Menuju konten utama

Jokowi Tak Menuntaskan Kasus HAM, Ia Justru Memperpanjang Daftarnya

Di era Jokowi, kasus pelanggaran HAM masa lalu tak terbongkar. Justru daftarnya jadi tambah panjang.

Jokowi Tak Menuntaskan Kasus HAM, Ia Justru Memperpanjang Daftarnya
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai menjenguk Menko Polhukam Wiranto di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Salah satu yang membedakan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu adalah latar belakang keduanya. Prabowo dianggap punya sejarah kelam saat masih aktif jadi tentara, sementara Jokowi antitesisnya: seorang sipil yang demokratis, pun bukan berasal dari lingkaran elite Orde Baru.

Perbedaan itu semakin dipertegas ketika Jokowi memasukkan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM dalam Nawacita--sembilan agenda pokok yang akan dia laksanakan saat terpilih.

Beberapa kasus yang akan ia bongkar adalah kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talangsari 1989, Tanjung Priok 1984, hingga Tragedi 65.

Lima tahun nyaris berlalu, dan Jokowi dipastikan akan memimpin lagi untuk periode kedua. Tapi janjinya dulu itu tidak ada satu pun yang rampung.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sebuah lembaga non-pemerintah yang fokus mengadvokasi isu HAM, mengatakan Jokowi gagal melaksanakan 6 dari 17 program HAM saat sudah memimpin Indonesia selama empat tahun.

Selain perkara penuntasan kasus pelanggaran HAM, Kontras juga menyebut Jokowi gagal menepati janji menghapus segala bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.

Janji Jokowi juga bukan hanya jalan di tempat, tapi bisa dikatakan mundur. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati justru menilai alih-alih menuntaskan kasus HAM, pemerintahan Jokowi malah menambah panjang daftar tersebut.

“Nawacita yang penuh soal penegakan HAM dan hukum tidak dijalankan,” ujar Asfinawati kepada reporter Tirto, Jumat (18/10/2019). “Yang ada malah sebaliknya.”

Daftar yang Asfin maksud adalah kasus 21-23 Mei, 23-30 Oktober, dan Papua.

Sembilan orang tewas saat terjadi kerusuhan di Jakarta, Mei lalu. Empat orang di antaranya, kata polisi, tewas ditembus peluru tajam. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah LSM mengatakan “ada indikasi pelanggaran HAM” dalam penanganan demonstrasi 21-23 Mei. Demo itu sendiri adalah ekspresi atas ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019 yang memenangkan Jokowi.

Kasus 23-30 Oktober hampir mirip. Beberapa pemuda meninggal dunia setelah turut serta dalam aksi demonstrasi menentang berbagai kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Bedanya, korban tidak hanya jatuh di Jakarta, tapi juga di kota lain.

Dua kasus itu belum terbongkar sampai sekarang. Pelakunya masih gelap.

Pun dengan kasus kerusuhan di Papua, yang salah satunya dipicu aksi rasisme warga dan aparat terhadap mahasiswa Papua yang tengah studi di Surabaya, pertengahan Agustus lalu.

Asfin lantas menyimpulkan di era pemerintahan Jokowi aparat “makin represif.”

Pernyataan Asfin selaras dengan hasil penelitian Indonesian Legal Roundtable (ILR). Mereka menyebut indeks hukum dan HAM selama masa pemerintahan Jokowi lebih rendah dibanding masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Indeks hukum dan HAM Indonesia satu tahun sebelum Jokowi menjabat berada di angka 5,4. Tahun 2014, angkanya menurun menjadi 4,15 dan bahkan turun lagi setahun setelahnya, 3,82. Dua tahun berturut-turut memang kembali naik, tapi tetap di bawah era SBY: 4,25 (2016) dan 4,51 (2017).

Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar menegaskan penurunan ini adalah efek dari kebijakan pemerintah.

“Aktor penurunan indeks HAM ini bukan masyarakat sipil, seperti konflik horizontal, tetapi oleh pemerintah sendiri. Jadi problem HAM-nya bukan lagi soal konflik horizontal, tetapi konflik vertikal, sebagaimana yang terjadi di Orde Baru,” kata Erwin saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (18/10/2019).

Menurutnya “selain ada gap antara Jokowi dengan yang di bawahnya” seperti Polri dan Kejaksaan, masalah lain adalah “Jokowi sebenarnya juga tak memiliki perhatian.” “Jadi,” katanya, “ketika ada problem di tingkat bawah, ya dia (Jokowi) menganggap itu bukan masalah dia, tapi masalah orang di bawahnya.”

Erwin lantas menyimpulkan kalau isu HAM hanya “gimik politik.” Dalam arti, isu ini hanya dipakai sebagai komoditas untuk menarik perhatian masyarakat alias para pemilih. Isu HAM hanya ditempel agar Jokowi kontras dengan lawan politiknya, Prabowo.

Dan itu semakin kentara saat ini, ketika “terjadi kolaborasi antara Prabowo dan Jokowi (dalam konteks koalisi).”

“HAM tidak pernah diletakkan sebagai dasar atau standar untuk sebuah kebijakan, tapi di bawah yang lainnya, dibandingkan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan lain-lain,” katanya.

Presiden Ingin Menyelesaikan...

Kasus Mei, Oktober, dan Papua sejauh ini masih coba dituntaskan pemerintah, meski kabarnya makin lama semakin senyap.

Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan “sulit mengelola stabilitas dengan demokrasi” untuk menjawab tudingan bahwa di era Jokowi demokrasi malah berjalan mundur. “Seolah-olah keras sekali zaman pak Jokowi, tapi sesungguhnya tidak.”

Sementara terkait janji penuntasan kasus pelanggaran HAM, Moeldoko menegaskan kalau sebenarnya “presiden ingin menyelesaikan ini.”

“Tapi masalahnya,” kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (18/10/2019), seperti dikutip dari Antara, “persoalan masa lalu sudah cukup lama sehingga ketersediaan bukti, saksi, dan unsur-unsur inilah yang menghambat penyelesaian secara tuntas.”

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino