Menuju konten utama

Suara Konsumen & Pengemudi soal Rencana Larangan Diskon Tarif Ojol

Rencana Kemenhub ingin hapus promo untuk ojek online dikritik para pengguna. Mereka sudah begitu bergantung dengan transportasi ini.

Suara Konsumen & Pengemudi soal Rencana Larangan Diskon Tarif Ojol
Sejumlah pengemudi ojek daring (online) menunggu penumpang di depan Stasiun Pondok Cina, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (11/6/2019). arkan aturan larangan diskon pada transportasi online, termasuk ojek online. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/ama.

tirto.id - Salah satu daya tarik ojek dan taksi dan ojek online (ojol)adalah diskon yang ditawarkan penyedia aplikasi. Harga yang mesti mereka bayar jadi lebih murah (bahkan salah satu penyedia aplikasi pernah mematok harga Rp1 saja untuk sekali perjalanan). Maka tak heran jika rencana penghapusan potongan harga ditolak mentah-mentah beberapa pengguna.

Rencana ini diutarakan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Latar belakangnya, pemerintah merasa diskon akan menghasilkan persaingan usaha tidak sehat. Semakin banyak satu penyedia aplikasi memberi diskon, itu artinya semakin mungkin mereka mematikan usaha pesaingnya yang tak menyediakan potongan lebih banyak.

"Yang namanya tarif [transportasi] online itu harus equilibrium equality. Jadi dengan equal ini kami minta tidak ada diskon-diskonan, diskon langsung maupun tidak langsung," kata Menhub Budi Karya, Senin (10/6/2019) lalu.

Budi Karya lantas mengatakan akan ada kompensasi penurunan batas tarif yang manfaatnya akan dirasakan pengguna.

Semua rencana ini akan dituangkan dalam peraturan yang akan rampung pada Juni 2019.

Pemerintah sebetulnya sudah mengatur tarif ojek online melalui Kepmenhub Nomor 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi. Namun regulasi tersebut sama sekali belum mengatur pembatasan pemberian promo.

“Enggak Setuju”

Salah satu pengguna yang menolak rencana ini adalah Fiqih Rizkita (23), karyawan swasta yang kantornya di Bintaro. Dia menolak itu karena diskon tarif ojol sangat membantu; membuatnya mengeluarkan duit lebih sedikit. Apalagi, katanya, kantornya tak dilalui angkutan umum apa-apa.

“Enggak setuju sama sekali. Diskon tarif sangat membantu menghemat biaya transportasi, tadinya Rp9.000 sekali jalan, jadi Rp3.000,” kata Fiqih kepada reporter Tirto, Selasa (11/6/2019) siang.

Satu cara untuk mendapat potongan harga di aplikasi transportasi online adalah memasukkan voucher code. Ini biasanya untuk yang baru pertama kali menginstalasi aplikasi. Untuk aplikasi Go-jek, pengguna juga bisa dapat potongan harga dengan menukar poin yang didapat dari undian token. Penyedia aplikasi juga kerap cuma-cuma memberi potongan harga. Ini bisa diketahui ketika memesan unit.

Ringkasnya, mendapat potongan harga di layanan transportasi online memang relatif mudah.

Siti Khalishah Ulfah (22), karyawan swasta di Sudirman, kawasan perkantoran elite Jakarta, juga punya alasan yang sama mengapa menolak penghapusan diskon. Dia bilang, jika alasan pemerintah adalah mencegah persaingan tidak sehat, maka sebaiknya yang dilakukan adalah mengundang pemain baru.

“Mungkin karena saat ini [penyedia aplikasi] ojol ada dua ya, sementara kayak Tokopedia, Bukalapak, kan, banyak pilihan,” kata Siti.

Penolakan juga muncul dari pengemudi itu sendiri. Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda), Igun Wicaksono, mengatakan imbas dari kebijakan ini adalah penurunan batas tarif yang pada akhirnya akan merugikan pengemudi. Padahal, level tarif yang ada sekarang saja--Go-Jek, misalnya, menetapkan tarif 1.900/km--belum bisa disebut ideal untuk kebutuhan sehari-hari dan ongkos produksi seperti servis kendaraan dan bensin.

“Kalau diskon mau diatur itu silakan ambang batas maksimalnya. Jangan sampai diskon promo dilarang, ujungnya tarif ojol diturunkan. Kami sangat tidak setuju berapa pun besaran penurunannya,” kata Igun kepada reporter Tirto.

Lagipula, katanya, untuk kasus ini pemerintah tak pernah melibatkan mereka. Padahal para pengendara juga terkena imbas langsung.

Sudut pandang pengemudi juga dipakai Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Darmaningtyas, saat dimintai pendapat soal penghapusan promo.

“Asal tidak menjadikan pengemudi sebagai korban. Jangan sampai mengorbankan driver dengan pendapatan yang rendah,” katanya kepada reporter Tirto.

Jika potongan harga dihapus dan imbasnya adalah penurunan tarif, kata Darmaningtyas, maka yang akan terjadi adalah para pengendara akan bekerja dengan jam kerja lebih panjang untuk bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Bekerja lebih lama, artinya, akan semakin mengurangi konsentrasi dan pada akhirnya berimbas pada keselamatan penumpang dan pegemudi itu sendiri.

“Dapat mengganggu aspek keselamatan. Nanti dia harus bekerja lebih lama untuk mendapat besar uang yang sama sehingga memengaruhi emosinya,” katanya.

“Daripada Ada Monopoli...”

Sebagaimana rencana peraturan pada umumnya, pro dan kontra akan muncul bersamaan. Begitu pula dengan kasus ini. Kadima Lukas (22), karyawan swasta di Jakarta, mengaku sebetulnya tidak setuju dengan penghapusan promo. Namun, katanya kepada reporter Tirto, itu lebih baik ketimbang terjadi monopoli.

“Kalau saya sebagai pelanggan kurang setuju. Tapi daripada nanti persaingan enggak sehat ya dibenerin saja dari sekarang.”

Penghapusan promo untuk menghindari monopoli juga sempat disinggung Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) periode 2015-2018, Syarkawi Rauf.

Pertengahan Mei lalu dia bilang, bila monopoli benar terjadi usai salah satu kompetitor tersingkir, situasi ini dapat dimanfaatkan oleh yang bertahan untuk menaikkan harga. Yang bertahan akan lebih mudah memutuskan itu saat tak ada lagi kompetitor, karena tak khawatir konsumen berpaling.

“Dengan hanya ada satu pemain dominan, maka pemain tersebut akan bebas menerapkan harga. Pada transportasi online, uniknya monopoli tidak akan hanya merugikan konsumen, tapi juga driver karena mereka akan kehilangan posisi tawar dan pilihan,” kata Syarkawi. dalam diskusi publik bertajuk “Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif” di Hotel JS Luwansa, Jakarta.

Kemungkinan masalah lainnya juga hadir ketika bisnis ini sangat bergantung pada kekuatan modal dari penyokongnya. Bila hal ini dibiarkan ia khawatir maka struktur pasar akan menjadi kaku lantaran tidak mudah dimasuki kompetitor lain.

Baca juga artikel terkait TARIF OJOL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino