Menuju konten utama

Jurus Jauh Call Center Mendekati Konsumen

Hampir 20 tahun bisnis outsourcing terus berkembang khususnya untuk layanan call center yang kini bertranformasi jadi contact center. Jenis outsourcing ini diminati perusahaan-perusahaan skala lokal hingga lintas negara. Alasannya cuma satu, demi sebuah efisiensi.

Jurus Jauh Call Center Mendekati Konsumen
Ilustrasi Call Centre. Foto/Shutterstock

tirto.id - “Selamat sore dan selamat merayakan Thanksgiving. Dengan Victor berbicara. Apa yang saya bisa bantu?”

“Hei, saya masih mengalami masalah dengan handphone saya. Saya yang barusan menelepon dua jam lalu, kamu masih ingat?”

“Ya, tentu Pak Smith. Bapak pemilik iPhone 4G kan? Apakah handphone-nya sudah di-charge?

“Ya, tapi saya tidak bisa memasang SIM Card saya ke handphone.........”

Kita tentu akan menyangka dialog tersebut dilakukan antara konsumen dari Amerika ini sedang dilayani oleh petugas call center di negara yang sama. Ternyata bukan. Ini adalah percakapan antara seorang konsumen asal AS dengan agen call center di India, yang terpisah ribuan kilometer jauhnya dan perbedaan zona waktu yang terpaut sangat signifikan.

Teknologi memungkinkan segalanya. Dulu, bisnis ini mungkin sangat mahal karena telepon dua negara bisa berarti biaya yang tidak sedikit. Namun, perkembangan teknologi membuat telepon dua negara menjadi lebih murah, bahkan bisa sangat menguntungkan dari sisi bisnis. Perusahaan diuntungkan, demikian pula negara tempat outsourcing.

India termasuk negara yang sangat diuntungkan oleh ini. Bisnis jasa outsourcing call center kini sudah menjadi nyawa baru bagi perekonomian India. Ini dikarenakan semenjak akhir 1990-an dan memasuki era milenium 2000, perusahaan-perusahaan kelas dunia milirik negara-negara berkembang yang rakyatnya sudah akrab dengan bahasa Inggris termasuk Negeri Hindustan itu.

Dari sisi perusahaan, memindahkan call center ke negara seperti India sangat menguntungkan karena upah buruh yang murah. Ini penting karena perusahaan dihadapkan dengan tuntutan efisiensi, dengan biaya tenaga kerja dan ongkos ruangan kantor yang terus naik, serta keterbatasan membangun SDM di luar bisnis inti mereka. Di sini lah awal lahirnya layanan call center lintas samudera dan benua alias offshore. Ibarat botol ketemu tutupnya.

Lahir di Negara Maju

Bisnis call center ini sebenarnya bukan barang baru dalam dunia layanan jasa. Layanan call center muncul di AS pada era 1970-an. Pada 1973, perusahaan Rockwell Galaxy membuat sebuah sistem Automatic Call Distributor (ACD) yang dipakai oleh maskapai penerbangan dunia dalam melayani pemesanan tiket penerbangan via telepon. Cikal bakal sistem ACD juga sudah dimulai di daratan Inggris sejak 1950-an.

Pada era 1960-an sudah dikembangkan sebuah sistem GEC PABX 4 ACD. Call center di Inggris termasuk yang berkembang sejalan perkembangan teknologi hingga berlanjut pada era 1980-an dan seterusnya. Pertumbuhan bisnis call center di negara ini berkembang dan tumbuh 250 persen selama periode 1995 hingga 2003. Tercatat ada 5.320 perusahaan jasa layanan call center yang menaungi 800.000 tenaga kerja. Kini, bisnis call center terus berkembang hingga bertransformasi menyesuaikan perkembangan zaman.

Dalam perkembangannya, call center berubah format menjadi penyedia ragam komunikasi sehingga jauh lebih berwarna. Contact Center tak hanya menyediakan jasa layanan pelanggan maupun pemasaran produk melalui telepon, tapi juga jejaring sosial, pesan teks, hingga online chat.

Fortune memperkirakan pasar perangkat bisnis contact center terus berkembang. Tahun ini diperkirakan nilainya mencapai 22 miliar dolar AS. Dalam studi Frost & Sullivan, tren bisnis contact center (termasuk call center) Asia Pasifik diperkirakan mengalami tren pertumbuhan pendapatan (CAGR) selama periode 2010-2017 sebesar 9,6 persen per tahun.

Efisiensi Plus Kualitas

The Economist memaparkan adanya pergeseran perusahaan-perusahaan negara maju seperti AS dan Eropa memindahkan pekerjaan call center negara berkembang. Pertimbangan utamanya mencari sumber-sumber baru tenaga kerja murah di tengah persaingan yang makin ketat dan menuntut efisiensi.

Sebuah perusahaan di AS harus merogoh 3.000 dolar AS per bulan untuk menggaji seorang arsitek. Padahal di Filipina, profesional yang sama cukup dibayar dengan 250 dolar AS per bulan saja. Sama hal di India, seorang programer Java cukup dibayar 5.000 dolar AS per tahun, sedangkan di AS perusahaan harus merogoh 60.000 dolar AS untuk pekerjaan yang sama.

Memindahkan tenaga kerja ke negara-negara yang upahnya murah tentu saja sangat menguntungkan. Insideup.com menulis dampak melepas pekerjaan call center ke negara-negara berkembang mampu menekan biaya pengeluaran call center hingga 70 persen dibandingkan bila dikerjakan di kantor pusat mereka. British Airways adalah salah satu maskapai yang mampu menghemat 23 juta dolar AS per tahun dalam setiap 1.000 pekerjaan yang dikirim ke India melalui sistem outsourcing, termasuk call center.

Harga memang bukan satu-satunya pertimbangan. Ada faktor lain yang juga dipertimbangkan dalam pemindahan tenaga outsourcing yakni kualitas. India dipilih karena selain murah, kualitasnya juga cukup terjamin. Pekerja call center di India umumnya dikerjakan oleh para lulusan sarjana. Demikian pula di Filipina, yang bahkan memiliki sebuah tempat pelatihan untuk membangun sumber daya guna memenuhi kebutuhan outsourcing dari perusahaan luar ini.

Dalam sebuah studi dari Duke University, disebutkan bahwa 70 persen perusahaan-perusahaan besar tak hanya mengincar urusan menekan biaya tenaga kerja, tapi juga mengejar apa yang disebut strategi keseluruhan untuk mencapai pertumbuhan.

Mereka yang Bertahan dan Hengkang

Pengguna jasa outsourcing lintas benua umumnya adalah perusahaan-perusahaan kelas kakap, termasuk para anggota Fortune 500. Mereka menempatkan pekerjaan call center ke negara-negara seperti India, Filipina, Cina, Vietnam, termasuk negara-negara Eropa Timur dan lainnya.

Namun, tak semua perusahaan besar mau menggunakan jasa call center lintas benua. Pendiri perusahaan sepatu Zappos, Nick Swinmurn sempat berkeliling mencari perusahaan agen penyedia call center di India dan Filipina. Nick rupanya ragu dengan persoalan budaya dan aksen yang berbeda di negara sumber agen call center, dengan konsumen mereka yang berbudaya Amerika. Nick memilih membangun layanan call center sendiri mengikuti jejak Jeff Bezos membangun Amazon dengan call center sendiri.

“Kami enggan melakukan outsource call center, karena kami punya pengalaman yang buruk terhadap outsourcing di masa lalu,” kata Nick dikutip dari hbr.org.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan jasa keuangan global seperti Barclays dan HSBC tetap nyaman menggunakan jasa call center lintas benua. Namun, perusahaan lain seperti Santander, BT, Powergen, New Call Telecom memutuskan untuk menarik pekerjaan call center mereka dari Mumbai India kembali ke Inggris. Bank Santander misalnya, memutuskan angkat kaki dari pusat call center Bangalor dan Pune sejak 2011 setelah mengalihkan pekerjaan ini mulai 2003. Pertimbangannya karena menanggapi respons dari para konsumen yang tak senang dilayani oleh agen-agen call center di India.

“Tapi kami tak melihat adanya tanda-tanda berakhirnya bisnis call center di India," kata konsultan PricewaterhouseCoopers Stephen Whitehouse dikutip dari independent.co.uk.

Ada perusahaan yang akhirnya menarik diri, ada juga yang tetap bertahan dengan layanan call center antar benua. Dalam sebuah survei yang dilakukan konsultan Deloitte pada 2014 lalu, terhadap 22 perusahaan skala besar dunia diketahui bahwa layanan call center masih menjadi favorit dalam jasa outsourcing. Layanan outsourcing call center menempati 43 persen atau paling tinggi daripada jenis jasa outsourcing lainnya yang tersedia.

Dari survei itu juga terungkap 84 persen dari perusahaan skala dunia tak akan memindahkan pekerjaannya outsourcing-nya khususnya call center dari negara berkembang ke negaranya. Sedangkan 16 persen memutuskan untuk memindahkan ke negaranya. Bagi perusahaan yang berencana memindahkan pekerjaan outsourcing ke negaranya, karena berbagai faktor. Sebanyak 72 persen karena pertimbangan kemampuan perusahaan penyedia agen di luar negeri, 44 persen akibat ketidaksanggupan soal upah, dan 28 persen karena faktor persepsi konsumen.

Dalam bisnis, efisiensi adalah segalanya. Menempatkan tenaga call center ke negara-negara dengan upah murah merupakan salah satu upayanya. Namun, kualitas melayani pelanggan adalah hal paling utama. Karena itu, pemilihan lokasi call center harus tetap mempertimbangkan kualitas pelayanan. Karena bagaimanapun, konsumen adalah raja.

Baca juga artikel terkait CALL CENTER atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Indepth
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti