kepada Kompas pada 18 September 2009.
"Waktu saya dobrak pintu itu, di dalam rumah sudah gelap," kata Pande. Ia tak bisa menebak siapakah di antara keempat laki-laki di dalam rumah itu yang menembak pertama kali. Ketika mendobrak pintu itu, Pande hanya berbekal pistol jenis Glock 17 dan pentungan.
Aksinya ini tergolong nekat sebab ia menyergap tanpa dilindungi rompi antipeluru. Ditambah saat ia menyerbu, Glock 17 tak berada dalam genggamannya, tetapi masih terlindung di sarung yang tergantung di pinggangnya. Untung saja nyawanya tak melayang.
"Karena tahapan pertama operasi ini adalah tim low profile lebih dahulu. Ekspektasi kami menangkap sasaran dengan tangan kosong seperti menangkap Bejo (tersangka yang ditangkap di Pasar Kliwon, Solo, Rabu 16 September 2009, siang). Kalau saya sudah pegang senjata, nanti bisa mengganggu gerakan saya," tutur Pande.
"Meski demikian, tim low profile tersebut tetap dilindungi oleh tim lain di belakang, yang lebih siaga dengan senjata," katanya.
Beberapa menit setelah Pande berlari menyelamatkan diri, pukul 16.30 terdengar suara tembakan. Baku tembak ini terjadi hingga pukul 19.20. Setelah sempat hening, suara tembakan kembali terdengar pada pukul 21.06 hingga pukul 21.20. Selanjutnya suara tembakan sesekali masih terdengar pada pukul 21.40 hingga 21.50.
Baku tembak terjadi hingga Rabu malam. Pada Kamis dini hari 17 September 2009, tiada lagi tembakan yang memberondong dari dalam rumah. Senyap.
Kondisi di dalam rumah gelap gulita dan sepi, tidak ada tanda- tanda ada kegiatan atau gerakan orang. Namun, dari luar terlihat jendela kaca di sisi samping rumah pecah berantakan. Sejumlah genteng rumah juga pecah.
Ratusan lubang-lubang bekas terjangan peluru dengan berbagai ukuran terlihat di sana-sini dinding ruang tengah. Di beberapa bagian, ada tanda hitam bekas hangus terbakar. Di ruang inilah ditemukan satu magasin senapan M-16 dalam kondisi hangus yang dikelilingi belasan selongsong peluru.
Di kamar mandi yang hancur berantakan tergantung baju kaus biru tua yang berlubang di bagian depan. Lubang di pakaian itu bahkan tembus hingga ke bagian belakang. Beberapa bagian dari kaus sudah kaku akibat darah yang mengering.
Beberapa polisi menyisir masuk ke dalam. Sesampai di kamar mandi, ditemukanlah empat jenazah yang terbujur kaku. Keempat jenazah di kamar mandi tak lain adalah Noordin M Top, Ario Sudarso, Urwah, dan Susilo. Sementara Putri Munawaroh, istri Susilo dalam keadaan hidup ditindih dan direngkuh Susilo. Saat penggerebekan itu polisi menemukan sebuah tas ransel hitam milik Noordin M Top.
Beberapa polisi mundur teratur, takut di dalam tas itu berisi bom. Seorang petugas Gegana datang menangani, setelah tanpa sengaja disobek isi tas itu ternyata hanya laptop dan beberapa dokumen. Di antara beberapa dokumen itu adalah tiga pucuk surat wasiat dari tiga terpidana mati Bom Bali I, yakni Mukhlas, Abdul Aziz alias Imam Samudra, dan Amrozi. Ketiganya dieksekusi mati, November 2008. Noordin pun tak pernah tahu petualangan licinnya berakhir kurang dari setahun setelah kematian Amrozi dkk.
Editor: Suhendra