tirto.id - Bagi beberapa orang, patah hati adalah peristiwa pahit, bahkan bisa mengalami stres. Tak hanya beban emosional yang mesti ditanggung, tetapi juga bisa merugikan kesehatan fisik. Namun, sindrom patah hati yang dimaksud bukan berkaitan dengan gagalnya hubungan asmara, melainkan karena masalah kesehatan jantung.
Sindrom patah hati dikenal di dunia medis sebagai kardiomiopati takotsubo, pertama kali ditemukan di Jepang pada 1990. Dilansir dari Harvard Health Publishing, sebagian besar kasus, hampir 90 persennya menyerang wanita usia 58 hingga 75 tahun.
Sindrom patah hati ini melemahkan bagian kiri ventrikel jantung, serta organ pemompa darah di jantung. Penyebab utamanya adalah jantung yang kena "serangan mendadak" karena deraaan emosi yang kuat.
Oleh sebab itu, stres fisik dan emosional yang tiba-tiba, kerap jadi asal muasal sindrom patah hati. Kecelakaan serius, kehilangan atau kematian orang tersayang, atau bencana alam adalah sebab yang sering menjangkiti orang-orang penderita sindrom patah hati.
Di Jepang, bencana gempa bumi sering kali jadi penyebab orang-orang menjadi stres dan kehilangan orang tersayangnya. Oleh sebab itu, kardiomiopati takotsubo dikenal luas dengan sindrom patah hati. Patah hati karena kehilangan orang-orang terdekatnya.
Di masa pendemi seperti ini, masalah stres dilaporkan melonjak karena COVID-19. Banyak orang kehilangan pekerjaan, menurunnya penghasilan, serta kehilangan anggota keluarganya, yang menjadikan sindrom patah hati ini juga meningkat.
Artikel bertajuk Incidence of Stress Cardiomyopathy During the Coronavirus Disease 2019 Pandemic yang dimuat di JAMA Network Open menuliskan: sepanjang Maret hingga 30 April 2020, terjadi peningkatan kasus sindrom patah hati di Cleveland Clinic dan Cleveland Clinic Akron General, Amerika Serikat.
Peningkatan kasus ini melonjak hingga 7.8 persen dari sebelumnya yang hanya 1.7 persen di kedua klinik tersebut. Selain itu, pasien yang mengalami sindrom patah hati juga dilaporkan menjalani rawat inap lebih lama daripada masa-masa sebelum pandemi.
"Pandemi COVID-19 meningkatkan tingkat stres orang-orang di Amerika dan dunia. Orang-orang tidak hanya khawatir tentang diri mereka, keluarga, tapi juga berhadapan dengan masalah ekonomi, beban emosi, masalah sosial, dan potensi kesepian, dan isolasi," kata Ankur Kalra, MD, Ahli jantung Cleveland Clinic di Bagian Kardiologi Invasif dan Intervensi dan Kedokteran Kardiovaskular, sebagaimana dilansir di Science Daily.
Gejala-gejala yang lazim dialami penderita sindrom patah hati adalah sebagai berikut:
- Nyeri dada dan sesak napas usai stres berat, baik itu stres emosi atau tekanan fisik
- Kelainan elektrokardiogram yang menyerupai serangan jantung
- Tidak ada bukti obstruksi arteri koroner jantung
- Gerakan kelainan pada ventrikel kiri jantung
- Pembengkakan di ventrikel kiri jantung
"Sementara pandemi terus berlanjut, merawat diri selama COVID-19 ini sangat penting bagi kesehatan jantung kita, dan terutama kesehatan kita secara umum," kata Grant Reed, MD, M.Sc., salah satu peneliti peneliti masalah kardiomiopati.
"Bagi mereka yang merasa kewalahan karena stres, diimbau untuk menjangkau penyedia layanan kesehatan. Olahraga, meditasi, dan berhubungan dengan keluarga dan teman-teman, sambil menjaga jarak fisik, juga dapat membantu meredakan kecemasan," lanjutnya.
Kendati menunjukkan peningkatan sindrom patah hati selama COVID-19, para peneliti menyatakan bahwa temuan ini membutuhkan penelitian lanjutan di daerah dan wilayah lainnya agar dapat digeneralisasi.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Alexander Haryanto