tirto.id - Mendekati pemilihan umum serentak (Pemilu) 2024, manuver-manuver partai politik mulai semakin bergerak dinamis demi merebut hati pemilih. Konsolidasi kian digencarkan berbagai poros koalisi partai politik untuk memanaskan mesin jelang pendaftaran capres-cawapres pada 19 Oktober 2023.
Sekitar empat bulan menuju pemilu yang akan digelar pada Februari 2024, parpol dan paslon capres-cawapres masih perlu berpikir serius untuk dapat memanfaatkan suara dari pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan pemilih yang berpotensi ‘berayun’ atau beralih suara (swing voters).
Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo menyatakan, swing voters atau pemilih yang bisa beralih suara memang memiliki dua kategori. Pertama, mereka yang belum menentukan pilihan parpol atau capres-cawapres, dan mereka yang masih bisa mengubah pilihan.
“Mereka akan menunggu sampai kampanye capres-cawapres ini. Karena itu momen krusial mereka ingin tahu sebenarnya siapa pasangannya,” kata Kunto dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Menurut Kunto, setiap partai memiliki pemilih dengan kategori swing voters. Mereka adalah pemilih partai yang masih bisa dipengaruhi untuk memilih parpol lain. Ia menambahkan, rerata dari sigi survei yang dibacanya, swing voters di setiap partai ada sekitar 10 persen.
“Dan ini wajar karena belum kampanye dan mereka menunggu calon ini dan program-programnya,” kata Kunto.
Kendati demikian, Kunto menilai, parpol harus berhati-hati menanggapi pemilih swing voters. Parpol harus betul-betul memikirkan strategi agar mendapatkan lebih banyak suara dari pemilih swing voters dan tidak sebaliknya, kehilangan lebih banyak suara.
“Dan kalau dilihat trennya ketika tidak ada isu yang besar, kecenderungan swing voters akan semakin kecil ya. Kecuali ada money politik yang terjadi di hari H (pemilu) yang kemudian ini berbahaya,” kata dia.
Suara Pemilih Lemah Masih Tinggi
Menilik hasil survei nasional yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 31 Juli hingga 11 Agustus 2023, masih ada sekitar 30 persen warga yang menyatakan mungkin atau besar kemungkinan untuk mengubah pilihan calon presiden. Di sisi lain, menunjukkan juga persaingan bakal calon presiden Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, masih memiliki suara pemilih lemah dengan angka yang cukup tinggi.
Menurut survei yang dilakukan pada 3.710 responden tersebut, di antara pemilih Ganjar, ada sebanyak 69 persen pemilih kuat dan 29 persen pemilih lemah. Di antara pemilih Prabowo, ada 67 persen pemilih kuat dan 31 persen pemilih lemah. Sementara dari pemilih Anies, sebanyak 64 persen pemilih kuat dan 34 persen pemilih lemah.
“Faktor tingginya swing voters ini bisa banyak hal, antara lain pemilihan yang masih beberapa bulan lagi. Pemilih juga masih menunggu untuk menentukan pilihan,” kata peneliti politik dari SMRC, Saidiman Ahmad, dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Selain itu, kata Saidiman, pemilihan presiden nanti tidak akan diikuti oleh incumbent sehingga publik tidak bisa secara lebih pasti menentukan pilihan berdasarkan evaluasi kinerja pemerintah.
“Masyarakat Indonesia memang secara umum cukup kritis. Umumnya publik tidak terikat dengan partai atau kekuatan politik mana pun, sehingga penentuan pilihan lebih pada keputusan pribadi,” jelas Saidiman.
Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo, Usman Tokan menyatakan, pihaknya menilai masih ada sekitar 48 persen swing voters dalam suara pemilih Ganjar Pranowo. Hal ini ia pantau dari beberapa hasil sigi survei.
Namun, ia juga melihat peluang untuk mengambil suara pemilih swing voters sebanyak 20 persen.
“Kami kira ini bisa dijadikan peluang karena masih belum banyak juga masyarakat yang terinformasikan soal mas Ganjar terutama di pedesaan,” kata Usman dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Usman menyampaikan, poros koalisi pendukung Ganjar Pranowo sudah mulai bergerak untuk memaksimalkan kader dan caleg-caleg di daerah mulai menginformasikan ke masyarakat soal Ganjar Pranowo. Saat ini koalisi pendukung Ganjar terdiri dari PDIP, PPP, Partai Perindo, dan Partai Hanura.
“Kami sudah bergerak semua dengan modal kader caleg dari PDIP sekitar 30 ribu. Dan kami dari PPP, Hanura, bisa 20 ribu itu bisa dimanfaatkan,” lanjut Usman.
Belum Ada Kekuatan Dominan
Hasil survei Litbang Kompas pada Agustus 2023 mengungkapkan, hanya separuh bagian (44,9 persen) pemilih yang sudah memastikan pilihan mereka dan tidak akan berubah (strong voter). Sisanya, adalah mereka yang terbilang masih belum memastikan dan dapat berubah di kemudian hari (swing voter).
Ini menunjukkan pemilih belum terkonsentrasi pada salah satu dari tiga sosok itu. Posisi terdepan, menurut hasil survei Litbang Kompas, peraih dukungan terbanyak masih silih berganti ditempati Ganjar dan Prabowo.
“Apabila dielaborasi pada masing-masing bakal calon presiden, tampak pula kerapuhan pola dukungan yang terbentuk saat ini,” tulis Litbang Kompas, Senin (4/9/2023).
Celah perubahan dukungan dari ketiga sosok dinilai masih terbuka lebar. Baik Anies, Ganjar, maupun Prabowo memiliki mayoritas suara pemilih yang cenderung masih membuka peluang perubahan pilihan.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera tidak menampik bahwa swing voters saat ini masih tinggi angkanya. Asumsinya, kata Mardani, pemilih pemula dan pemilih muda belum banyak yang terhubung dengan politik.
PKS bersama Partai NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyokong Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai bakal capres dan cawapres. Ketiga parpol ini tergabung dalam Koalisi Perubahan.
Mardani menyatakan, pihaknya menyiapkan strategi khusus mendekati dan menggarap swing voter dengan dua strategi yaitu darat dan udara.
“Daratnya melalui PKS Muda dan Caleg Muda. Mengajak mereka ikut jadi agen perubahan,” kata Mardani dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Tujuannya, kata Mardani, menjadikan para pemilih muda dan pemula menjadi subjek bukan objek dalam berpolitik. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan turun langsung ke masyarakat.
“Kedua melalui udara atau dengan kampanye gagasan dan kinerja. Termasuk menggarap isu antikorupsi dan lingkungan hidup,” terang Mardani.
Sosialisasi dan Dinamika Isu Jadi Kunci
Hasil survei Indikator Politik Indonesia berjudul “Swing Voters, Efek Sosialisasi, dan Tren Elektorial Jelang Pilpres 2024” edisi September 2023 menunjukkan, sebanyak 30,5 persen dari total responden mengaku masih mungkin mengubah pilihannya terhadap bakal calon presiden tertentu.
Komposisi swing voters tersebut terdiri dari 5,9 persen responden yang menyatakan sangat besar kemungkinan mengubah capres pilihannya dan 24,6 persen responden yang mengaku kemungkinan itu cukup besar.
Survei ini melibatkan 1.200 responden di seluruh Indonesia. Kemudian, dilakukan oversample di 10 provinsi, yakni Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.
Indikator Politik menyebut dalam laporan survei tersebut, ada sejumlah faktor yang dapat memengaruhi dukungan publik terhadap bakal capres. Salah satunya adalah faktor sosialisasi di masyarakat.
“Berbagai faktor memengaruhi dukungan publik, antara lain faktor sosialisasi serta berbagai isu yang mewarnai dinamika elektoral jelang pencapresan,” tulis Indikator Politik dalam laporannya.
Wakil Sekjen DPP Partai Gerindra, Kawendra Lukistian menyatakan, pihaknya akan terus memperhatikan pemilih swing voters agar bisa dimaksimalkan menjadi peluang suara. Kawendra menilai, swing voters ini menjadi tanda bahwa seluruh elemen pemenangan perlu cambuk penyemangat untuk bekerja lebih keras.
Saat ini, Partai Gerindra bersama Partai Golkar, Partai Gelora, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Bulan Bintang, tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Koalisi ini mendukung Prabowo Subianto menjadi bakal calon presiden.
“Dan saya sangat optimis bila kerja-kerja kita optimal dan dengan cara yang tepat, angka swing voters akan semakin berkurang ke depannya,” kata Kawendra dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Sementara itu, analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyampaikan, pemilih swing voters akan menentukan suara di partai politik atau pasangan capres-cawapres manapun. Karena angka yang besar, kata dia, swing voters harus ditarik suara pilihnya.
“Jangan sampai swing voters yang besar, yang tinggi itu dibiarkan. Justru ini yang berbahaya jangan dibiarkan bisa golput (tidak memilih) bisa rugi. Satu suara itu padahal penting dalam demokrasi,” kata Ujang dihubungi reporter Tirto.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi poros koalisi parpol dan capres-cawapres untuk kembali menggencarkan sosialisasi di masyarakat. Terutama pada pemilih muda dan pemula yang masih bingung dan apatis soal politik.
“Sambut mereka, ajak mereka dan libatkan mereka agar bisa memilih parpol yang disenangi,” tutur Ujang.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz