tirto.id - Beberapa tim dibentuk untuk membongkar kematian pendeta Yeremia Zanambani (63), Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya, pada September lalu. Temuan-temuan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa pelakunya adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kapen Kogabwilhan III Kol Czi IGN Suriastawa sebelumnya berkata Yeremia ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (istilah TNI-Polri yang merujuk pada gerilyawan bersenjata). Ia menuding penembakan sebagai setting-an menjelang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 22-29 September. “Gerombolan itu kembali menebar fitnah, mengatakan TNI pelaku penembakan,” kata dia.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal juga berkata aparat melindungi masyarakat dari “kebiadaban kelompok bersenjata.”
Pengumuman investigasi pertama disampaikan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya bentukan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan pada Rabu 21 Oktober lalu. Tim yang bekerja sejak 1-14 Oktober dan mewawancarai puluhan saksi mata ini menyimpulkan ada “dugaan keterlibatan oknum aparat,” kata Menkopolhukam Mahfud MD. Dengan kata lain, berbeda dengan pernyataan petinggi TNI-Polri.
Selain tak menyebut siapa persisnya aparat yang dimaksud, Mahfud juga berkata kemungkinan lain pelakunya adalah pihak ketiga. Lagi-lagi tak jelas siapa.
Sebelumnya Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua meragukan kerja TGPF bakal independen karena “para pelaku penembakan membentuk dan terlibat langsung dalam tim investigasi.” Tim terdiri dari dua komponen, yaitu pejabat Kemenko Polhukam, TNI, Polri, KSP, BIN, tokoh masyarakat Papua; serta investigator lapangan sebanyak 18 orang.
Kesimpulan Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya, yang terdiri dari sejumlah tokoh agama, akademisi, dan aktivis HAM seperti pendeta Dora Balubun, aktivis dan jurnalis Viktor Mambor, dan aktivis HAM Haris Azhar, lebih tegas. Mereka menyebut berdasarkan keterangan saksi dan keluarga, Yeremia sempat menyebut bahwa penembaknya merupakan anggota TNI bernama Alpius.
Semasa hidupnya Yeremia sering membantu Alpius dan bahkan menganggapnya sebagai anak.
Temuan mereka selaras dengan keterangan empat warga yang diwawancarai reporter Tirto beberapa hari setelah kejadian.
Seorang narasumber mengatakan penembakan bermula dari penyisiran pasukan TNI ke Distrik Hitadipa sebagai aksi balasan setelah Pratu Dwi Akbar dari Yonif 711/RKS/Brigif 22/OTA tewas ditembak oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Penembakan terhadap Pratu Dwi terjadi di Kali Hiabu pada 17 September. Aparat TNI menuding warga menyembunyikan anggota OPM.
Pada sore 19 September, Yeremia dan istrinya, Miryam, pergi ke kandang babi yang berada 300 meter dari rumah, dekat pula dengan pos jaga TNI. Saat Miryam balik ke rumah, Yeremia tidak ikut karena mau bakar ubi dulu. Jelang petang ia mendengar bunyi tembakan dari arah suaminya. Ketika balik ia melihat suaminyalah yang tertembak.
Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya menyimpulkan luka tembak berasal dari senjata api standar militer dan dilakukan dengan jarak kurang lebih 1 meter. Satu peluru mengenai tangan kiri bagian atas. Kemudian, ada irisan lurus vertikal berkisar 7-10 sentimeter di kulitnya dan kondisi tangan hampir terputus. Ditemukan pula luka di tubuh bagian belakang yang mengakibatkan pendarahan, diduga akibat senjata tajam.
Pihak keluarga menolak autopsi lantaran bukti dan kesaksian sudah banyak mereka berikan untuk menghukum pelaku. Lagipula membuka kembali kuburan bertentangan dengan adat di Papua. Itu bisa berdampak buruk bagi keluarga.
Tim lantas meminta Komnas HAM segera menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Hitadipa serta dan mendesak Gubernur Papua membantu pemerintah setempat memulihkan psikologi masyarakat di sana. Mereka juga mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI menarik pasukan dan menghentikan operasi militer di sana untuk menghindari eskalasi kekerasan.
Temuan Komnas HAM
Komnas HAM turut menyelidiki perkara Yeremia dan telah mengantongi beberapa temuan. Salah satunya terkait penyebab kematian sang pendeta.
“Kematian korban bukan disebabkan langsung akibat luka di lengan kirinya ataupun luka tindak kekerasan lainnya. Menurut ahli, penyebab kematian korban karena kehabisan darah,” ucap Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers daring, Senin (2/112020).
Itu disimpulkan karena luka tidak terletak di titik mematikan dan korban masih hidup kurang lebih 5-6 jam usai ditemukan. Luka ada di lengan kiri bagian dalam dengan diameter 5-7 sentimeter dengan panjang 10 sentimeter.
Penembakan dilakukan kurang dari satu meter, yaitu ketika Yeremia berlutut. “Tidak hanya tembakan jarak dekat, tapi [ada] kontak fisik jarak pendek. Karena ada luka berbentuk bulat pada leher bagian belakang dan pemaksaan agar korban berlutut,” sambung Anam.
Namun ada pula tembakan yang dilakukan sekitar 9-10 meter dari luar kandang babi. Ditemukan 19 lubang dengan 14 titik tembak. Anam mengatakan tembakan acak ini diduga dalam rangka mengaburkan penembakan yang sebenarnya.
“Yeremia diduga sudah menjadi target atau dicari oleh terduga pelaku dan mengalami penyiksaan dan/atau tindakan kekerasan lainnya untuk memaksa keterangan dan/atau pengakuan dari korban atas keberadaan senjata yang dirampas maupun keberadaan anggota TPNPB-OPM,” kata Anam menjelaskan kemungkinan motif pelaku.
Dengan kata lain, Komnas HAM menilai kasus ini termasuk pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing).
Lalu siapa pelakunya? Anam bilang terduga pelaku dibagi dua: pelaku langsung dan tidak langsung.
Pelaku langsung, sama seperti keterangan Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya, adalah Alpius, Wakil Danramil Hitadipa, yang kerap ditolong sang pendeta bahkan dianggapnya sebagai anak. Sementara pelaku tidak langsung adalah pihak pemberi perintah pencarian senjata yang hilang atau pencarian keberadaan gerilyawan Papua merdeka.
Komnas HAM lantas merekomendasikan kasus ini diusut hingga tuntas lewat peradilan koneksitas; proses hukum dilakukan di Jayapura atau di lokasi yang mudah dijangkau oleh saksi dan korban; mendalami keterangan pihak-pihak terkait; dan membongkar dugaan pengaburan fakta kejadian.
Laporan ini akan diberikan kepada Presiden dan Menko Polhukam untuk dijadikan bahan pengungkapan perkara.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino