Menuju konten utama

Surga Baru Bisnis Call Center Dunia

Negara-negara dunia ketiga menjadi pemimpin dalam bisnis layanan outsourcing call center dunia. India menjadi penguasa layanan ini selama bertahun-tahun. Namun belakangan, posisi India mulai terusik dengan Filipina yang makin agresif masuk ke bisnis jasa lintas benua ini.

Surga Baru Bisnis Call Center Dunia
Ilustrasi Call Centre. Foto/Shutterstock

tirto.id - “Tapi Pak......”

“Tidak! Saya ingin kamu berbicara tanpa itu. Tutup bukunya Sajar!” perintah Deep.

Muka Sajar terlihat bingung, sesekali matanya melirik ke buku catatannya.

“Sekarang, ucapkan dua kalimat dari apa yang telah kamu tulis!” seru Deep lagi.

Sajar pun tetap menunduk, tanpa suara sepatah kata pun.

“Tidak? Bagaimana kalau satu kalimat saja? Hanya satu kalimat saja Sajar!” ucap Deep dengan nada keras.

Sajar tetap membisu.

“Lihat kan, kalau kamu tutup buku, kamu terlihat bodoh,” sindir Deep dengan nada ketus.

Ini bukan dialog di sebuah sekolah dasar di Indonesia, tapi di sebuah kelas kursus pelatihan Orion Edutech di Bengalor, di Distrik Jayanagar, India. Mereka sedang belajar aksen bahasa Inggris. Orion Edutech merupakan salah satu dari ratusan lembaga kursus pemantapan bahasa Inggris di India yang secara khusus membenahi aksen Inggris India yang terkenal medok. Tujuannya agar lebih mendekati aksen Amerika. Nyatanya, membenahi masalah aksen bukan hal yang mudah di India.

Setiap tahunnya ribuan anak muda di India seperti Sajar rela mengeluarkan ongkos kursus 900 dolar AS untuk mengikuti pelatihan persiapan menjadi agen call center. Di negeri ini, profesi agen call center menjadi ladang mencari uang yang bergengsi. Penghasilan 250-300 juta dolar AS per bulan sudah di tangan.

India termasuk yang ketiban durian runtuh ketika pada awal 2000 banyak perusahaan AS yang memberikan pekerjaan call center ke perusahaan-perusahaan penyedia jasa call center ke luar AS. India sangat berjaya sebagai lokasi global outsourcing perusahaan-perusahaan besar dunia yang sudah dimulai sejak era 1970-an.

Menurut BPO Market Outlook 2013, bisnis ini berhasil menampung lebih dari 1 juta pencari kerja India, yang sebagian besar adalah kaum muda dan para insinyur mesin. Bisnis ini diperkirakan telah menyumbang 7-8 persen dari keseluruhan ekonomi India.

Pakar manajamen Rhenald Kasali menyebutnya logika bisnis outsourcing di India berlawanan dengan yang ada di Indonesia. India mampu menjawab kebutuhan perusahaan global yang ingin fokus pada bisnis inti mereka tanpa perlu repot-repot mengurus persoalan sampingan seperti layanan call center.

India salah satu negara yang sukses membalikkan imej pekerjaan agen call center dari tak bergengsi dengan gaji murah, tanpa kepastian karier, dan kemampuan SDM rendahan. Dalam dunia manajemen sering disebut Business Process Management (BPM), sebuah bisnis yang menuntut keahlian-keahlian khusus. Di India, iming-iming tunjangan kesehatan, kendaraaan, termasuk fasilitas pensiun menjadi daya tarik para agen call center.

Selain India, peluang ini juga disambar oleh Filipina, Cina, dan Malaysia. Negara-negara tersebut bertarung untuk menarik sebanyak-banyaknya pekerjaan call center para perusahaan kakap yang masuk Fortune 500, berbasis di negara-negara industri maju seperti AS dan Eropa.

Bisnis call center sangat erat dengan kemampuan bahasa internasional khususnya Inggris. India maupun Filipina menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi mereka. Namun, beberapa tahun terakhir, angin bisnis call center beralih ke Filipina. Kenapa?

Jantung Baru Call Center Dunia

Setidaknya sejak 2011, Filipina mulai menjadi negara yang sangat diperhitungkan dalam kancah call center, bahkan disebut-sebut telah mengalahkan India dari sisi geliat bisnis ini. Di Filipina bisnis jasa call center rata-rata tumbuh pada 25-30 persen per tahun. Di India hanya tumbuh 10-15 persen, padahal lebih dulu sebagai pemain utama di bisnis ini.

Industri call center Filipina berawal dari kondisi krisis moneter yang melanda ASEAN pada 1997. Bisnis ini terus berkembang hingga mencatatkan pendapatan miliaran dolar AS per tahun. Pemerintah Filipina menganggap industri ini sebagai industri yang cerah dan terus mendorongnya. Kota-kota jasa call center menjamur antara lain Manila, Cebu, Bacolod City, Baguio City, Cagayan de Oro, Angeles City, Dagupan City, Davao City, Tacloban City, Durmuguete City, Lipa City, Iloilo City, Legazpi City, Iligan City, dan Urdaneta City.

Salah satu keunggulan Filipina menjadi pusat call center baru di dunia karena ditopang dari keunggulan alami sumber daya mereka di sektor ini. Para agen call center di Filipina terkenal dengan kemampuan bahasa Inggris yang baik. Logat bahasa Inggris Filipina dengan warga Amerika Serikat (AS) relatif lebih dekat. Anak-anak muda Filipina belajar bahasa Inggris Amerika sudah dari kelas satu sekolah dasar. Kebiasaan makan hamburger, menonton program TV AS "Friends" sudah mereka lewati jauh sebelum mereka kerja sebagai agen call center.

“Kebudayaan kita sangat mirip. Kita juga sering tak bicara keras di dalam percakapan telepon. Kami sangat fokus pada kepentingan konsumen,” kata Fred Chua, seorang warga Manila yang sudah lama malang melintang sebagai agen call center.

Saat ini tercatat ada 1.000 lebih perusahaan outsourcing call center yang bergerak di Filipina, mayoritas melayani perusahaan-perusahaan AS. Beberapa perusahaan yang menggunakan jasa agen call center di Filipina antara lain Citibank, Safeway, Chevron, Aetna, AT&T, JPMorgan Chase, Expedia dan banyak lainnya.

Selain bahasa, orang Filipina diangggap lebih memahami dan mengerti para konsumen Amerika daripada agen call center di India yang berlatar belakang dijajah Inggris.

Yang menarik, pertimbangan upah ternyata tak menjadi persoalan. Perusahaan-perusahaan AS maupun Eropa tak keberatan membayar sedikit lebih mahal daripada di India. Sebagai gambaran, untuk tenaga call center pemula di Filipina bisa diupah 300 dolar AS, padahal di India hanya cukup 250 dolar AS per bulan.

Perusahaan call center India tak tinggal diam. Mereka pun sadar terhadap kelemahan mereka. Sebuah perusahaan jasa call center yang berbasis di Mumbai India, Aegis Global mengambil langkah ekstrem. Demi mempertahankan klien mereka agar tak kabur, Aegis mengakuisisi perusahaan outsourcing PeopleSupport di Manila, Filipina pada 2008 dan mempekerjakan 13.000 orang Filipina.

“Filipina punya kombinasi yang unik sebagai sebuah negara di timur, keramahan sikap yang mengayomi dan dicampur, yang saya istilahkan dengan Amerikanisasi,” kata Chief Executive Aegis Global Aparup Sengupta dikutip dari New York Times.

Namun, dua tahun terakhir secara perlahan sudah ada pergeseran peta bisnis call center global. Beberapa perusahaan call center lokal di AS terus berekspansi dengan menawarkan keunggulan mereka yang lebih dekat dengan publik AS. Isu soal upah pekerja di negara-negara dunia ketiga yang tidak lagi murah, dijadikan sebagai nilai jual mereka. Perusahaan-perusahaan AS juga menemukan keluhan soal konsumen yang tak senang layanan call center lintas benua. Mereka mengusung jargon konsumen lebih senang bila diladeni oleh orang-orang yang masih di negaranya sendiri.

“Banyak pekerjaan akan kembali ke AS,” kata Presiden dan CEO Dialog Direct Doug Kearney dikutip dari usatoday.

Belum Menangkap Peluang

Ketika negara-negara ASEAN berlomba menangkap peluang jasa call center lintas benua. Indonesia relatif tertinggal dengan Malaysia maupun Filipina. Beberapa tahun lalu ada fenomena pengalihan pusat operasi call center dari Australia ke Fillipina. Anehnya, Indonesia tak menjadi pilihan alternatif bagi Australia, meski secara geografis lebih dekat dengan mereka.

“Agresivitas kurang dan peraturan yang ribet. Kalau dapat kerjaan kita bisa kok,” kata penasihat Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Iftida Yasar kepada tirto.id, Minggu (12/6/2016).

Apa yang disampaikan Iftida ada benarnya, bahwa Indonesia punya kapasitas dalam layanan call center global. Dalam sebuah survei The Global Service Location Index (GSLI) yang dirilis perusahaan konsultan global A.T.Kearney Januari lalu, Indonesia secara mengejutkan menempati urutan ke-5 sebagai negara yang punya potensi bisnis outsourcing lintas benua. Indonesia hanya kalah dengan Brazil, Malaysia, Cina, dan India yang berada di urutan teratas. Sedangkan Filipina yang sedang naik daun di bisnis ini justru hanya di peringkat ke-7 di bawah Thailand.

“Meskipun sangat kuat secara fundamental, sumber daya bertalenta yang berlimpah dan sumber finansial yang atraktif, Indonesia tidak cukup diketahui sebagai tujuan layanan outsourcing lintas benua,” kata pemimpin studi A.T.Kearney Arjun Sethi.

Kurangnya kemampuan berbahasa Inggris orang Indonesia patut diduga sebagai penyebabnya. Salah satu tolok ukurnya adalah Data English Proficiency Index (EPI) dari lembaga Education First.

Selama empat tahun terakhir, EPI Indonesia berada di jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Wajar saja. Bagaimanapun, kedua negara itu adalah bekas jajahan Inggris sehingga lebih akrab dengan bahasanya.

Bahasa Inggris, sebagai bahasa sehari-hari, dalam lingkup ASEAN hanya digunakan di Singapura dan Filipina. Kedua negara itu secara resmi memang menjadikan bahasa Inggris menjadi bahasa resmi negara.

Meski belum menjadi pilihan utama, tapi Indonesia sudah mulai dilirik oleh pemain call center dunia. Salah satunya, Transcosmos asal Jepang sejak 2013 yang masuk ke Indonesia dengan menggandeng pemain lokal.

Secara aturan, sebenarnya tidak ada hambatan bagi bisnis ini di Indonesia. Saat ini, Meskipun, layanan jasa call center tak masuk dalam lima jenis pekerjaan penunjang yang dibolehkan di-outsourcing dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 27 Tahun 2014 tentang perubahan atas peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.

Jasa call center hanya boleh digunakan dalam skema pemborongan pekerjaan. Jadi bukan orangnya yang di-outsource tapi jasanya. Namun, untuk menjalani bisnis ini perlu syarat yang ketat dan panjang.

Baca juga artikel terkait CALL CENTER atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti