tirto.id - Generasi rebellious, istilah yang dinisbahkan pada anak-anak muda—terutama generasi millennial—yang diramal bakal melakukan banyak perubahan di abad 21 ini. Adalah William Strauss dan Neil Howe dalam bukunya: The Fourth Turning (1997) yang memprediksi bahwa para millennial itu akan mengalami friksi pandangan yang tajam dengan pendahulunya, generasi baby boom.
Para millenial rebel ini cenderung memberontak dan berapi-api menyalakan perubahan cepat (revolusi), termasuk dalam politik. Sayangnya, Strauss dan Howe dalam siklus tahapan generasi versi mereka tersebut berhenti di situ. Padahal dalam dinamika politik kekinian, selain millenial, untuk mengidentifikasi anak-anak muda juga popular terminologi Generasi Zoomer (Gen-Z).
Barang kali, satu-satunya persamaan dari dua generasi ini (Millenial dan Gen Z) sama-sama tumbuh gede di tengah kenyataan teknologi yang terus tumbuh, termasuk teknologi informasi digital. Itu yang kemudian diklaim memengaruhi perilaku dan cara interaksi sosial mereka. Karakternya lebih terbuka menyuarakan segala sesuatu, berani melempar kritik di luar pemahaman mereka.
Ini bisa diikuti lewat media sosial. Lihat saja betapa berisik dan beraninya mereka menyuarakan pendapat terkait satu peristiwa besar di negeri ini. Kondisi itu pula lah yang membuat karakter mereka unik. Para millennial dan Gen Z itu cenderung mendasarkan selera atau preferensinya—terhadap segala hal—pada realitas yang kadang terang kadang semu. Ini salah satunya nampak saat mereka bicara peluang politik generasinya.
Alam pikir para kawula muda tentang politik ini cukup berwarna. Tengok pandangan Wahid, anak muda Jakarta ketika bicara tentang suksesi kepemimpinan. Remaja 22 tahun itu sedang kongkow-kongkow sambil tertawa lepas saat rasan-rasan politik bersama kawan sebayanya, Male, akhir November 2023 lalu. Dua Gen Z itu memiliki pandangan unik soal kriteria calon pemimpin dari kalangan orang muda.
Mereka ternyata tidak apatis. Wahid misalnya, sangat terbuka terhadap selera atau preferensi politiknya. Ia tegas menginginkan calon pemimpin muda karena menganggap cukup mewakili karakter pemilih seusianya. "Menurut gue usia bisa jadi faktor pertimbangan baru, ya karena bonus demografi," ujar Wahid melempar argumentasi.
Malam itu Wahid dan Male sedang rasan-rasan Gibran Rakabuming Raka yang menjadi calon wakil presidennya Prabowo Subianto. Keduanya tidak terlalu mempersoalkan kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres, dimana ketentuan syarat usia minimal tidak mutlak 40 tahun, namun ditambah poin bahwa mereka yang pernah terpilih melalui pemilu; baik sebagai DPR/DPD, gubernur, atau walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Tapi tentu saja tidak semua Gen Z seperti Wahid dan Male. Ada juga Zakia yang justru sangat kritis dengan keputusan MK tersebut. Dara berjilbab itu menganggap kalau keputusan tersebut tidak fair dan seperti by design atau segaja dibuat untuk memuluskan langkah Gibran maju.
Za, demikian Ia disapa, tinggal jauh dari Jakarta. Ia mengikuti hiruk pikuk politik dari televisi, kemudian melahap informasi dari media online dan media sosial. "Aku tetap tidak setuju mas. Aku tetap tidak terima sama pencalonannya (Gibran). Bapaknya presiden, ketua MK pamannya. Jadi kayak gimana gitu lho..," katanya berulang-ulang.
Perbedaan sikap Wahid, Male dan Zakia memang benar-benar terjadi di kalangan anak muda saat ini. Mereka cukup terbuka melempar pemikiran. Anak-anak muda itu sudah biasa menumpahkan uneg-uneg lewat cuitan dalam tagar-tagar bertema politik di media sosial. Bisa jadi, mereka itulah yang membikin jagat medsos kian berisik di tahun politik ini.
Apalagi jumlah anak muda Indonesia saat ini sedang besar-besarnya. Berdasar sensus Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020, jumlah mereka lebih dari 50 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270,20 juta jiwa. Mereka juga mendominasi dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024.
Awal Juli 2023 lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia telah menetapkan DPT yakni sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, sebesar 52 persennya merupakan pemilih kategori berusia muda atau jumlahnya setara 106.358.447 jiwa.
Perinciannya, pemilih berusia 17 tahun sebanyak 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa. Kemudian pemilih dengan rentang usia 17 tahun hingga 30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa. Lalu disusul dengan Pemilih dengan 31 tahun hingga 40 tahun sebanyak 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa.
Calon Pemimpin Muda Menyisakan Tanda Tanya
Kemudian soal peran anak muda. Wahid punya pandangan yang bisa jadi tidak keliru. Ia cukup pesimistis terhadap kesempatan generasinya mampu bersuara dalam percaturan politik nasional. Suka atau tidak, jagat politik tanah air saat ini masih didominasi orang-orang tua. Anggota legislatif contohnya, mulai pusat sampai daerah (DPR RI sampai DPRD) masih diisi wajah-wajah lama.
Seolah regenerasi gagal, Ia menambahkan, gegap gempita kontestasi politik lima tahunan selama ini tak ubahnya hanya menjadi semacam ajang melanggengkan kekuasaan generasi-generasi tua. Ini juga acap kali terjadi dalam suksesi kepemimpinan di eksekutif, mulai dari presiden, gubernur sampai bupati dan wali kota yang pesertanya hampir pasti orang-orang di atas 40 tahun.
"Jadi yang diisi oleh golongan muda hanya minoritas. Dominasi mayoritas (orang tua) itu masih kental. Sedikit sekali kan anak-anak muda yang terjun dalam politik?" ujarnya.
Andai sekarang muncul politisi muda, kata Wahid, itu hanya tren sesaat menjelang pemilu saja. Pendapat ini bisa menjadi benar sebab di luar momentum pemilu, tidak banyak anak-anak muda itu yang kemudian konsisten muncul menyuarakan problematika masyarakat di forum-forum formal. Mereka seperti menghilang lalu kemudian tiba-tiba baliho dan posternya muncul lagi menjelang pemilu berikutnya.
Oleh sebab itu, meskipun Wahid mendukung dan mendorong anak-anak seusianya berani tampil mewarnai dan mengambil peran di kancah politik, namun di sisi lain ada semacam keraguan terhadap sepak terjang anak-anak muda itu nanti.
Keraguan Wahid itu cukup beralasan. Sejauh ini, selain peran anak muda yang masih sedikit, juga minimnya pengalaman berpolitik. Kemudian mereka juga rata-rata masih bisa dibilang tidak cukup punya ide serta gagasan kuat yang berdampak bagi kehidupan masyarakat. Ditambah lagi politik transaksional, bahwa konon butuh modal kapital besar dalam politik.
"Bekal pengalaman anak muda belum sebanyak politikus-politikus tua. Jadi masih abu-abu (pilpres) mau memilih siapa. Tapi ya tergantung ide atau gagasan calonnya," katanya.
Gagasan fresh ini penting diangkat ke permukaan sebagai kriteria calon pemimpin. Wahid berpandangan, calon pemimpin muda seharusnya bisa menawarkan pemikiran baru, kemudian punya kreativitas keren dalam aktivitas politiknya. Mereka harusnya lebih care dan paham dengan alamnya anak-anak muda. Metode jualannya—kampanye—juga tentunya harus lebih kreatif baik secara online maupun offline.
"Kekhawatiran gue sama, cuma janji-janji yang dikasih. Kerja-kerja enggak ada hasil sama sekali. Kayak omong kosong doang ibaratnya," kata Wahid menambahkan.
Meskipun begitu, kemunculan calon pemimpin muda ternyata cukup menyita perhatian masyarakat. Merujuk kepada hasil survei Tirto dengan Jakpat, sebesar 38,87 persen responden cenderung lebih memilih kandidat pemimpin berusia di bawah 40 tahun jika Ia berkolaborasi dengan politikus yang lebih tua dan berpengalaman.
Sementara 49,27 persen memilih netral; 9,80 persen memilih tidak terlalu berpengaruh; dan 2,07 persen memutuskan tidak berpengaruh sama sekali. Kalau dari rekam jejak, lanjut Dodi, calon muda umumnya tipis pengalaman, itu tidak akan membikin gentar calon tua.
Kemudian keterlibatan calon pemimpin muda ternyata juga mengatrok tingkat partisipasi publik dalam pemilu. Hasilnya, 45,87 persen orang jadi lebih ingin mencoblos pada Pemilu 2024 nanti jika ada calon pemimpin muda. Lalu 42,53 persen responden cenderung netral; 8,80 persen merasa tidak terpengaruh; dan 2,87 persen menegaskan sama sekali tidak terpengaruh.
Maryam seirama dengan Wahid. Peneliti hukum berusia 39 tahun itu menganggap usia muda dalam kepemimpinan itu penting, namun syaratnya tetap harus didukung dengan pengalaman politik atau minimal pernah masuk dalam pemerintahan. Sebab ke depan seorang pemimpin pasti diuji dengan berbagai kesulitan; dari caranya mengambil keputusan, membuat kebijakan, kemudian pasti dihantam persoalan-persoalan pelik masyarakat yang tentu menguras emosional.
Ketika ada calon yang ternyata pengalamannya belum teruji, bisa dipastikan bakal berdampak pada kebijakan-kebijakan yang bakal diambil dalam situasi genting. Dalam posisi tertekan dan tidak stabil itulah, ada kemungkinan Ia cenderung emosional saat mengambil keputusan penting.
Lebih dari itu, seorang pemimpin juga harus memahami bahwa setiap keputusan yang diambil pasti akan memiliki konsekuensi, sekaligus ada tanggung jawab besar yang harus dipikul setelahnya. “Dan inilah yang harus dibuktikan,” kata Maryam.
Di Indonesia sebenarnya ada banyak contoh pemimpin muda yang bisa dibilang cukup mulus karir politiknya selain Gibran. Di Jawa Timur ada sosok Emil Dardak yang menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur termuda dalam sejarah. Meskipun sepak terjangnya menjadi gubernur saat ini belum bisa dibilang paripurna.
Emil berpasangan dengan Khofifah Indarparawansa maju dalam Pilgub 2018 lalu. Pasangan ini memperolehan 10.465.218 suara (53,55 persen), mengalahkan Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno yang meraih 9.076.014 suara (46,45 persen). Sebelum maju sebagai calon wakil gubernur, Emil memenangi Pilkada Trenggalek sebagai bupati di usia 31 tahun.
Giliran Valensiya melempar pendapat pribadinya terkait peluang pemimpin muda. Mahasiswi jurusan teknik informatika Universitas Indraprasta Jakarta, itu memiliki pemikiran serupa tentang anak muda. Menurut dia pemimpin muda sebenarnya memiliki nilai plus karena lebih memahami karakter sebayanya: masalah lingkungan keluarga, pertemanan, pendidikan, pekerjaan, sampai keuangan.
“Tapi yang kami inginkan (dari pemimpin muda) itu perspektif barunya dan gebrakan-gebrakan nyatanya. Bukan hanya berpolitik demi kepentingan dan hanya menjadikan masyarakat komoditas politik saja.”
“Semoga para pemimpin muda, mereka melek akan isu ini. Enggak cuma 'menjual' kaum marginal saat kampanye saja, tapi bisa membuktikan (turut memperhatikan keberadaan kaum),” ujarnya.
Valensiya merasa khawatir kalau-kalau para politisi muda ini justru gagal mewarnai politik tanah air, dan malah ikut terjerembab arus gerakan politik generasi tua sebelumnya setelah menjabat. Janji manis jadinya hanya di bibir saja, namun ketika sudah mendapatkan posisi atau jabatan penting justru mengabaikan hal-hal substantif yang sejak awal sudah dijanjikan.
"Menggadang-gadang kalau isu-isu anak muda akan diangkat, tapi pas menjabat ternyata mereka berada di bawah kekuasaan juga. Lebih khawatir lagi, mereka benar-benar enggak berpihak ketika menjabat," ujarnya.
Sentimen Terhadap Pemimpin Muda
Merujuk kepada survei tim riset Tirto perihal sentimen anak muda terhadap pemimpin muda, ternyata 40 persen responden memilih "Penting" menjadikan usia sebagai pertimbangan seseorang menduduki posisi dalam pemerintahan. Kemudian 30,67 persen memilih "Tidak signifikan"; sebanyak 24,20 persen memilih "Sangat penting"; lalu 2,93 persen menjawab "Tidak tahu"; dan 2,20 persen menjawab "Sangat tidak signifikan".
Lantas dalam kategori "Seberapa mungkin Anda mendukung seorang kandidat berusia di bawah 40 tahun untuk posisi presiden/wakil presiden?", jawaban responden juga bervariasi. 19,20 persen memilih "Sangat mungkin"; 39 persen memilih "Mungkin"; 31,89 persen memutuskan "Netral"; 7,13 persen "Tidak mungkin"; dan 2,87 persen "Sangat tidak mungkin".
Dalam pilpres kali ini, dari ketiga pasang calon hanya Gibran yang berusia di bawah 40 tahun. Lantas bagaimana pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada, Kuskridho Ambardi, memandang pencalonan sosok Gibran ini?
Menurut Kus, diskusi tentang calon pemimpin muda agak menjadi bias jika analisisnya hanya didasarkan pada pencalonan Gibran yang dipasangkan dengan Prabowo semata. Harus ada komparasi dengan sosok politisi atau pemimpin muda lainnya.
"Argumen pentingnya calon pemimpin muda datang belakangan untuk menopang dan melegitimasi Gibran. Boleh saja. Tapi asumsi bahwa pemimpin muda itu lebih baik, umumnya tidak disertai dengan pemeriksaan sistematis. Misalnya, berapa pemimpin muda nasional dan lokal yang memang mencatat prestasi," katanya kepada Tirto akhir November 2023.
Jika muda itu dikaitkan dengan kecenderungan dan kemampuan inovasi kebijakan, agaknya kurang tepat. Pada kenyataannya pemimpin yang berhasil berinovasi tak melulu terpaku pada usia. Longok saja penghargaan Kepala Daerah Inovatif (KDI) 2022, ada yang berusia muda dan tua. Ramli MS, Bupati Aceh Barat, mendapat penghargaan dalam kategori pelayanan publik. Ia berusia 59 tahun saat itu.
Kemudian Ngesti Nugraha, Bupati Semarang, 53 tahun, yang memenangkan penghargaan KDI untuk inovasi kebijakan pariwisata. Tentu ada yang muda juga, seperti Vandiko Gultom, Bupati Samosir, 31 tahun yang memenangkan KDI kategori pariwisata.
Intinya, usia seorang pemimpin tidak otomatis menentukan kemampuan berinovasi. Jadi tidak fair kalau diskursus tentang pemimpin muda ini kemudian hanya dinisbahkan kepada Gibran.
Pria yang akrab dipanggil Dodi itu lantas menambahkan, sejumlah pemilih pemula bisa saja menimbang usia calon pilihan sebagai faktor penting. Kesamaan usia, tempaan situasi dan kondisi akan memudahkan pertautan emosi dan aspirasi di antara mereka. Akan tetapi itu tidak akan menjadi satu-satunya faktor pembawa kemenangan. Paling menambah proporsi dukungan yang tidak cukup besar.
"Mayoritas pemilih biasanya akan lebih menimbang janji kampanye, situasi ekonomi yang dihadapi, agama, dan sejenisnya untuk menentukan pilihan calon mereka," kata Dodi menjelaskan.
Tinggal setelahnya menata strategi politiknya, personal branding menjadi keharusan. Dan di era media sosial seperti sekarang branding diri seorang politisi atau calon pemimpin sangat ganpang dilakukan, dan cenderung mudah dimakan generasi muda. Ada banyak jasa konsultan: ahli dan pakar, serta para profesional multi media bisa dipakai sekarang ini.
"Kalau sumber daya calon muda itu masif, Saya kira itu bisa membikin gentar. Khususnya jika itu berkaitan dengan sumber daya keuangan dan jaringan. Sumberdaya keuangan (modal keuangan) dan jaringan itu bisa personal, namun bisa juga dari keluarga (modal sosial)," ujarnya.
Bila kekuatan modal kapital dan modal sosial itu bisa dioptimalkan, maka kemampuan berkompetisi calon muda menjadi melampaui faktor usia. Formulanya, usia muda plus sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya itulah yang bakal mentransformasikan citra calon muda.
Lainnya, harapan publik agar para calon pemimpin muda mampu menyelesaikan masalah kenegaraan, seperti biaya pendidikan mahal atau kesulitan mengakses fasilitas kesehatan di daerah terpencil. Hal itu masih bersifat umum, khususnya di Indonesia.
Bila calon muda jeli membidik perhatian publik maka akan membantunya untuk menjadi calon yang kompetitif, namun kemampuan itu tidak dimonopoli oleh calon muda saja.
Dodi juga mengatakan saat ini penduduk di bawah 40 tahun belum terwakilkan oleh calon pemimpin muda, secara proporsional. Jika dari representasi agenda kebijakan, Ia mengira kaum muda sama nasibnya dengan kaum perempuan yang minim tawaran kebijakan dan menjawab kepentingan kolektif masing-masing kelompok.
Kembali merujuk kepada hasil survei Tirto, parpol sebaiknya melakukan upaya khusus untuk mempersiapkan individu muda dalam posisi pemerintahan. Hasilnya sebagai berikut: ternyata sebesar 57,87 persen memilih program mentoring sebagai upaya meningkatkan kapasitas individu muda.
Kemudian sebanyak 69,47 persen memilih pelatihan khusus bagi kader muda; 69,67 persen memilih agar calon muda diberikan kesempatan untuk terlibat dalam politik lebih dini. Dodi pun merespons kalau sebenarnya setiap parpol telah melaksanakan program-program pengembangan kemampuan anak-anak muda itu melalui sayap organisasi kepemudaan mereka.
"Problemnya, mereka tidak maksimal mengembangkan isu-isu kebijakan yang menjawab problem yang dihadapi oleh kaum muda dan terlalu konvensional tekniknya dengan membikin acara hiburan bagi kaum muda," katanya.
Jika mereka ingin tampil lebih menonjol, strategi pengembangan isu untuk kaum muda perlu dieksplorasi lebih kreatif dan substantif, tak semata dengan mengajukan klise "kaum muda pemilik masa depan" dan sejenisnya. Strategi itu perlu melampaui gimik hiburan.
Tantangan calon muda adalah melatih kemampuan menangkap tuntutan kolektif kaum muda sendiri, memahami kecenderungan mereka, dan memahami bahasa mereka. Poin pertama dan kedua memerlukan waktu. Sementara poin ketiga, Dodi menganggap calon muda lebih siap.
Apakah keterlibatan anak muda, atau lebih spesifik pencalonan mereka bakal memicu kekhawatiran publik jika tak bertanggung jawab dalam pemerintahan? Dodi menegaskan tidak khawatir bila kualitas si pemimpin bagus. Namun yang mengkhawatirkan jika sebaliknya, maju sebagai calon bukan karena kualitasnya namun karena semata-mata dorongan partai politik.
Mereka yang Berbeda
Abigail Limuria, inisiator Bijak Memilih, berkata dalam Pemilu 2024, 52 persen atau 107 juta pemilih berasal dari kalangan muda. Maka para kandidat bersaing mendapatkan suara mereka. Karakter Gen Z dan milenial sangat beragam, tidak bisa digeneralisir berdasar umur dari dua generasi tersebut.
"Kami tak bisa melihat pemilih muda sebagai satu kelompok dengan kebutuhan dan karakteristik yang sama," ucap dia kepada Tirto awal Desember 2023 lalu.
Misalnya dalam suatu daerah, meski lintas umur, asal punya kesamaan demografi maka bisa jadi sikap pemilih muda satu dengan lainnya bakal berbeda. Oleh sebab itu sebenarnya sampai sekarang masih sangat sulit menerka karakter pemilih muda ini. Mereka tidak bisa disama ratakan karakternya. Ada yang masih kuat karakter kedaerahannya, latar belakang pendidikan, agama dan pertimbangan lain.
Sedangkan bagi calon pemimpin muda dalam eksekutif dan legislative sendiri, saat ini walau jumlah mereka menjadi mayoritas tapi persentasenya lebih kecil.
"Menurut saya, pemilih muda tidak otomatis memilih pemimpin muda. Saya banyak bertemu orang muda yang sekarang jauh lebih kritis. Mereka tak terlalu peduli usia dan latar belakang, asalkan mereka merepresentasikan isu yang mereka pedulikan," jelas Abigail.
Tapi pemimpin yang umurnya mendekati usia pemilih muda, punya sensitivitas dan probabilitas lebih tinggi untuk memperjuangkan isu-isu yang melekat kepada anak muda. Apalagi ada kemungkinan pemilih muda lelah melihat gimik-gimik politik saja.
Para pemilih muda ini juga ingin calon pemimpin beradu gagasan; tidak menjadikan pemilih muda sebagai objek tapi subjek, yakni dengan tidak menganggap mereka sebagai anak-anak, melainkan memiliki kedewasaan untuk menentukan pemimpin-pemimpin negeri.
Justru indikator usia tidak relevan jika dikaitkan apakah pemimpin muda mampu bertanggung jawab ketika dalam pemerintahan.
"Lebih relevan publik melihat rekam jejak. Kebijakan, terobosan, isu apa yang selalu dibawa, serta sistem dan organisasi yang ada di sekitarnya. Karena jika ia terpilih, dia tidak akan memimpin sendiri," terang Abigail.
Parpol pun punya peran terhadap kader muda, misalnya bagaimana mereka ikut dalam perpolitikan nasional. Publik ingin ada kader muda yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Parpol bisa menilai berdasar meritokrasi dan berikan kesempatan kepada kader-kader muda yang bukan golongan elite, punya rekam jejak dan gagasan baik, untuk berpolitik.
Tak hanya itu, masyarakat tak bisa berpikir "pemimpin muda tak hebat dalam pemerintahan" atau sebaliknya, melainkan individu si pemimpin itu dan sistem yang mengelilinginya.
Ada juga dasar kemungkinan golongan tua menggandeng golongan muda dalam pertarungan nanti. Pertama, ada keinginan partisipasi intergenerasionalitas–mereka ingin mengangkat suara kalangan muda. Kedua, hanya sekadar langkah untuk mendulang suara pemilih muda.
Salah satu cara untuk mengetahui alasan aslinya, Abigail menyarankan publik untuk mendalami rekam jejak si pemimpin tua yang merangkul anak muda. "Apakah dalam kerja sebelumnya, ia benar melibatkan suara generasi muda dalam proses pemerintahan atau hanya tokenisme saja," ucap Abigail.
Oleh sebab itu perlu ada sinkronisasi untuk antara politikus tua dan muda. Sebab kadang penyelesaian masalah bisa berbeda. Ini terjadi dalam banyak sektor, yaitu bila ada perbedaan generasi maka bisa terjadi sinergi. Dengan catatan ada partisipasi antargenerasi dan mau melibatkan satu sama lain dalam level substansi.
Lantas apakah kelompok muda memang cari pemimpin muda agar muncul ide-ide segar dan pro orang muda?
"Itu adalah asumsi orang tua terhadap yang muda. Padahal mereka belum tentu berpikir seperti itu. Dalam kenyataannya, orang-orang muda sangat kritis. Mereka lebih cari siapa yang memperjuangkan semangat orang muda, bukan yang terlihat muda secara usia," tutur Abigail.
Editor: Muhammad Taufiq