tirto.id - Polemik pajak Google tak kunjung usai. Permintaan laporan pembukuan atas iklan yang diterima Google di Indonesia hingga kini belum juga diserahkan, meski sudah berbulan-bulan. Dari mengoprek laporan pembukuan Google, pemerintah berharap bisa mengenakan pajak hingga Rp5 triliun.
"Katanya dia (Google) mau beri pembukuannya, tapi masa diminta file elektronik sampai bulanan. Kalau tidak diberikan ini tidak benar, karena seharusnya ini bisa sehari saja," kata Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus Muhammad Haniv, seperti dilansir Antara.
Sebelumnya, tim dari Direktorat Jenderal Pajak telah bertemu dengan Google untuk membandingkan data perhitungan pajak.
"Sudah bertemu untuk menunjukkan dari sisi Google sendiri apa basis yang mereka nyatakan sebagai perhitungan kewajiban pajak mereka, sementara dari tim kami juga memberikan kalkulasi (pajak)," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa dengan membandingkan kedua perhitungan tersebut, akan ditemukan titik yang bisa disepakati berdasarkan volume transaksi atau kegiatan ekonomi yang menimbulkan dampak kewajiban pajak Google kepada pemerintah.
Haniv mengatakan proses tawaran "tax settlement" atau negosiasi yang pernah diajukan pemerintah ternyata tidak menemui titik terang. Karena itu, DJP ingin meminta laporan pembukuan atas iklan agar bisa menentukan besaran pajak yang tepat dari Google.
Laporan pembukuan itu akan dimanfaatkan oleh DJP untuk pengajuan angka terbaru hasil pemeriksaan bukti permulaan agar proses pungutan pajak terhadap Google menjadi lebih cepat.
"Bukti permulaan ini berdasarkan file elektronik kemudian dihitung pajak, lalu dikenakan denda 150 persen dari total pajaknya," kata Haniv.
Dari catatan akuntansi sementara yang dimiliki oleh DJP, maka Google melalui hasil pemeriksaan bukti permulaan ini bisa dikenakan pajak lebih dari Rp5 triliun, sudah termasuk bunga maupun denda.
"Untuk satu tahun pajak saja di 2015 dengan sanksi bunga bisa sampai Rp3 triliun. Ini berdasarkan buku yang diberikan dari bagian akuntansinya. Belum tahun pajak 2013 dan 2014," katanya.
Haniv mencurigai Google tidak mau terbuka terhadap laporan pembukuan tersebut, karena bisa dimanfaatkan oleh otoritas pajak dari negara lain untuk memungut pajak dari perusahaan teknologi informasi asal AS itu.
Google diimbau untuk menerima "tax settlement" yang sebelumnya diajukan pemerintah, meski prosesnya harus terhenti karena angka pembayaran pajak yang ditawarkan Google terlalu rendah.
"Kalau bukti permulaan, pajaknya justru lebih besar dari angka tax settlement. Denda bunga kita 150 persen. Jadi seharusnya anda bersyukur," katanya.
Haniv menegaskan apabila laporan pembukuan tersebut tidak diterima, maka DJP paling cepat pada periode Januari 2017 berhak melakukan pemeriksaan pajak sepenuhnya (full investigation) dengan potensi denda hingga 400 persen.
"Kalau full investigation itu berarti tidak ada niat baik dalam kerja sama dengan kita untuk diaudit. Tapi dalam tahap ini mudah-mudahan Google tahun depan mau memberikan data, meski risiko kena denda 150 persen," katanya.
Menurut catatan DJP, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan "dependent agent" dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT. Padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, pada 2015 transaksi bisnis periklanan di dunia digital mencapai $850 juta. Angka ini setara Rp11,6 triliun. Sebesar 70 persennya didominasi perusahaan internet global, Google satu di antaranya.
Selama ini, yang meraup pajak dari Google untuk operasinya di kawasan Asia Pasifik adalah Singapura. Ini karena pajak di Singapura memang terendah di Asia Tenggara. Pajak korporasi di Negeri Merlion itu hanya 17 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang 25 persen. Pajak perorangan di Singapura juga jauh lebih rendah dari Indonesia.
Indonesia tentu tak terima sebab penghasilan Google jauh lebih banyak didapat di Indonesia dibandingkan Singapura. Pengguna akun Gmail, Youtube, atau Google+ juga lebih banyak di Indonesia dibandingkan dengan Singapura.
Menggali Potensi Pajak
Ditjen Pajak telah memantau pajak dari Google, Twitter, Facebook maupun Yahoo dari April 2016 untuk menggali potensi penerimaan dari bisnis teknologi informasi yang saat ini telah berkembang pesat.
Penggalian potensi pajak ini penting mengingat rekam jejak realisasi penerimaan pajak yang tidak menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, selama kurun waktu 2010-2015, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Misalnya, pada tahun 2010 target penerimaan ajak dipatok sebesar Rp661 triliun, namun realisasinya hanya Rp650 triliun. Sementara tahun 2011, penerimaan pajak ditarget sebesar Rp879 triliun dan terealisasi hanya Rp873 triliun. Target tinggi pajak juga terjadi pada 2012 dan 2013, yaitu Rp885 triliun dan Rp995 triliun, padahal yang tercapai hanya Rp835 triliun dan Rp916 triliun.
Sementara pada 2015, pemerintah mematok penerimaan Rp1.294 triliun atau 29 persen dari realisasi 2014. Namun, realisasi penerimaan pajak 2015 hanya Rp1.060 triliun, jauh dari target.
Dalam APBN-P 2016, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp1.360 triliun. Hingga 21 November 2016, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp932,8 triliun atau sekitar 68,83 persen dari target.
"Termasuk PPh migas mencapai Rp932,8 triliun atau 68,83 persen dari target. Tahun lalu, periode sama Rp841 triliun atau 65 persen dari target," kata Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal di Jakarta, Rabu.
Yon menambahkan, tanpa PPh migas, penerimaan pajak baru mencapai Rp901,2 triliun atau 68,34 persen dari target atau lebih tinggi dari pencapaian tahun 2015 yaitu Rp794,63 triliun atau 63,84 persen.
"Kalau kita lihat pertumbuhannya dibanding periode tahun lalu, secara total kita tumbuh 10,88 persen, tapi kalau tidak termasuk pph Migas kita tumbuh 13,42 persen," kata Yon.
Dengan realisasi tersebut, maka Ditjen Pajak terus membidik perusahaan-perusahaan besar yang dianggap belum patuh. Masukan pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut dianggap bisa mendongkrak penerimaan negara.
Diincar Negara Lain
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengincar pajak Google. Pada Juli 2013 lalu, para menteri keuangan dari negara-negara anggota G20 bertemu di Moskow, Rusia. Upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional menjadi satu hal penting yang dibahas dan diupayakan untuk diberantas.
Perusahaan-perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, terutama perusahaan internet global (OTT) seperti Google menjadi sorotan. Mereka beroperasi di banyak negara, tetapi hanya membayar pajak di negara tertentu yang pungutan pajaknya kecil atau bahkan memindahkannya ke negara yang tak memungut pajak sama sekali.
Sejak 2008, Google telah mendirikan perusahaan di Bermuda, salah satu negara surga pajak. Dengan adanya perusahaan di Bermuda itu, Google memindahkan keuntungannya dan telah menghemat sekitar $1 miliar per tahun.
Menurut laporan Bloomberg, pada 2012, Google berhasil menghindari pembayaran pajak senilai $2 miliar dengan memindahkan $10 miliar pendapatan atau 80 persen dari laba sebelum pajaknya ke Bermuda.
Tahun ini, persoalan pajak Google kembali ramai dibicarakan dan diberitakan. Mei lalu, kantor Google di Paris digrebek tim penyidik pajak bersama kepolisian karena menolak melanggar pajak.
Sebelumnya, Pemerintah Perancis meminta Google membayar pajak beserta denda yang jumlahnya mencapai $1,12 miliar atau sekitar Rp15 triliun. Namun, permintaan itu tak direspons oleh Google.
Selain Perancis dan Indonesia, negara lain yang juga mengejar dan menagih pajak dari Google adalah Inggris dan Italia. Inggris menagih pajak senilai $185 juta atau setara Rp2,43 triliun. Sedangkan Italia meminta pembayaran pajak sebesar $327 juta atau Rp4,2 triliun.
Akal-akalan menghindari pajak tak hanya dilakukan oleh Google. OTT asing lainnya juga tentu melakukan skema serupa, Twitter dan Facebook misalnya. Dua perusahaan ini juga memiliki pengguna bejibun di Indonesia dan meraup keuntungan dari iklan di Indonesia. Dari negara asalnya saja, Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan ini berusaha menghindari pajak korporasi yang mencapai 35 persen. Caranya tentu dengan membuat perusahaan offshore di negara-negara surga pajak.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti