tirto.id - Gelak tawa mengiringi perbincangan sejumlah mahasiswa di sela-sela istirahat kelas perkuliahan di suatu siang. Topik pembicaraannya: Masuk asrama manakah mereka menurut kuis Harry Potter yang beredar di internet? Slytherin, Gryffindor, Ravenclaw atau Hufflepuff?
Bagi mereka yang aktif di dunia maya, kuis yang dapat diakses melalui situs Pottermore tersebut tidaklah asing. Kuis ini menyaring orang berdasarkan persamaan kepribadian tertentu via serangkaian pertanyaan. Mereka kemudian dikelompokkan berdasarkan nama-nama asrama dalam kisah fiksi Harry Potter.
Meski tidak ilmiah, kuis ini sangatlah populer dan merupakan satu dari puluhan, jika tidak bisa dibilang ratusan, tes terkait kepribadian yang beredar di dunia maya. Namun, bila belum pernah mendengar atau mengikuti kuis tersebut, setidaknya Anda pernah mendengar atau mengikuti kuis atau tes kepribadian ala Myers dan Briggs.
Tenar dengan nama Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), tes ini kerap digunakan oleh para profesional untuk perekrutan dan pengembangan diri karyawan. Tes MBTI mengelompokkan orang berdasarkan 16 tipe kepribadian, mulai dari ISTJ (Introversion, Sensing, Thinking, Judging) hingga ENTJ (Extraversion, Intuition, Thinking, Judging).
Adriana Noor Kartika pernah mengikuti tes MBTI ini. Perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional itu mengaku, ketertarikannya untuk mengikuti tes tersebut muncul, salah satunya, dari rasa penasaran ketika teman-temannya membagikan hasil tes mereka via media sosial.
Selain menghibur, ia menyebut bahwa hasil tes itu menjadi afirmasi diri karena sesuai dengan penilaian pribadinya.
“(Reaksiku) biasa saja ... Oh iya sih aku memang seperti itu,” aku Tika, sembari menambahkan bahwa ia terkadang menjadikan tes ini sebagai sebuah ‘rapor’ untuk merefleksikan diri terkait salah satu sisi sifatnya yang dinilai buruk.
Pertanyaannya: Apakah tes tersebut valid secara ilmiah?
Jika tes kepribadian ala Harry Potter sudah bisa dipastikan adalah fiksi, tidak demikian dengan MBTI. Yosefin Candra Pranadewi, seorang konsultan Sumber Daya Manusia (SDM), mengamini jika tes MBTI ini memang dapat digunakan dalam tes kepegawaian.
“Ya, itu based on theory dan concept ... udah masuk kok jadi alat pengukuran yang valid,” sebut wanita yang pernah menjadi recruiter di sebuah perusahaan swasta itu.
Kendati demikian, MBTI merupakan salah satu tes kepribadian yang banyak dikritik. Salah satu kritik itu datang dari Dean Burnett, seorang neuroscientist dan pengajar di Cardiff University.
Dalam opininya di Guardian berjudul “Nothing personal: The questionable Myers-Briggs test” (2013), Burnett mengatakan bahwa salah satu kritik utama pada MBTI adalah tes ini hanya “mengandalkan pilihan biner.”
Ia mencontohkan, pada kategori introvert dan ekstrovert, tes ini tegas membelah keduanya tanpa ‘jalan tengah’.
“Kehidupan manusia tidak tak seperti itu, tidak ada orang normal yang 100 persen ekstrovert atau 100 persen introvert, sama seperti pandangan politik orang tidak murni ‘komunis’ atau ‘fasis’,” tulisnya. “Ini merupakan penyederhanaan dari tafsiran atas kepribadian manusia yang bertahan lama.”
‘Kuis’ Kepribadian yang Ilmiah
Lantas, apakah ada ‘kuis’ kepribadian yang sungguh-sungguh valid secara ilmiah?
Jika merujuk pada para ilmuwan di bidang psikologi, kuis kepribadian yang memiliki validitas kuat secara ilmiah adalah yang berpijak pada metode Big Five atau Lima Besar dalam tes kepribadian.
Metode Big Five mengukur lima ciri kepribadian dalam skala berkelanjutan. Dilansir dari FiveThirtyEight, lima kelompok sifat itu adalah Openness, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, Neuroticism (disingkat OCEAN).
Dikutip dari Pyschologist World, Openness ditandai dengan kemauan orang untuk mencoba aktivitas baru. Dimensi conscientiousness merujuk pada seberapa jauh kesadaran orang akan tindakan dan perilaku mereka, serta konsekuensi yang menyertainya.
Extraversion merujuk pada kepercayaan diri seseorang di ranah sosial: apakah mereka mudah bergaul, banyak bicara, atau tampak menonjol dalam situasi sosial. Agreeableness mengacu pada semudah apa mereka mudah diajak untuk bekerja sama dan ramah dengan orang-orang di sekelilingnya.
Terakhir, Neuroticism merujuk pada aspek stabilitas emosi seseorang. Mereka yang memiliki skor tinggi pada dimensi kepribadian ini seringkali merupakan orang yang kerap khawatir secara terus menerus. Mereka sering merasa takut dan gelisah, serta terlalu memikirkan masalah-masalah mereka secara berlebihan.
Masih dari FiveThirtyEight, ide mendasar dari metode Big Five ini adalah bahwa setiap kepribadian seseorang memiliki sedikit dari kelima kelompok sifat tersebut. Hasil dari tes ini akan memberitahukan posisi anda dalam spektrum lima kelompok sifat tersebut dalam persentase.
Saya mencoba tes yang disediakan oleh FiveThirtyEight pada situs mereka. Hasil dari tes tersebut diungkapkan dalam persentase dan perbandingan dengan orang-orang lain yang juga telah mengikuti tes tersebut, baik secara rerata nasional ataupun dari staff FiveThirtyEight sendiri.
Saya mendapatkan skor 88 persen dari 100 pada dimensi Openness, 67 persen pada Agreeableness, 54 persen pada Conscientiousness, 25 pada Negative Emotionality (atau dimensi Neuroticism), dan 38 pada Extraversion.
Model hasil ini jelas berbeda dengan metode MBTI dan sejumlah tes kepribadian iseng-iseng belaka lainnya yang menempatkan hasilnya pada pengelompokan kepribadian. Ini kemudian sejalan dengan pendapat Burnett yang menegaskan betapa kompleksnya kepribadian manusia.
Meski didukung banyak ilmuwan psikologi, bukan berarti metode ini lepas dari kritik. Quartz, misalnya, menyebut metode tersebut memproduksi hasil tes yang seksis dalam beberapa kasus.
Dalam tes yang mereka ambil, hasil dari tes tersebut merupakan komparasi terhadap jenis kelamin yang sama, pria dengan pria sementara wanita dengan wanita. Hal ini kemudian dapat memengaruhi bias pada produksi hasil tes yang ada.
Lebih lanjut, studi berjudul “How Universal Is the Big Five? Testing the Five-Factor Model of Personality Variation Among Forager–Farmers in the Bolivian Amazon” (2017) yang diterbitkan di Journal of Personality and Social Psychology memperlihatkan hasil yang mengindikasikan jika ciri-ciri kepribadian Big Five kurang universal.
Penelitian itu dilakukan terhadap orang-orang Tsimane di Bolivia. Hasilnya menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian mereka tidak dapat dikelompokkan pada lima kelompok kepribadian Big Five yang biasanya.
Robert McCrae, ahli teori Big Five, berpendapat, hasil tersebut boleh jadi disebabkan oleh masalah terjemahan yang kurang baik atau mungkin sifat abstrak dari pertanyaan-pertanyaan dalam studi tersebut.
Satu hal yang menjadi catatan penting, masih dikutip dari Quartz, bertentangan dengan gagasan populer tentang 'jati diri' yang terus melekat, kepribadian manusia memang sebaiknya dievaluasi secara ilmiah berdasarkan bagaimana ia serta orang-orang di sekitar memandang dirinya.
Editor: Windu Jusuf