Menuju konten utama

Teka-Teki Gergasi dan Hilangnya Peradaban di Barus

Peradaban Barus diceritakan musnah oleh serangan “raksasa” dari laut. Kemungkinan berkait dengan bencana besar di masa lalu.

Teka-Teki Gergasi dan Hilangnya Peradaban di Barus
Header Mozaik Gergasi dan Peradaban Barus. tirto.id/Ecun

tirto.id - Nun di pesisir barat Sumatra Utara, terdapatlah Barus. Kini, ia merupakan kota kecamatan di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun jangan salah kira, Barus di masa lalu amat masyhur sebagai emporium dan salah satu titik awal penyebaran agama Islam di Nusantara.

Bambang Budi Utomo dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah II, Kerajaan Hindu-Buddha (2012, hlm. 90) menyebut bahwa Barus telah eskis sejak permulaan abad masehi dan dicatat oleh ahli geografi Yunani Claudius Ptolemaeus dalam Geographike Hyphegesis (150 M).

Sementara itu seturut O.W. Wolters dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII (2017, hlm. 213), orang Arab juga mengenalnya dengan nama Fansur dan sebagai daerah penghasil komoditas kapur barus. Lain itu, ia juga dikenal dengan nama Pansur.

Pansur adalah nama yang lebih banyak muncul dibandingkan Barus dalam sebagian besar uraian tentang Sumatra sebelum Suma Oriental karya [Tome] Pires diterbitkan,” tulis Wolters (hlm. 214).

Barus merupakan pelabuhan yang menyediakan berbagai macam produk, seperti kapur barus, kemenyan, dan emas. Pamornya sebagai pelabuhan dagang ditopang pula oleh letak geografisnya yang strategis.

“Kondisi ombak yang tenang di sekitar Teluk Tapian Nauli sangat memungkinkan bagi kapal-kapal dagang untuk singgah di Barus dan menunggu angin Muson,” tulis Muhammad Nur, dkk dalam “Pelabuhan Barus Jalur Utama Rempah di Bagian Barat pada Masa Kejayaan Nusantara” (2021, PDF).

Selama menunggu perubahan angin muson, banyak pedagang yang kemudian menetap sementara di Barus. Kondisi itu membuat para pedagang yang berasal dari berbagai negara dan wilayah kemudian berinteraksi dengan penduduk sekitar. Salah satu bukti adanya interaksi itu adalah dengan ditemukannya beberapa tinggalan arkeologi di sekitar Barus.

Tinggalan-tinggalan tersebut antara lain Prasasti Lobu Tua berbahasa Tamil, keramik-keramik Tiongkok, dan juga makam-makam Islam. Beberapa tinggalan tersebut ditemukan di Situs Lobu Tua yang merupakan salah satu kawasan kuno penting di Barus.

Kemasyhuran Barus sebagai emporium bertahan hingga abad ke-12, sebelum jejaknya tiba-tiba menghilang. Biang utamanya masih menjadi misteri bagi para sejarawan dan arkeolog. Namun, folklor setempat menyebut bahwa peradaban Barus musnah oleh serangan gergasi.

Siapa atau Apa itu Gergasi

Gergasi sebenarnya adalah kata umum dalam bahasa Indonesia, bukan nama untuk entitas tertentu. Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring menjelaskan “gergasi” sebagai “raksasa yang besar, suka makan orang”.

Folklor setempat memang menyebut bahwa Barus hancur usai diserang gergasi atau raksasa yang datang dari laut. Meskipun disebut sebagai raksasa, gergasi ini juga dikaitkan dengan bentuk lain. Sebut saja masyarakat di sekitar Lobu Tua yang mengaitkan gergasi dengan musuh yang pernah menyerang kawasan itu pada masa lalu.

“Garagasi mengobrak-abrik Lobu Tua (salah satu daerah di Barus) setelah proses pengislaman. Garagasi berarti gergasi atau raksasa dalam Bahasa Melayu, identitas musuh yang masih belum jelas dan tidak ada sumber lain yang mencatat peristiwa ini,” tulis Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008, hlm. 63).

Ada juga ahli yang berpendapat lain, bahwa gergasi adalah sebutan untuk bajak laut atau nama sekelompok bajak laut. Ambo Asse Ajis dalam “Kamper sebagai Cagar Budaya Warisan Dunia: Sebuah Pemikiran Awal” yang terbit dalam jurnal Kebudayaan (Vol. 12, No. 2, Desember 2017) menyebut bahwa kelompok bajak laut inilah yang mengganggu rute perdagangan di sekitar pelabuhan Barus.

“Sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang bernama gergasi, kota ini ditinggalkan begitu saja.” tulis Ambo Asse Ajis.

Selain pendapat-pendapat itu, masih ada satu lagi tafsiran terkait gergasi yang cukup berbeda dari yang sudah-sudah. Bahwa gergasi atau raksasa yang memusnahkan peradaban Barus tak lain adalah stunami.

“Setelah gelombang tsunami menggulung pantai barat Aceh pada 26 desember 2004, terbit kesadaran baru bahwa bencana alam memiliki kuasa besar untuk mengubah jalannya sejarah di pantai barat Sumatera,” tulis Ahmad Arif dalam Hidup Mati di Negeri Cincin Api (2013, hlm. 126).

Infografik Mozaik Gergasi dan Peradaban Barus

Infografik Mozaik Gergasi dan Peradaban Barus. tirto.id/Ecun

Bencana Tsunami Kuno

Tafsiran bahwa gergasi berasosiasi dengan tsunami yang menerjang Barus di masa lalu bukanlah mustahil. Pasalnya, wilayah pantai barat Sumatera merupakan bagian Zona Subduksi Sunda yang kerap dilanda gempa bumi dan tsunami.

Zona Subduksi Sunda sendiri merupakan zona pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Zona Subduksi Sunda di lantai Samudera Hindia bermula dari selatan Bangladesh lalu memanjang melewati selatan Sumatra, Jawa, Bali, hingga Kepulauan Nusa Tenggara.

Gempa bumi disusul tsunami yang menerjang Aceh—juga gempa dan tsunami di Nias pada 28 Maret 2008—adalah contoh seberapa besar kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh zona subduksi di selatan Sumatra.

Seturut penelusuran Ahmad Arif, pantai barat Sumatra pun pernah dilanda beberapa gempa dan tsunami di masa lalu. Menyitir penelitian paleoseismologis Kerry Sieh, bencana besar yang dimaksud itu terjadi pada 1381, 1608, 1797, dan 1833.

Maka bukan tak mungkin bencana yang sama pernah menyapu Barus di masa lalu. Masyarakat yang pernah mengalami bencana ini kemudian menurunkan kisahnya melalui dongeng tentang gergasi dari laut.

"Dari sudut pandang geomitologi sebenarnya mitos dan cerita rakyat adalah metafora yang menceritakan tentang sebuah kejadian riil di masa lalu yang kemudian dibungkus dengan kepercayaan masyarakat," tutur peneliti tsunami Eko Yulianto seperti dikutip Gatra.

Terkait hal ini, Eko Yulianto menjelaskannya lebih lanjut dalam “Bencana Alam di Wilayah Indonesia dari Masa Prasejarah hingga Masa Klasik: Sebuah Tinjauan Geologi dan Geomitologi” (2020, PDF).

Dongeng atau folklor yang berkait dengan bencana adalah salah satu cara manusia mewariskan pengetahuan. Dongeng itu mulanya bisa jadi adalah rekaman kolektif atas kejadian nyata yang lambat laun berubah jadi mitos yang diwariskan. Inilah yang perlu dibedah dan direkonstruksi ulang.

Eko Yulianto lalu mencontohkan beberapa folklor yang punya kemungkinan berkait dengan kebencanaan. Salah satunya adalah legenda Sangkuriang dan beberapa toponimi-toponimi di kawasan Lembang yang kemungkinan berkait dengan pergerakan Sesar Lembang di masa lalu.

Ada pula folklor tentang Smong yang hidup di masyarakat Pulau Simeuleu. Karenanya, mitos tentang gergasi yang melenyapkan peradaban Barus pun kemungkinan memiliki hubungan dengan peristiwa bencana besar yang berasal dari Zona Subduksi Sunda.

“Kisah, mitos, legenda, toponimi dan istilah-istilah yang berkaitan dengan fenomena alam khususnya bencana niscaya ada hampir di setiap suku yang ada di Indonesia. Namun demikian, penelitian multidisiplin secara lebih mendalam perlu dilakukan guna mengungkapkan kaitan cerita-cerita itu dengan peristiwa-peristiwa bencana di masa lalu,” tulis Yulianto.

Baca juga artikel terkait BENCANA atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi