tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi memberhentikan dengan hormat anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, Syafri Adnan Baharuddin melalui Keppres No. 12/2019 yang dikeluarkan pada 17 Januari 2019.
Syafri merupakan atasan dari korban pemerkosaan, RA. Untuk mengusut kasus ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) membentuk Tim Panel dan hasil kajian mereka ialah merekomendasikan pemberhentian Syafri.
Namun, hingga saat ini laporan Tim Panel belum bisa dimiliki RA lantaran tidak bisa dikeluarkan. Padahal, jika laporan itu berhasil dimiliki RA, maka dapat dijadikan dasar untuk melawan dewan pengawas dan melanjutkan proses hukum.
“Saya menuntut hasil laporan DJSN, karena ingin nama baik saya dipulihkan, karena dalam sidang DJSN mereka menemukan bukti SAB melakukan perbuatan tercela,” kata RA di kantor Lokataru, Jakarta Timur, Minggu (3/1/2019).
RA mengatakan, laporan tersebut juga akan dijadikan bukti kepada siapa saja yang mempertanyakan dugaan kasus pemerkosaan yang dialami dirinya itu.
“Saya ingin menghentikan eksploitasi seks terhadap saya, saya bekerja menggunakan otak, bukan tubuh saya. Saya bukan penjaja seks,” kata RA.
Eks karyawan BPJS Ketenagakerjaan ini menambahkan hasil laporan itu juga bisa membuktikan bahwa perempuan bisa menang melawan kekerasan seksual.
“Saya harap keputusan DJSN dapat memulihkan kondisi psikis saya dari perundungan masyarakat,” kata RA berharap.
Ketua Tim Panel, Subiyanto Pudin beralasan salinan hasil laporan timnya belum bisa dimiliki RA lantaran Pelaksana Tugas Ketua DJSN, Andi Zainal Dulung sedang sakit.
“Setahu saya minggu lalu, sudah disiapkan surat ke pelapor [RA] perihal penyampaian kutipan salinan tim panel, mungkin terkendala karena ketua sakit,” kata dia kepada reporter Tirto saat dikonfirmasi soal masalah ini.
Sebaliknya, anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Poempida Hidayatullah menyatakan laporan Tim Panel bersifat rahasia.
“Itu sifatnya rahasia, hanya untuk dilaporkan kepada Presiden,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (3/1/2019).
Poempida menambahkan DJSN bukan lembaga penegak hukum dan tetap harus patuh pada undang-undang yang menaunginya. Menurut Poempida sifat dari tim panel adalah menemukan fakta yang hasilnya dilaporkan kepada presiden.
“Bukan menjadi suatu vonis karena yang dilakukan oleh Tim Panel adalah pemeriksaan dalam bentuk wawancara saja,” kata Poempida menambahkan.
Poempida juga mengklaim tidak tahu soal ‘keterlambatan’ pembentukan tim panel. Sebab, kata dia, tidak mesti semua laporan harus ditanggapi oleh DJSN.
“Kalau kurang bukti bisa dikembalikan untuk dilengkapi. Jadi, lima hari itu kalau sudah lengkap laporannya [baru bisa membentuk Tim Panel]” kata Poempida.
Sementara itu, Haris Azhar selaku kuasa hukum RA menyatakan dirinya meragukan integritas dan independensi DJSN lantaran ada upaya memperlambat penanganan perkara itu.
“Kami melihat ada upaya sengaja secara bersama-sama di berbagai pihak untuk membela pelaku dan berpotensi menghilangkan jejak kejahatan dan pelanggaran,” kata Haris.
Haris menguraikan bukti lambatnya penanganan kasus RA. Pertama, kata dia, ketika DJSN menerima surat laporan RA pada 7 Desember 2018, menurut mereka laporan itu tidak lengkap dan harus diperbaiki.
Lalu, kata Haris, RA kembali mengirimkan surat dan diterima oleh DJSN pada 26 Desember 2018.
Lantas pada 10 Januari 2019, Ketua Tim Panel Subiyanto Pudin menyatakan telah menerima surat laporan RA pada 16 Desember 2018 yang berisi poin aduan korban terkait dugaan pelecehan seksual.
“Terdapat ketidaksamaan ihwal penerimaan surat laporan RA, kalau DJSN sudah menerima pada 16 Desember, seharusnya Tim Panel terbentuk pada 21 Desember sesuai ketentuan peraturan DJSN Nomor 1 Tahun 2018 Pasal 12,” jelas Haris.
Pasal 12 ayat (1) berbunyi Ketua DJSN setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 paling lambat lima hari kerja membentuk Tim Panel dalam sidang pleno DJSN.
Kedua, lanjut Haris, DJSN menerima surat pengunduran diri Syafri pada 30 Januari 2019, esok harinya DJSN langsung membentuk Tim Panel untuk menangani aduan RA.
Sedangkan DJSN melalui Surat Nomor 779/DJSN/XII/2018 telah merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk pemberhentian Syafri.
“Seharusnya DJSN tegas untuk tidak menyampaikan rekomendasi kepada presiden pengunduran diri pelaku karena dia sedang berperkara,” kata Haris.
Karena itu, Haris menilai, DJSN dapat menarik kembali surat rekomendasi tersebut.
“Karena keanehan-keanehan itu independensi dan kredibilitas DJSN layak diragukan. Kami juga menyayangkan Keppres tersebut, seharusnya presiden dan jajaran Sekretariat Negara tidak susah memeriksa secara komprehensif kasus ini,” tutur Haris.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz