tirto.id - Penggerebekan oleh polisi terhadap 75 orang di Kawasan Puncak, Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/6/2025), menimbulkan citra negatif pada kelompok rentan, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ+).
Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menyebut penangkapan dan penertiban itu, "Framing negatif dan penuh syak wasangka terhadap orang-orang dengan orientasi seksual tertentu ini menyebabkan kriminalisasi yang dipaksakan, penuh tipu daya, dan asal-asalan."
Dugaan pesta seks oleh puluhan pria itu naik ke permukaan berdasar laporan dari pihak berwajib. Kapolsek Megamendung, AKP Yulita Heriyanti, mengatakan penggerebekan dilakukan sekitar pukul 00.30 WIB, berdasar laporan warga atas adanya kegiatan mencurigakan dari masyarakat setempat.
"Laporan dari masyarakat adanya sex party sesama jenis di wilayah Megamendung Puncak," ujar Yulita dalam keterangannya, Senin (23/6/2025)
Usai ditangkap, menurut informasi dari Yulita, 75 orang tersebut digiring ke Polres Bogor untuk menjalani proses pemeriksaan dan penyelidikan lebih lanjut. "Dalam penggerebekan itu 75 pria berhasil diamankan, acaranya dikemas family gathering," terang dia.
Prosedur Penangkapan Cacat Formil
Seiring dengan berjalannya waktu sejumlah fakta baru terungkap terkait aktivitas komunitas LGBT di Puncak. Pengacara Inclusive Legal Center, Slamet Rahardjo, menjelaskan kalau hasil penyidikan menunjukkan tidak adanya aktivitas seksual dalam acara itu.
Slamet, yang mendampingi 37 dari 75 orang yang ditangkap, menjelaskan ada narasi salah yang beredar. Dia menegaskan tidak ada yang memfasilitasi perbuatan seks dan tak ada yang menunjukkan ketelanjangan dari aktivitas pada pekan ke-4 Juni 2025 itu.
“Harusnya segera dihentikan penyidikan ini. Karena polisi telah melakukan banyak kesalahan di dalam melakukan penangkapan. Dan akibatnya sangat fatal bagi kawan-kawan. Kebencian-kebencian gitu ya. Kurangnya informasi dari aparat, bahkan mungkin dari media yang memuat berita yang didasari rasa kebencian, sehingga berita yang dimunculkan seperti itu,” urai Slamet.
Slamet juga mengatakan kejadian penggerebekan semacam ini juga tak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap setiap individu. Slamet mengatakan beberapa orang yang didampingi banyak yang merasa stres, mendapatkan diskriminasi dari keluarga dan tetangga, hingga kehilangan pekerjaannya.
“Ada yang melalui pengusiran, ada yang pergi dari rumah. Ada yang kehilangan mata pencahariannya karena handphone-nya disita oleh kepolisian. Karena dia bekerja dengan menggunakan handphone itu,” tutur Slamet kepada jurnalis Tirto, Rabu (2/7/2025).
Sementara Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi mencatat dalam proses penangkapan, ada sejumlah kecacatan formil yang dilakukan kepolisian. Pertama, penangkapan dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal, yakni anggota ormas yang tidak dikenal. Padahal mereka tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam kegiatan penertiban atau penangkapan.
Kedua, polisi juga mengambil foto orang-orang yang ditangkap pada saat kejadian tersebut, yang kemudian disebarluaskan ke media sehingga menyebarkan framing negatif.
“Acara 'Big Star Got Talent' tersebut sangat jauh dari pesta seks. Kegiatan yang berlangsung di Puncak adalah ramah tamah, pertunjukan fashion show, lomba tari dan menyanyi, dan juga hiburan yang lain,” tulis Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi dalam rilisnya, Selasa (1/7/2025).
Dengan kata lain, aktivitas-aktivitas yang dilakukan selayaknya yang dilakukan orang lain ketika berkumpul.
Adapun temuan empat bungkus kondom oleh polisi juga tak bisa jadi dasar adanya tindak pidana. Sebab alat kontrasepsi adalah alat penunjang kesehatan untuk mencegah penyakit menular seksual. Apalagi, alat kontrasepsi yang ditemukan masih dalam kondisi belum terpakai.

Acara seperti ini harusnya dilihat sebagai kebebasan berkumpul. Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menekankan, kebebasan berkumpul dijamin dalam pasal 28E ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 atau UUD 1945. Pasal itu menyebut bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Kegiatan yang dilakukan juga sepenuhnya berada dalam koridor kesenian, bukan pornografi dan pesta seks, sehingga ia juga memenuhi pasal 24 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan kalau setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai,” begitu bunyi keterangan Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi.
Polemik UU Pornografi sebagai Alat Represi
Seperti kejadian yang sudah-sudah, represi terhadap kelompok LGBTQ+ kerap memanfaatkan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, alias UU Pornografi. Aturan ini “dipaksakan” jadi senjata, meski tidak sesuai konteksnya.
Dalam kasus di Puncak, Kabupaten Bogor misalnya, polisi menjerat penyelenggara acara dengan pasal 7 dan 10 Undang Pornografi dan/atau Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait tindak pidana perbuatan cabul. Namun, ketiga pasal yang disangkakan ini tidak memenuhi unsur dan seharusnya tidak bisa dipakai untuk peristiwa ini.
“Pasal 7 UU Pornografi menjerat siapapun yang mendanai dan memfasilitasi perbuatan-perbuatan pornografi. Namun, karena materi acara Big Star tersebut tidak menunjukkan ketelanjangan, persenggamaan, alat kelamin, ataupun unsur pornografi lainnya, sangat jelas bahwa unsur-unsur pasal 7 ini tidak tercapai,” mengutip keterangan Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi.
Sementara Pasal 10 UU Pornografi melarang orang untuk mempertunjukkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Namun, fakta memperlihatkan kalau acara yang dilangsungkan tidak berhubungan dengan aspek-aspek tersebut, sehingga pasal ini pun gugur.

Lagipula, catatan yang pernah dibuat oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sudah menyebut bahwa pasal pidana 296 KUHP dan Pasal 33 Jo Pasal 7 Undang-Undang Pornografi tidak tepat digunakan apabila perbuatan tersebut tidak untuk tujuan ekonomi. Pidana juga tidak dapat menjerat perbuatan konsensual antara orang dewasa di ranah privat.
Senada, Amnesty Internasional juga mendorong polisi untuk segera membebaskan 75 orang yang ditangkap –yang belakangan ternyata 74 orang pria dan seorang wanita.
"Penggerebekan diskriminatif di sebuah vila sewaan pribadi ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia dan privasi yang menggambarkan lingkungan yang tidak bersahabat bagi kaum LGBTI di Indonesia,” ujar Wakil Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena dalam keterangan resmi Rabu (25/6/2025).
Dia mengatakan pertemuan tersebut tidak melanggar hukum apa pun dan tidak menimbulkan ancaman. Wirya juga menyoroti Undang-undang pornografi yang dirumuskan secara ambigu, sering kali dieksploitasi untuk secara sengaja menargetkan komunitas LGBTQ+. Hal tersebut dapat mengingkari hak dasar mereka atas privasi.
“Pihak berwenang Indonesia harus mengakhiri penggerebekan yang didasarkan pada kebencian dan penghinaan ini. Tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penangkapan, intimidasi, atau penghinaan di depan umum karena orientasi seksual atau identitas gender mereka yang sebenarnya atau yang dianggap demikian,” tambah Wirya lagi.

Sementara itu Peneliti Human Right Watch, Andreas Harsono, pun menyebut UU Pornografi sebagai produk hukum yang toksik. Sebab Pasal 4 beleid tersebut menyebut soal pesenggamaan yang menyimpang dan kerap dikaitkan dengan homoseksual.
“Itu nggak bener, itu tidak ilmiah. Karena hukumnya tidak ilmiah, ya hasilnya tentu juga nggak karu-karuan. Sejak tahun 2008, saya sudah mengkritik ya, saat itu draf rancangan undang-undang pornografi,” tutur Andreas saat dihubungi jurnalis Tirto, Rabu (2/7/2025).
Ia menggarisbawahi, Jika Indonesia mau menghargai warganya yang LGBTQ+, maka puluhan hukum-hukum yang diskriminatif, termasuk UU Pornografi dan KUHP harus direvisi. Apalagi, penangkapan seringkali dilakukan di ruang-ruang privat, ini jelas mencederai jaminan privasi masyarakat. Padahal, seperti halnya manusia-manusia lain, kawan-kawan LGBTQ+ juga berhak untuk berekspresi dan mendapat jaminan privasi.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































