Menuju konten utama

Surya Tjandra Buka-bukaan soal IKN Lanjut dan Intervensi Pemilu

Surya Tjandra buka-bukaan soal kubu AMIN memang gencar mengkritisi beberapa proyek mercusuar pemerintahan saat ini.

Surya Tjandra Buka-bukaan soal IKN Lanjut dan Intervensi Pemilu
Header wansus Surya Chandra. tirto.id/Tino.

tirto.id - Selalu terasa ada argumen dan kemauan kuat jika mendengar sosok ini berbagi gagasan. Dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya – Surya Tjandra – mungkin salah satu sosok juru bicara tim pemenangan kubu paslon capres-cawapres yang disegani saat ini.

Pria kelahiran 28 Maret 1971 ini merupakan bagian dari Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (Timnas) Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Sebagai Jubir, nama Surya banyak beredar di pelbagai media untuk menjembatani visi-misi dan gagasan paslon AMIN.

Datang ke kantor Tirto dibalut jaket berwarna khaki, Surya berbagi banyak hal tentang dirinya dan perannya dalam tim pemenangan paslon AMIN. Memiliki latar belakang aktivis dan pernah masuk dalam kabinet pemerintahan, Surya punya pengalaman yang nyaris lengkap.

Surya pernah didapuk sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia dan Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Indonesia Maju pada 2019. Hampir tiga tahun menjabat, kini dia berada di jajaran pengusung paslon capres-cawapres nomor urut 1, Anies-Muhaimin.

Surya menilai AMIN merupakan paslon yang berani bertarung di level gagasan. Dia menambahkan, pemilu kali ini memang terasa ada semacam kekhawatiran yang coba dibangun dan diarahkan ke kubu AMIN.

“Makin ke mari, makin enggak penting ancaman itu. Makin enggak relevan ya. Mau pengerahan aparat, pengerahan segala macam, rasanya makin cair. Bukannya enggak ada, tapi kami tidak meresponsnya secara reaksioner,” kata Surya di kantor Tirto.

Kepada Tirto, Surya juga berbagi pandangan kubu AMIN soal megaproyek pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan food estate.

Seperti diketahui, kubu AMIN memang gencar mengkritisi beberapa proyek mercusuar pemerintahan saat ini. Berikut petikan wawancara Tirto bersama Surya Tjandra dalam Podcast For Your Pemilu:

Bagaimana Anda kenal dan dekat dengan Anies? Ketika di-reshuffle atau bahkan sebelum itu?

Kalau reshuffle itu saya sudah tahu setahun sebelum itu ya. PSI yang minta, karena dia ingin ada penggantian, biar orang bisa belajar, PSI setuju.

Dan memang dari sisi pekerjaan saya merasa sudah cukup. Tanpa kewenangan lebih, Wamen (Wakil Menteri) sudah mentok kerjaan ini buat saya. Karena target saya penyelesaian konflik. Konflik agraria itu tidak bisa selesai di ATR/BPN sendiri. Harus kerja sama dengan berbagai kementerian lain.

Tapi kalau ke Pak Anies sebetulnya, saya sudah sering ketemu Pak Anies. Dalam konteks pekerjaan, mungkin lebih dari 4 kali ya. Gubernur yang lain juga begitu. Tapi memang Jakarta ini agak unik, karena kan dekat.

Di sini juga ada program yang khusus ya, reforma agraria perkotaan istilahnya. Bentuknya itu bukan bagi tanah, karena tanah enggak ada, tapi konsolidasi tanah. Kawasan kumuh dirapihin, terus naik ke atas jadi konsolidasi tanah vertikal. Rusun dan sebagainya.

Jakarta ini menonjol karena juga di Jakarta ada hibah Rp80 miliar. Untuk kanwil BPN yang tugasnya itu mengkombinasikan data-data pertanahan. BPN itu punya data pertanahan. Jadi memang terobosan dan saya mendukung gitu waktu itu.

Jadi sering, nah saya memang membandingkan jadinya ya. Secara tidak langsung, tanpa pernah ngomong politik, dengan ya gubernur-gubernur lain gitu. Dan saya lihat memang Pak Anies menonjol. Dari sisi itu menunjukkan pemahaman, mau rumit itu unik banget, jarang pemimpin itu mau rumit ternyata. Terus juga dia tau mesti ngapain, dan dia bersedia berbagi tugas.

Surya Tjandra

Surya Tjandra. tirto.id/Andhika Krisnuwardhana

Dari orangnya Jokowi dan sekarang di kubu Anies, ada perbedaan?

Nggak ada ya. Saya sama aja, buat saya kan tetep saya gitu. Kalau dengan Jokowi kan dibilang dekat banget, nggak ya. Saya cuma dapet nih tugas Wamen. Dan saya kerjakan di level kementerian. Dan kemudian coba ngajak-ngajak temen Wamen lain.

Kemudian kalau dengan Pak Anies ini, ya saya membantu sahabat sebetulnya. Saya merasa dia bisa mewakili, apa yang saya pikir penting di dalam percaturan politik. Dan memang kelihatannya mulai terbukti kan. Dia ngomong enggak pernah kurang.

Saya kira saya bisa berharap lebih. Artinya, kalau memang ada kesempatan, rasanya dia akan lakukan yang perlu dilakukan sebagai seorang presiden. Terus menjamin juga demokrasi kita. Juga (mencegah) soal peluang Indonesia menjadi negara pendapatan menengah atas yang bisa jadi gagal.

Kita bisa terjebak middle income trap alias jebakan pendapatan menengah. (Tahun) 2045 itu tidak akan take off, karena apa? Karena kebijakan pembangunan (saat ini) enggak ke arah situ.

Di periode pertama dan kedua dari Presiden Jokowi ini berubah. Dari dia dulu dia inklusif, sekarang non-inklusif. Dan ini laporan dari LPM Fakultas Ekonomi Bisnis UI.

Kalau yang (periode) kedua ini non-inklusif, cuma menguntungkan 10 persen yang paling atas dan 20 persen yang paling bawah. Jadi cari duit dari orang paling kaya, dibagi yang paling miskin.

Makanya BLT kita hampir Rp500 triliun tahun ini aja. Dan itu barangkali yang menjelaskan kenapa Presiden Jokowi yang paling populer dalam sejarah, (kepuasan) 83 persen ya.

Apakah BLT itu ada hubungannya dengan tingkat kepuasan Jokowi yang tinggi?

Ya lah, karena persis yang artinya gini, kepedulian pada yang paling miskin itu tidak jelek. Kita butuh ya, memang mereka harus dibantu. Tapi, kepedulian pada yang (kelas) tengah, ini juga penting.

Artinya, anak-anak muda yang nanti akan jadi generasi sandwich. Kita ini kan bermain dengan momentum, artinya semuanya ruang ini bisa terbuka seperti sekarang, kita lagi bonus demografi.

Jadi pemberian BLT itu membantu mendongkrak survei kepuasan Jokowi?

Secara logika itu yang begitu yang kita lihat ya. Karena, nyaris tidak mungkin ya setinggi itu. Siapapun, dan apalagi kan masyarakat sebenarnya pada dasarnya itu cenderung enggak percaya sama pemerintah. Siapapun sebenarnya, di manapun di dunia. Itu agak terlalu luar biasa.

Karena normalnya paling top 70-60 (persen) udah bagus banget, 83 (persen) itu jadi aneh gitu sebetulnya, kalau dari sisi itu ya. Tapi ya mungkin ini soal strategi, kan presiden perlu legitimasi dan bekerja. Dia perlu bisa ngimbangin partai-partai di parlemen. Nah, caranya mungkin seperti itu. Cuma, seberapa lama ini tahan?

Kan yang namanya pemimpin negara itu topangannya kan ada dua. Satu itu apa itu istilahnya kekuasaan dan satu lagi wibawa.

Anda sempat kirim kritik pribadi ke Jokowi saat jadi Wamen, bagaimana responsnya?

Pak Jokowi ini salah satu presiden yang paling berkuasa dalam sejarah kita. Dan kalau dia bisa menahan, kekuatannya adalah kalau dia menahan diri dari terhadap kekuatan itu. Kelihatan kan sekarang agak diobral ya, agak ditonjolkan. Dan ini yang ya pelan-pelan bisa jadi problem. Kalau kita enggak manage dengan baik ya.

Tapi ya saya masih berharap kan masih ada waktu. Untuk bisa dia tunjukkan betul-betul netralitas itu. Dia tunjukkan kebesaran dan kenegarawanannya.

Walaupun agak sulit ya, anaknya yang maju. Nggak mungkin nggak dibantu gitu ya, terus dan coba bersikap adil pada proses ini. Mendukung proses transisi, karena kalau nggak ya bisa bahaya ya dalam jangka panjang.

Bicara intervensi, ada tekanan yang dirasakan Timnas AMIN?

Kalau Pak Anies kan pernah bilang ya, kalaupun ada tekanan, tekanan rakyat tuh lebih berat daripada tekanan yang dialami oleh dia dan tim gitu. Pak Anies selalu pesan, nih tekanan yang kita alami tuh, nggak seberat yang dialami masyarakat.

Dengan hitungan yang kita punya, macem-macem (bentuk tekanan). Ada misalnya yang pengusaha yang support, pajaknya dicek tiba-tiba. Nggak pernah tiba-tiba dicek gitu. Dan itu nggak cuma satu dua, banyak gitu ya.

Terus juga ada hotel maupun tempat restoran yang kita mau pakai buat pertemuan, juga nggak mudah, tiba-tiba batal gitu. Jadi memang kayak-kayak gitu. Dan saya sih pribadi tidak ngalami langsung tekanan yang represif ya.

Cuma memang kelihatannya dibangun semacam perasaan ketakutan. Tapi begitu mulai kita masuk beneran, Timnas dibentuk, orang-orangnya makin terbuka, sekarang orang makin berani bicara. Mulai berkurang tuh, kan banyak testimoni nih sekarang.

Jadi makin ke mari makin nggak penting, ancaman itu. Makin nggak relevan ya. Mau pengerahan aparat, pengerahan segala macam, rasanya makin cair.

Bukannya nggak ada, tapi kami tidak meresponsnya secara reaksioner gitu ya. Karena makin (terasa) ini bagian dari perjuangan dan itu mulai masif, mulai terasa (perjuangan) itu di berbagai tempat.

Adakah upaya membuat semacam hotline aduan pengancaman, untuk kader begitu?

Kan ada tim hukum yang memang tugasnya mengumpulkan bukti kalau ada laporan. Tapi tidak secara khusus sebetulnya. Karena memang buat kami ini, lebih senang bicara program.

Lebih bicara gagasan gitu, dan memang Pak Anies ya khususnya percaya banget dengan gagasan gitu. Dan saya cocok, memang kita jadi harus kombinasi antara target perkotaan dengan desa. Belum tentu informasinya sama ya dengan yang didapat dengan teman-teman yang di kota.

Kan dukung AMIN itu butuh proses internal. Dia harus berani, enggak mudah gitu menyatakan dukungan terbuka. Itu enggak mudah, karena itu tadi dibangun, apa ya semacam suasana mengkhawatirkan.

Surya Tjandra

Surya Tjandra. tirto.id/Andhika Krisnuwardhana

Ceritakan soal Deputi Disabilitas yang Anda pimpin di Timnas Amin?

Pak Anies itu sangat paham ya ketika membicarakan isu disabilitas. Itu ada prinsip nothing about us without us. Tidak ada tentang kami tanpa kami, jadi barangkali kalau boleh saya kasih daftar apa sih kelebihannya isu disabilitas di Timnas Amin ya? Satu, disabilitasnya sendiri terlibat.

Saya ini disable, dari lahir kena polio jadi kaki saya pincang. Kedua, orang-orang disabilitas masuk, ada yang di dewan pakar. Sekarang saya perluas berbagai ragam ke disabilitas. Di dalam kedeputian jadi saya cuma kayak koordinator. Ada yang tuli, ada yang tunanetra, Ada yang fisik, dan seterusnya gitu ini dikumpulin semua.

Dan memang yang bagusnya lagi, Anies ini kan enggak baru bicara ini. Kalau di DKI dia memberikan banyak hal. Termasuk yang saya kira penting banget. Kartu penyandang disabilitas.

Ini semacam identitas, kalau dia disabilitas, dia punya fasilitas-fasilitas pelayanan publik tertentu. Bisa lebih cepat waktu ngantre, bisa gratis kalau naik TransJakarta. Terus juga untuk tunjangan BLT, kalau dia miskin dan seterusnya. Cuma selama ini kan agak terhambat ketika naik ke pusat.

Padahal disabilitas itu, kalaupun dia kelas menengah belum tentu dia bisa nyaman hidupnya loh. Bisa menikmati fasilitas umum, seperti yang lain yang tidak disabel gitu ya. Nah, perlu ada kekhususan, itu dilakukan di DKI. Harapan kami ya di-scale up ke level nasional.

Bagaimana nasib IKN nanti di tangan Anies?

IKN itu kan ada dua sebenarnya tujuan ya. Satu, memindahkan ibu kota, kedua, menciptakan pusat pertumbuhan baru. Itu dua hal yang mestinya tidak harus disatuin, bisa dipisah. Malah harus dipisah, karena ada beberapa alasan.

Pertama, pemerintah Republik Indonesia enggak pernah loh bikin kota. Cek aja di seluruh Indonesia. Nggak pernah bikin kota baru. Belum pernah dalam sejarah, jadi dari nol, dari dari scratch sampai jadi belum pernah.

Kita pemerintah Indonesia enggak pernah punya pengalaman bikin. Kedua, kalau dia mau bikin pusat pertumbuhan baru, kenapa harus pindahin ibu kota administratif? Itu kan dua hal berbeda sebetulnya.

Kalau mau bikin pusat pertumbuhan baru ya jangan di hutan tapi di Balikpapan aja kita kembangkan. Samarinda yang udah jadi setengah kita gedein gitu jadi kota metropolitan. Bisa jadi pusat pertumbuhan baru, dia menggerakkan dan menggeret yang lain.

Nah, artinya apa? Kita membutuhkan tidak cuma pemindahan ibu kota. Tapi pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baru. Yang tidak cuma satu, tapi serentak di seluruh Indonesia. Yang siap, yang relatif siap yaitu kota-kota menengah istilahnya.

Karena kalau mau jadi kota besar harus ada kota dulu. Nggak gampang loh ngumpulin orang gitu, supaya orang mau tinggal di situ. Mau datang kesitu, mau hidup menetap di situ.

Nah, kalau yang Amin harapkan, kita pisahkan dua hal itu. Jadi kalau memang mau bikin pusat pertumbuhan kita dukung. Jalan, fasilitas umum, semua yang sudah direncanakan selama itu feasible, secara studi kelayakannya cukup, tetap dibangun.

Apa dampak IKN pengembangan baru buat Kalimantan? Daya dukungnya siap enggak secara lingkungan? Itu kan hutan yang mau diambil. Dan akan suka nggak suka, akan muncul ya hutan akan diambil untuk dipakai buat itu.

Kedua, bagaimana kita atasi ketegangan sosial yang sudah mulai muncul sekarang. Jangan lupa loh ada studi dari LIPI mengatakan kalau dulu orang-orang yang asli di sana itu kan nggak pernah ngurus surat.

Surat hak atas tanah, di sisi lain ada transmigran yang punya surat. Dan dalam konteks pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang punya surat sertifikat ini harga tanahnya lebih mahal berlipat-lipat dibanding yang tidak punya. Padahal mereka udah duluan tinggal di sini, sekarang ini terjadi ketegangan. Dulu itu simbiosis mutualis, sekarang jadi komoditas tanah itu.

Bagaimana juga menjawab masalah, ada satu mantan kepala daerah di sana yang punya tanah 40 ribu hektar, dia sendiri. Keadilan seperti apa yang kita harapkan kalau modelnya seperti itu. Siapa yang paling untung dari pengadaan tanah di sana? Yang jelas adiknya Pak Prabowo kan.

Punya HTI (atau) Hutan Tanaman Industri. Dan dia sebagian besar dari kawasan inti pusat pemerintah (IKN) itu punya Pak Hasyim. Ya pastilah dia harus mendukung itu. Karena kalau nggak, nggak dapat dong duitnya itu. Dan ini jadi garansi, bahwa dia akan dapat, kan dia nanam kayu.

Sementara di Amin, punya cukup kebebasan untuk paling tidak mengevaluasi dulu. Partisipasi dikuatin karena penetapan IKN kan ngebut. Partisipasi kurang.

Saya hadir waktu itu, istilahnya apa? Konsultasi publik. Konsultasi publik yang saya sempat datang kan nggak konsultatif, datang formalitas.

Jadi kalau memang sudah ada undang-undang, kita tidak tolak keberadaan undang-undang IKN. Tapi kita pisah dua tadi.

Pindahan ibu kota administratifnya atau bikin pusat pertumbuhan. Kami berharap pusat pertumbuhan tetap bisa kita dorong. Jadi pembangunan tetap bisa kita lakukan.

Pembangunan di IKN tetap dilanjutkan?

Iya, [IKN tetap dilanjut]. Dalam artian infrastruktur, bikin pelayanan publik, sosial, fasilitas umum, bisa terus dikerjakan. Tapi tentu dengan hitungan baru ya, dan dihitung dampak ke Kalteng dan Kalbar. Kalimantan secara umum.

Nah, baru pelan-pelan kita punya gambaran menyeluruh. Apa yang bisa secara optimal dan efektif ya? Mana yang lebih efisien? Mana yang lebih memberi nilai? Mana yang memang ini proyek pribadi yang tergesa-gesa dan malah bikin bahaya atau masalah ke depan. Karena kan ini utang, utang yang harus kita tanggung nanti.

Jokowi ingin upacara bisa di IKN 17 Agustus 2024, AMIN ada target selesaikan IKN?

17 Agustus tahun depan kan Pak Jokowi masih jadi presiden. Kita lihat hasilnya kayak apa ya. Tapi yang jelas kalau memang Amin terpilih. Mau ada review dan kita mau buka dulu feasibility studies-nya dibuka ke publik. Minta masukan, minta kontribusi dari seluruh yang bisa terdampak begitu. Dari yang paling dekat sama yang mulai jauh.

Jadi banyak hal yang mungkin bisa diperiksa lagi, tidak harus ditolak. Yang benar, yang baik, kalau memang itu bermanfaat dan rakyat setuju, uangnya ada, tidak membebani anggaran yang lain, ya kita bangun.

Tapi kalau memang harus ditunda, ya kita tunda aja secara bertahap. Toh urgensinya juga beda kan. Jadi enggak harus ditarget, harus tanggal segini. Belum, nanti kami ingin lebih hati-hati ya. Karena duitnya nggak dikit, Rp500 triliun.

Apa yang mau ditawarkan sebagai pengganti food estate yang sering dikritik oleh Timnas Amin?

Food estate juga ada dua target. Pertama, itu ketahanan pangan, kedua, itu kedaulatan pangan. Jadi treatment-nya berbeda. Kalau kedaulatan pangan kan kita ingin produksi sendiri. Kalau ketahanan pangan yang penting ada pangannya. Apakah beras, apakah jagung, apakah singkong itu tersedia.

Sebagian kita tanam, sebagian harus kita impor, jadi balance gitu. Kalau kedaulatan melulu mungkin juga enggak relevan karena dunia sudah global ya. Nah, ini yang kelihatannya miss di dalam perencanaan.

Kan pengennya ada masyarakat dilibatkan, cuma karena ini model project jadi harus begini, harus tanggal segini harus sudah apa, jadi kayak orientasi project gitu. Itu yang jadi persoalan.

Contoh misalnya nih ya, petani sudah mengelola sekian lama, dikasih sumbangan sundutan di Sumatera Utara, harapannya mau ada semacam industrialisasi katanya. Jadi dibikin di economic scale-nya ditinggiin, supaya bisa efisien produksinya banyak begitu.

Masalahnya adalah karena pengen cepat-cepat diresmikan, ini digusur, diratain, dirapihin, dijadiin food estate. Dibilang sebelum diukur, tanah-tanah petani itu. Nah, itu gimana klaimnya dia? Sampai dimana? Nggak ada yang punya dokumentasi. Saya nggak tau ya, terakhir saya kayak gitu, mungkin sekarang udah selesai.

Tapi waktu itu ada catatan ketergesa-gesaan gitu. Tanpa hitungan studi kelayakan yang cukup, dan ini terjadi di hampir semua. Kalimantan Tengah yang jadi kerjaannya Pak Prabowo. Itu kan tapioka, tapiokanya kayak tadi, itu untuk industri loh bukan untuk pangan. Jadi konteksnya memang buat industri ya, bikin mie.

Masalahnya kan bukan itu ya, masalahnya setelah ini gimana gitu loh. Itu hutan udah hilang, food estate nggak jadi. Kayunya enggak ada, enggak tahu kemana. Nah terus bagaimana pertanggung jawaban itu?

Jadi semacam gimik yang dia membayangkan kerjaan-kerjaan itu. Seperti gimik-gimik aja gitu. Dan tawarannya AMIN, kita mundur dulu nih. Dua tiga langkah, kita evaluasi yang sudah berjalan. Apa kekuatan, apa kelemahan. Kemudian kita perbaikin.

Yang paling penting dari semua itu, bagaimana petani yang jadi target atau subyek utama ini betul-betul menonjol.

Ada industrialisasi? Iya. Tapi jangan industrialisasi perusahaan yang temen-temennya Pak Prabowo juga, temen-temen dia tuh laporan di media. Jadi mau diambil alih, dikelola perusahaan biar efisien. Nah, perusahaan ini perusahaan temen-temennya dia. Apakah itu fair gitu?

Jadi ada tadi loh kayak subjektifikasi analisis risiko. Begitu pemerintah merasa ini penting, ini perlu, pasti benar. Belum tentu, ini yang Amin ingin membuka lagi diskusi itu.

Tapi dalam food estate ada peran Menteri dari Nasdem kan? Contoh Menteri LHK dan Eks Menteri Pertanian?

Ya waktu itu. Siapa yang berani nolak sama Jokowi sih? Sekarang aja juga enggak. Artinya apa ya, memang ada suasana yang begitu ya. Saya kan sebagai pribadi saya bikin nota versi saya sendiri enggak saya publikasi. Saya kasih catatan, temuan-temuan di lapangan harapannya nyampe ke presiden.

Saya kirim via Mensesneg begitu. Tapi enggak semua kan sebebas saya. Saya kan nggak terlalu pusing ya, saya nggak ada masalah. Saya juga nggak punya kerumitan-kerumitan. Kepentingan saya juga relatif fokus pada bagaimana kerja efektif gitu ya.

Artinya kita ingin ini kita buka ulang ya. Kita coba periksa ulang bersama. Dan itu bukan bertentangan. Artinya kita bisa melengkapi. Dan mereka tahu, barangkali tau situasi di mana titik masalahnya di mana? Dan ini kita coba periksa bersama.

Cuman bedanya kalau dulu pemerintah sendiri, atau sekarang ini. Nanti masyarakat terlibat. Tirto, teman-teman jurnalis terlibat ngecek. Make sense nggak nih analisis baru kita ini. Mana yang paling masuk akal.

Teman-teman CSO diajak terlibat. Kasih masukan, mereka kan yang tau situasi dihadapi oleh masyarakat paling terdampak. Ini kan blind spot, pemerintah tuh bekerja punya keterbatasan loh.

Jadi kalau dalam model sistem project (saat) ini kan kebijakan politik diterjemahkan menjadi kerjaan teknis. Nah, itu checklist, pokoknya gue udah lakukan ya. Nah kami ingin yang lebih substantif dan memang harus kompleks ya.

Kita pengen ini lebih terbuka, lebih transparan. Ayo kita evaluasi, kalau keputusannya komitmen bersama. Ini juga untuk nyelamatin mimpinya Pak Jokowi dong.

Supaya IKN tuh bener-bener terwujud dan memberi manfaat seperti yang diharapkan. Bukan sekadar ego atau ingin besar sendiri, bukan itu. Karena ini kebesaran seluruh masyarakat Indonesia ya. Kita dapet tantangan 2045, yang sekarang masih harus banyak dikerjakan gitu.

Silakan jika ada pesan untuk para calon pemilih?

Kita sudah menargetkan 2045 jadi milestone. Nah, milestone ini kalau mau dicapai harus ada prasyarat dan prakondisi yang disiapkan. Antara lain tadi ya, kebijakan yang lebih inklusif, melibatkan semua. Ada pemerataan, tidak cuma cari duit sebanyak-banyaknya terus dibagi-bagi pada yang paling miskin.

Tapi juga kelas menengah harus jadi perhatian utama. Nah generasi muda, teman-teman ini kan masa depan. Kelas menengah itu biasanya dia terdidik. Tinggal di perkotaan punya akses informasi yang baik.

Tolonglah, gunakan semua pengetahuanmu itu memilih calon yang terbaik. Yang memang bisa menjawab konsen kita. Masalah kita.

Berusaha, untuk tidak terjebak ya dalam gimik. Dalam seperti main-main begitu. Kita bisa melakukan pemilu secara fun, secara nyaman, secara relaks, tapi serius juga penting.

Artinya coba keluar dari pemahaman teman-teman sendiri dari apa yang kata orang. Dari pembiusan di media massa, media sosial. Itu kan sistematik, bisa dibuat begitu dengan algoritma.

Coba keluar sejenak, caranya gimana? Ya, mundur diem dulu, hening pahamin situasi. Dan coba, biarkan hati nurani yang bicara. Saya berharap, Pilpres siapapun menang itu adalah kemenangan hati nurani.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri