tirto.id - Pada awal pandemi, banyak ilmuwan yang berpikir bahwa plasma konvalesen merupakan cara efektif untuk mengobati COVID-19.
Dengan memberi pasien plasma orang yang telah pulih atau sembuh dari COVID-19, idenya adalah infus kaya antibodi ini akan membantu sistem kekebalan tubuh mereka melawan infeksi.
Dilansir dari Medical Daily, ini adalah strategi yang dicoba, dengan berbagai tingkat keberhasilan, untuk penyakit menular lainnya, termasuk Ebola.
Tetapi semakin banyak bukti, termasuk studi internasional yang diterbitkan, menunjukkan plasma konvalesen tidak menyelamatkan nyawa orang yang sakit kritis dengan COVID-19.
Para peneliti pun menyimpulkan jika terapi itu sia-sia.
Apa itu plasma konvalesen?
Plasma konvalesen adalah produk darah yang mengandung antibodi terhadap patogen infeksius (seperti SARS-CoV-2, virus corona yang menyebabkan COVID-19).
Itu berasal dari darah yang dikumpulkan dari orang-orang yang telah pulih dari penyakit menular.
Para ilmuwan menggunakan proses yang disebut apheresis untuk memisahkan komponen darah yang berbeda. Sel darah merah dan putih, serta trombosit dikeluarkan meninggalkan plasma yang kaya akan antibodi.
Kisah terapi plasma konvalesen (atau terapi serum) berasal dari tahun 1890-an. Saat itulah dokter Emil von Behring menginfeksi kuda dengan bakteri penyebab difteri.
Setelah kuda pulih, Behring mengumpulkan darah mereka yang kaya antibodi untuk mengobati manusia dengan penyakit tersebut.
Hal ini menyebabkan dia dianugerahi hadiah Nobel pertama dalam fisiologi atau kedokteran, pada tahun 1901.
Mengapa plasma konvalesen digunakan untuk mengobati COVID?
Plasma konvalesen telah digunakan untuk mengobati penyakit menular selama lebih dari satu abad. Ini termasuk: demam berdarah, pneumonia, tetanus, difteri, gondok dan cacar air.
Baru-baru ini, plasma konvalesen telah diselidiki sebagai pengobatan untuk SARS (sindrom pernapasan akut yang parah), MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah) dan Ebola.
Jadi di awal pandemi, para peneliti berharap plasma konvalesen dapat digunakan untuk mengobati COVID-19 juga.
Studi awal dan beberapa uji klinis menjanjikan. Hal ini menyebabkan meluasnya penggunaan plasma konvalesen untuk pasien dengan COVID-19 di Amerika Serikat, keputusan yang didukung oleh Food and Drug Administration (FDA).
Pada Mei tahun ini, lebih dari 100 uji klinis telah dilakukan dengan plasma konvalesen pada orang dengan COVID-19; sekitar sepertiga dari studi ini telah selesai atau dihentikan lebih awal.
Awal tahun ini, hasil uji coba RECOVERY di Inggris telah dilaporkan. Ini menyelidiki terapi plasma konvalesen (dibandingkan dengan perawatan suportif biasa) pada lebih dari 10.000 orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19.
Pengobatan tidak mengurangi risiko kematian (24% pada kedua kelompok), tanpa perbedaan jumlah pasien yang sembuh (66% dipulangkan dari rumah sakit pada kedua kelompok) atau yang memburuk (29% membutuhkan ventilasi mekanis untuk mendukung pernapasan). kedua kelompok).
Jadi untuk orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19, para peneliti menyimpulkan plasma konvalesen tidak memberikan manfaat.
Tinjauan Cochrane, yang diperbarui pada Mei tahun ini dan mengevaluasi semua uji coba yang tersedia, mengkonfirmasi hasil ini. Uji coba ini melibatkan lebih dari 40.000 orang dengan COVID-19 sedang hingga berat yang menerima plasma pemulihan.
Tinjauan tersebut menemukan bahwa pengobatan tersebut tidak berpengaruh pada risiko kematian akibat COVID-19, tidak mengurangi risiko memerlukan rawat inap atau kebutuhan akan ventilator untuk membantu pernapasan jika dibandingkan dengan plasebo atau perawatan standar.
Di Australia, Gugus Tugas Bukti Klinis COVID-19 Nasional tidak merekomendasikan penggunaan plasma konvalesen pada orang dengan COVID-19, kecuali dalam uji klinis.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/346/2020 Tentang Tim Penelitian Uji klinis Pemberian Plasma Konvalesen Sebagai Terapi Tambahan Covid-19.
Keputusan tersebut dibuat untuk membuat tim penelitian yang berfungsi untuk mengevaluasi keamanan dan efek plasma konvalesen sebagai terapi tambahan pengobatan standar pada penderita Covid-19.
Terapi plasma konvalesen dilakukan sebagai upaya percepatan penanganan Covid-19. Terapi konvalesen juga untuk meningkatkan kekebalan imunitas pasif melalui pemberian immunoglobulin.
Untuk melakukan terapi plasma konvalesen, Ketua Bidang Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia Pusat (PMI Pusat) dr. Linda Lukitari Waseso mengungkapkan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang ingin menjadi pendonor plasma konvalesen, yakni:
- Harus dalam kondisi tubuh yang sehat
(Pendonor plasma dia harus sehat, walaupun dia baru sembuh dari COVID-19).
- Calon pendonor harus dinyatakan sembuh
(Keterangan sembuh harus disertakan dengan surat keterangan sembuh dari puskesmas atau dokter yang merawat).
- Pendonor plasma tidak pernah menerima transfusi darah selama 6 bulan terakhir dan tidak memiliki penyakit penyerta.
- Berusia 18 tahun - 65 tahun.
- Berat badan kurang lebih dari 55 kg.
- Dan yang terpenting adalah pernah terkonfirmasi positif COVID-19 yang ditandai dengan hasil tes PCR positif atau rapid antigen positif.
Editor: Iswara N Raditya