tirto.id - Saat pemerintah mulai memberlakukan aturan larangan ekspor mineral mentah (ore) pada 11 Januari 2014, muncul pro dan kontra. Mereka yang menolak menilai, larangan ekspor ore dinilai dapat mematikan industri pertambangan dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Sebaliknya, mereka yang pro menilai, aturan larangan ekspor mineral mentah, justru menilai aturan tersebut dapat menambah nilai lebih sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Regulasi ini secara tegas mewajibkan perusahaan tambang agar melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU ditetapkan.
Namun, hingga waktu yang telah ditentukan, pada 11 Januari 2014, perusahaan tambang belum sepenuhnya siap, fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) belum terbangun. Kondisi tersebut membuat pemerintah mau tidak mau harus menyiasati dan mencari jalan keluarnya. Salah satunya dengan merevisi sejumlah regulasi turunan dari UU Minerba.
Pada 11 Januari 2014, pemerintah mengeluarkan dua beleid sekaligus, yaitu PP Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Regulasi tersebut menegaskan bahwa pemegang lisensi Kontrak Karya (KK) mineral logam dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi mineral logam hanya memperoleh waktu relaksasi ekspor dalam jangka waktu tiga tahun sejak aturan diundangkan. Itu pun dengan ketentuan hanya dapat mengekspor hasil produksi yang telah dilakukan pemurnian sesuai dengan batasan minimum pemurnian.
Artinya, berdasarkan regulasi yang berlaku, maka ketentuan relaksasi ekspor mulai 12 Januari 2017 tidak akan berlaku lagi, kecuali pemerintah memperpanjang masa relaksasi ekspor mineral melalui revisi aturan yang ada, seperti PP Nomor 1 tahun 2014, Permen ESDM Nomor 1 tahun 2014, serta Permendag No. 4 tahun 2014 yang mengatur tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Tarik Ulur Kebijakan Relaksasi Ekspor
Di tengah rencana revisi PP Nomor 1 tahun 2014, muncul desakan agar pemerintah memperpanjang waktu relaksasi ekspor mineral. Apalagi, saat Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, pada September 2016 sempat memberi angin segar kalau pemerintah mempertimbangkan akan memberikan kelonggaran atau relaksasi bagi perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter.
Wacana tersebut sempat mendapat respons beragam, ada yang mendukung, tapi tidak sedikit yang menolak. Seperti dilansir Antara, Direktur Utama PT Antam, Tedy Badrujaman mendukung rencana tersebut. Menurut dia, rencana relaksasi ekspor mineral secara terbatas yang diwacanakan pemerintah dapat mengoptimalkan nilai tambah hilirisasi bijih mineral.
Tedy menjelaskan, jika ekspor bijih mineral kembali diberlakukan, maka Antam sebagai BUMN pengelola sumber daya mineral, siap mengekspor bijih nikel antara 15-20 juta ton pada tahun 2017. Apalagi bijih nikel merupakan produk tambang yang memiliki nilai tinggi di luar negeri, sehingga jika diekspor akan menjadi tambahan pemasukan bagi negara dan pendanaan bagi proyek pertumbuhan pendapatan.
Namun, wacana tersebut direspons negatif oleh Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I). Mereka menilai, kebijakan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian investasi terhadap sektor industri pengolahan dan pemurnian mineral. Selain itu, kebijakan tersebut juga memberikan sentimen negatif ke sektor lainnya termasuk perbankan nasional.
Hiruk-pikuk perpanjangan relaksasi ekspor mineral ini menimbulkan polemik yang berdampak langsung pada industri hilirisasi. Karena itu, Ketua AP3I, Prihadi Santoso berharap pemerintah tetap konsisten menjalankan amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang mengamanatkan agar perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum diekspor.
Dalam konteks ini, masukan dari dua pihak tentu harus dipertimbangkan secara jernih oleh pemerintah. Karena pemerintah dihadapkan pada dua pilihan yang cukup sulit: jika memperpanjang waktu relaksasi ekspor mineral, maka investor yang akan menanamkan uangnya untuk pengolahan terganggu.
Sebaliknya, jika pemerintah tidak memperpanjang relaksasi ekspor mineral, maka para perusahaan tambang bisa saja tidak lagi berkomitmen membangun smelter seperti yang telah direncanakan. Apalagi, jika sudah dihadapkan dengan perusahaan pemegang lisensi kontrak karya (KK) seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (sekarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara).
Sejak adanya relaksasi, Freeport setidaknya sudah mendapatkan enam kali perpanjangan izin ekspor. Relaksasi ini memang sambil menunggu realisasi pembangunan smelter oleh perusahaan tambang seperti Freeport. Sayangnya, pembangun smelter oleh Freeport tidak kunjung terealisasi.
Komitmen Hilirisasi Mineral
Persoalan ini memang cukup pelik sehingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung turun tangan. Dalam rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa (10/1/2017), ia mengingatkan bahwa sumber daya mineral dan batubara merupakan sumber daya alam bukan energi terbarukan sehingga akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus.
Karena itu, Presiden Jokowi menekankan agar pemanfaatan sumber daya alam, seperti mineral dan batubara, harus betul-betul dihitung dan dikalkulasi dengan cermat. Presiden Jokowi juga menegaskan, pengelolaan sumber daya alam harus selalu memperhatikan kemanfaatan, keberlanjutan, dan juga aspek lingkungan hidup, dan berpihak pada kepentingan nasional.
“Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia,” ujarnya seperti dikutip laman setkab.go.id.
Lalu, apakah pemerintah masih akan memberikan relaksasi ekspor mineral bagi perusahaan tambang pasca 12 Januari 2017?
Saat rapat terbatas tersebut, Presiden Jokowi memang hanya memberikan arahan agar pengelolaan mineral diorientasikan pada kepentingan nasional dan berkelanjutan. Namun, arahan tersebut tentu menjadi petunjuk tegas bagi Menteri ESDM, Ignasius Jonan.
Menurut Jonan, pemerintah akan segera merevisi PP dan Permen ESDM tentang hilirisasi mineral. Dalam perubahan tersebut akan dicantumkan beberapa poin penting, seperti kewajiban kontrak karya ke izin usaha pertambangan khusus (IUPK), kewajiban divestasi, perpanjangan ekspor konsentrat dengan kewajiban membangun smelter, pajak ekspor, hingga pengolahan biji kadar rendah.
Meskipun Jonan tidak menjelaskan secara detail isi PP dan Permen tentang hilirisasi mineral yang akan disahkan pemerintah dalam satu atau dua hari ke depan, tetapi secara garis besar arahan Presiden Jokowi akan menjadi pertimbangan. Untuk sementara waktu, masalah relaksasi mineral masih belum ada ketegasan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti