Menuju konten utama

Sudah Terima Sprindik dari KPK, Idrus Mundur dari Kabinet Jokowi

Idrus Marham mengatakan telah menerima surat perintah penyidikan dari KPK pada Kamis (23/8).

Sudah Terima Sprindik dari KPK, Idrus Mundur dari Kabinet Jokowi
Menteri Sosial Idrus Marham (tengah) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/7/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Politikus Golkar Idrus Marham menyatakan sudah resmi mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari jabatan menteri sosial. Alasan pengunduran Idrus lantaran dirinya sudah menerima surat penetapan sebagai tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (23/8).

"Kemarin sudah pemberitahuan penyidikan, pasti statusnya sudah tersangka," kata Idrus kepada wartawan di Istana Negara, Jumat (24/8).

Idrus mengatakan ia sengaja mengajukan pengunduran diri agar kerja Kementerian Sosial tidak terganggu. Selain itu pengunduran diri ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab moralnya sebagai pejabat negara.

Mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar ini juga mengaku telah meminta presiden segera mencari pengganti dirinya. Ia berharap menteri sosial yang baru dapat segera bekerja menyelesaikan persoalan kemiskinan di masyarakat.

"Saya minta ke presiden ini cepat-cepat saja ada pergantian," ujarnya

"Saya harap pengganti saya lebih baik."

Idrus juga memastikan pengunduran dirinya tidak akan mengganggu kinerja Kementerian Sosial. "Karena sistem tidak masalah. Jadi sistemnya ini bagaimana satu kesatuan bergerak dengan mekanisme yang ada perwujudan tanggung jawab kemanusiaan," katanya.

Dalam surat pengunduran dirinya ke presiden yang ia perlihatkan kepada wartawan Idrus menyebutkan ia mundur karena kasus Pembangunan PLTU Riau 1.

"Sehubungan dengan proses hukum yang saya jalani terkait dengan tersangka Sdr. Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan yang diduga menerima hadiah atau janji dari tersangka Sdr. Johannes Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau 1, di mana saya telah menjalani pemeriksaan di KPK."

KPK belum mengumumkan status terakhir Menteri Sosial Idrus Marham terkait kasus dugaan suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. "Informasi ada atau tidak tersangka baru di sebuah perkara baru bisa dipastikan kalau sudah diumumkan secara resmi. Ditunggu saja dulu ya," kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

"Yang pasti KPK terus bekerja secara cermat dan hati-hati dalam menangani sebuah perkara, ada atau tidak perkembangan penyidikan atau penuntutan sangat bergantung pada kecukupan bukti," tambah Agus.

Dalam perkara PLTU Riau 1, Idrus sudah tiga kali diperiksa sebagai saksi yaitu pada 19 Juli, 26 Juli dan 15 Agustus 2018.

KPK sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK sudah menyita sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu yaitu uang Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut. Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Sebelumnya Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembangkit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA). PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun. Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.

Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. (T.D017) (D017).

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1 atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Wijaya

tirto.id - Politik
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Muhammad Akbar Wijaya