tirto.id - Masalah kesehatan yang mengejutkan terkait dengan pandemi COVID-19 adalah tingginya orang yang menderita gangguan kesehatan mental.
Isolasi sosial, kekhawatiran keuangan, dan ketakutan sakit karena COVID-19 telah membuat orang menjadi depresi dan kecemasan berlebihan selama masa pandemi.
Sebuah studi baru-baru ini di Morbidity and Mortality Weekly Report menunjukkan bahwa gejala depresi dan kecemasan di negara adikuasa Amerika Serikat meningkat antara April dan Juni 2020, dibandingkan periode yang sama pada 2019.
Gejala depresi 4 kali lebih tinggi dan gejala kecemasan 3 kali lebih tinggi pada tahun 2020 dibandingkan tahun 2019.
Seperti diwartakan Medical Daily, orang yang hidup dengan gangguan dan ketakutan ini sebelum pandemi menemukan bahwa orang lain memahami apa yang mereka alami, karena pandemi telah menempatkan mereka pada posisi yang sama.
Anne Thode, seorang terapis yang berbasis di New York menyebutkan, mereka yang memiliki masalah kesehatan mental sebelum pandemi mendapati kondisi mereka semakin buruk.
Stres, lanjutnya, menjadi pemicu bagi orang yang memiliki masalah kesehatan mental, sehingga tidak berfungsi dengan baik.
Selain itu, lebih sedikit cara sehat untuk mengatasi pandemi, seperti kelas yoga tatap muka. Ini mengurangi pilihan jalan keluar bagi mereka yang berjuang dengan masalah kesehatan mental.
Kesehatan Mental, Media dan WFH
Jika sering mengikuti berita, maka orang-orang akan merasa dibombardir dengan liputan COVID-19.
“Saat menonton gambar-gambar tertentu yang menjengkelkan di TV, Anda bisa terpengaruh olehnya,” kata Thode.
Menurut Michelle Riba, seorang profesor dan psikiater di Pusat Depresi Komprehensif Universitas Michigan, ada batasan antara mencoba menjadi berpendidikan dan mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Dan terlalu banyak menonton sehingga tidak membantu," katanya.
Selain itu, lanjutnya, email dari kantor sering masuk, dan orang yang bekerja di rumah untuk pertama kalinya mungkin mengalami kesulitan memisahkan waktu kerja dan pribadi, juga bisa membuat stres.
Mematikan komputer dan menonaktifkan notifikasi telepon dapat membantu mengatasi stres. Begitu juga dengan memilih waktu bebas ponsel malam dan akhir pekan.
Bermain game, membaca buku, atau membuat teka-teki juga dapat membantu seseorang rileks dan mengalihkan pikiran dari pemicu stres.
Dalam studi MMWR dari CDC, 74,9 persen orang berusia 18 hingga 24 tahun, dan 51,9 persen dari mereka yang berusia 25 hingga 44 tahun, dilaporkan mengalami masalah kesehatan mental.
Sementara anak-anak, dilaporkan mengalami masalah kesehatan mental dengan cara yang berbeda dari orang dewasa. Kesulitannya meliputi perubahan rutinitas, sekolah jarak jauh, program musim panas yang lebih sedikit, dan jarak sosial.
“Perubahan sulit bagi beberapa anak kecil, dan sulit bagi anak-anak dan remaja, mungkin lebih sulit daripada kelompok usia lainnya,” jelas Dr. Riba.
Karenanya, orang tua harus membantu anak-anak mereka mengidentifikasi kata-kata untuk menggambarkan perasaan mereka dan menjaga rutinitas sebanyak mungkin.
"Kami tidak dapat meremehkan gangguan dalam hidup mereka, dan peran orang tua, pengasuh, dan pendidik mereka dalam menunjukkan ketahanan dalam waktu yang mengganggu dan tidak terduga," terang Amber Hewett, PhD, seorang psikolog yang berspesialisasi dalam kesehatan mental anak dan remaja, dan direktur Kesetaraan Kesehatan di Keluarga AS.
Editor: Agung DH