Menuju konten utama

Suramnya Reformasi TNI jika Prabowo Menjabat Menteri Pertahanan

Jokowi meminta Prabowo jadi Menteri Pertahanan. Ini jelas langkah mundur untuk mereformasi TNI.

Suramnya Reformasi TNI jika Prabowo Menjabat Menteri Pertahanan
Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

tirto.id - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengaku diminta Presiden Joko Widodo bergabung ke Kabinet Kerja jilid 2. "Dan kami sudah sanggupi membantu," kata Prabowo di Istana, Jakarta, Senin (21/10/2019).

Prabowo tak menjawab tegas dia akan jadi menteri apa. Namun dia mengatakan yang diminta Jokowi adalah "bidang pertahanan." Itu artinya, kemungkinan besar Prabowo, yang besar dalam lingkungan ABRI Orde Baru, akan jadi Menteri Pertahanan menggantikan Ryamizard Ryacudu.

Jokowi akan mengumumkan Kabinet Kerja jilid 2 hari ini, Rabu (23/10/2019).

Masalah Pengangkatan Prabowo

Prabowo diduga melanggar HAM saat menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus). Dia diduga menculik mahasiswa dan aktivis pro-reformasi.

Dugaan ini didukung dengan rilisnya dokumen rahasia Amerika Serikat--dipublikasikan oleh Arsip Keamanan Nasional dari George Washington University--mengenai lengsernya Suharto, Juli tahun lalu. Arsip itu mengurai bagaimana Kedubes AS 'membaca' peristiwa politik di Indonesia saat itu.

"Para pejabat AS menyadari keterlibatan militer dalam aksi penculikan dan penghilangan aktivis mahasiswa yang terjadi pada saat itu. Tetapi, mereka membiarkan begitu saja dan memaklumi langkah militer, mengingat Angkatan Darat dianggap sebagai pusat stabilitas politik di negara ini," tulis Arsip Keamanan Nasional.

Perkara lain yang tercatat dalam arsip ini adalah bagaimana militer semakin menentang Soeharto, perintah langsung dari Prabowo untuk menghilangkan paksa aktivis, hingga tekanan Clinton kepada pemerintah agar menerima penyesuaian struktural IMF, yang sebetulnya justru memperburuk krisis politik dan mempermudah runtuhnya Orde Baru.

Bahkan, menurut Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia (AII) Puri Kencana Putri, Prabowo pernah ditolak visanya oleh Pemerintah Amerika Serikat tahun 2000.

"Ada alasan kuat yang membuat Pemerintah AS memutuskan untuk menolak visa Prabowo. Pertama adalah dugaan kuat keterlibatannya pada sejumlah kasus kekerasan, dugaan pelanggaran HAM di seputar 1998, dan memang timing-nya pas untuk mereka menolak visa Prabowo," kata Puri kepada reporter Tirto, Senin (21/10/2019) kemarin.

Ghufron Mabruri, Wakil Direktur Imparsial, LSM pemantau dan penyelidik pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, mengatakan Prabowo membuktikan kalau Jokowi sangat pragmatis dan mengabaikan hal-hal prinsipiil seperti pengutamaan terhadap HAM dalam menentukan kabinet.

"Akan jadi masalah kalau yang duduk di situ (kabinet) adalah orang yang kita tahu diduga melanggar HAM," kata Ghufron.

Ghufron menilai, jika Prabowo tetap masuk ke dalam kabinet bahkan mengisi pos pertahanan, itu sama saja seperti arus balik. Maksudnya, alih-alih semakin baik, reformasi TNI akan berjalan mundur. "Ini harus jadi perhatian serius. Proses penyusunan kabinet harus bersih dari orang-orang yang diduga melanggar HAM di masa lalu," kata Ghufron.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, bahkan mengatakan yang berjalan mundur bukan hanya reformasi TNI, tapi "reformasi secara keseluruhan". "Mundur dan gagal," katanya menegaskan.

Punya Hak Politik

Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menilai semua tudingan tersebut tidak kuat karena belum ada satu pun keputusan hukum yang menyatakan Prabowo melanggar HAM.

"Memang belum ada sidang atau keputusan bahwa ia melanggar HAM. Jadi pak Prabowo masih layak masuk kabinet. Itu realitas politik," kata Arief saat dikonfirmasi, Senin sore.

Ia mempersilakan jika para aktivis dan pegiat HAM protes ke Jokowi. Namun ia juga menegaskan kalau Jokowi "pasti punya ukuran untuk menempatkan Prabowo sebagai Menhan."

"Pak Jokowi sendiri juga tahu belum ada keputusan final secara hukum bahwa Pak Prabowo itu pelanggar HAM. Prabowo enggak pernah dihukum. Kalau pun dia dipecat, hanya karena [faktor] politik," pungkasnya.

Dimas Bagus Arya, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, lembaga non-pemerintah yang juga fokus mengadvokasi kasus HAM, mengatakan justru masalahnya terletak pada "akuntabilitas hukum untuk menindaklanjuti kasus HAM yang menyangkut Prabowo minim."

Dengan kata lain, masalahnya persis karena Prabowo tidak pernah disidang untuk membuktikan apakah dia bersalah atau justru sebaliknya, padahal desakan untuk menggelar sidang HAM sudah disuarakan sejak lama.

Almarhum Munir Said Thalib, aktivis HAM yang diracun di udara, pernah mengatakan ini dalam sebuah diskusi yang disiarkan di stasiun televisi SCTV bertahun-tahun yang lalu.

"Pengadilan ini tidak hanya dibutuhkan keluarga orang hilang, masyarakat, tapi juga Prabowo sendiri untuk membuktikan dia salah atau tidak," kata Munir (menit 5:10).

Baca juga artikel terkait KABINET JOKOWI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino