tirto.id - Pemerintah sepakat akan membahas lebih lanjut rencana pemberian grasi massal bagi narapidana kasus narkoba. Rencana ini sebagai tindak lanjut atas rekomendasi tim percepatan reformasi hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.
Pertengahan September 2023, tim percepatan reformasi hukum merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo agar memberikan grasi massal untuk narapidana narkoba. Mahfud sebut, rencana ini sedang dikoordinasikan di tingkat Kemenkopolhukam. Mahfud bilang belum ada pembahasan di tingkat kabinet.
“Pemberian grasi massal itu tentu harus didiskusikan juga dengan Mahkamah Agung. Itu sedang kami rancang sekarang,” kata Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (12/10/2023).
Mahfud menjelaskan, mayoritas pihak yang menjadi korban pelanggaran narkotika adalah para pengguna. Hal ini, kata dia, membuat kapasitas lembaga pemasyarakatan menjadi sangat padat (overcrowded).
Untuk pelanggaran narkotika yang dilakukan oleh para pengedar, bandar, dan sebagainya, kata Mahfud, akan ada rencana lebih lanjut yang sedang dirancang oleh Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah menyiapkan penjara atau lembaga pemasyarakatan dengan pengamanan super. “Lapas super security yang nanti, insyaallah akan ditinjau oleh presiden untuk peresmiannya, mungkin di Nusa Kambangan,” kata Mahfud.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengapresiasi rencana pemerintah yang akan melakukan grasi massal bagi para pengguna narkoba. Namun, kata Arif, grasi massal ini belum menyentuh akar permasalahan yang menyebabkan pengguna narkoba ditahan dan dipidana hingga akhirnya mendekam di lapas.
“Tidak menjawab overcrowded lapas soal narkotika. Bahkan Mahfud sendiri bilang penyebabnya (seseorang ditangkap pelanggaran narkotika) sangat banyak. Karena dijebak teman dan kriminalisasi oleh aparat nakal misalnya,” ujar Arif dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Menurut Arif, yang menjadi akar permasalahan adalah adanya sejumlah pasal karet di UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini membuat tidak ada jaminan bagi pengguna narkoba tidak dikriminalisasi dan pecandu mendapatkan jaminan rehabilitasi.
“Pasal karet itu justru banyak membuat pengguna dikriminalisasi bukan direhabilitasi. Pemerintah juga harus membenahi dan mereformasi hukum, utamanya di UU narkotika yang masih mempidanakan korban itu bisa direvisi,” tegas Arif.
Padahal, pendekatan kesehatan bagi pengguna narkoba sudah tercantum dalam UU Narkotika. Namun dengan pendekatan perang terhadap narkotika, tindakan pemidanaan lebih cenderung dipilih oleh penegak hukum.
Riset LBH Masyarakat (2014) menunjukkan, pengguna narkotika yang dijatuhi dengan vonis rehabilitasi kurang dari 30%. Sementara riset ICJR, Rumah Cemara dan EJA pada 2015 di PN Surabaya, menyatakan hanya 6% putusan hakim yang menempatkan pengguna narkoba ke tempat rehabilitasi.
Arif menambahkan, sistem rehabilitasi pengguna narkoba juga perlu dibenahi. Sebab, masih ditemukan penanganan rehabilitasi yang memunculkan diskriminasi terhadap masyarakat umum dibanding pesohor dan orang-orang berduit.
Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) pada April 2022 melaporkan, jumlah warga binaan pemasyarakatan di Indonesia sebanyak 273.822 orang. Dari jumlah itu, 135.758 WBP di antaranya adalah kasus narkoba dengan rincian terdiri dari 120.042 pengguna dan 15.176 bandar, pengedar, penadah, atau produsen narkoba.
Perlu Evaluasi Penanganan Kasus Narkoba
Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri menyatakan, pemberian grasi massal bagi narapidana narkoba tidak akan menyelesaikan persoalan penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Karena itu, Gufron minta pemerintah evaluasi pendekatan dalam penanganan penyalahgunaan narkotika yang selama ini lebih sering mengedepankan pendekatan kriminalisasi.
“Dia (pemberian grasi massal) hanya akan berkontribusi pada pengurangan overcrowded di dalam lapas,” ujar Gufron dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Di sisi lain, kata Gufron, langkah ini juga tidak bisa mengurangi kepadatan narapidana di dalam lapas jika tidak diiringi dengan evaluasi penanganan penyalahgunaan narkotika. Karena sebanyak apa pun napi narkotika yang diberikan grasi oleh pemerintah, kapasitas lapas akan tetap penuh bila kebijakan penanganan narkotika tetap menggunakan pendekatan kriminal semata.
Gufron menilai, rencana grasi massal ini justru dapat menimbulkan masalah baru jika evaluasi penanganan penyalahgunaan narkotika tidak dilakukan. Karena berpotensi membuat pengguna narkotika untuk mengulangi (memakai kembali) narkoba dengan semakin tinggi (adiktif).
“Indonesia harus lebih mengedepankan pendekatan kesehatan ketimbang pemidanaan, termasuk juga mencari alternatif hukuman lain selain pemenjaraan bagi pengguna,” kata Gufron.
Hal senada diungkapkan Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. Ia menilai, rencana pemberian grasi massal pengguna narkoba berpotensi tidak tepat sasaran.
Di level implementasi sehari-hari, kata dia, penggunaan Pasal 127 UU Narkotika secara tunggal atau murni, untuk pengguna narkoba seringkali justru digunakan sebagai alat pemerasan oleh aparat nakal. Pasal 127 mengatur ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun bagi pengguna narkotika golongan I.
“Hal ini membuat penggunaan Pasal 127 UU Narkotika seringnya hanya dikenakan bagi mereka yang telah melakukan suap atau mampu mengkorting hukuman dengan membayar,” kata Ijul, sapaan akrab Julius, dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Sementara itu, pengguna narkoba yang tidak mampu membayar atau masyarakat umum sering dijebak dengan pasal berlapis menggunakan lenturnya UU Narkotika. Mereka dikenakan tambahan pasal seperti penguasaan, kepemilikan narkotika atau jual beli narkotika sesuai dengan rumusan Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 114 UU Narkotika.
Pasal berlapis yang didapat tersebut membuat penyalahgunaan narkoba mendapatkan hukuman penjara lebih dari 4 tahun dan bukan hanya dikategorikan sebagai pengguna. Namun juga terkena pasal tentang penguasaan, kepemilikan narkotika atau jual beli narkoba.
Di sisi lain, dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan, bahwa pengajuan grasi untuk putusan penjara paling rendah dua tahun.
“Sehingga grasi massal ini hanya mendorong penyalahgunaan narkotika dalam kategori pengguna yang dipenjara dari rentang 2 tahun lebih 1 hari sampai 4 tahun penjara kurang 1 hari,” kata Ijul.
Ijul menilai, alasan tersebut membuat rencana grasi massal pengguna narkoba ini menjadi diskriminatif dan tidak tepat sasaran. Ia mendorong evaluasi massal bagi seluruh kasus penyalahgunaan narkotika melalui asesmen medis dan sosial untuk tujuan pengampunan dan mencabut penghukuman.
Upaya Mengurangi Kepadatan Lapas
Mahfud MD sebut, sebanyak 51 persen dari sekitar 270.000 penghuni lapas adalah narapidana narkoba. Narapidana narkoba ini mayoritas sebagai pengguna.
“Kadang kala ada di antaranya yang mungkin terjebak oleh temannya, terjebak oleh aparat nakal, dan sebagainya,” ujar Mahfud.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BNN Petrus Reinhard Golose menjelaskan, Presiden Jokowi memberikan arahan agar ada kerja sama dari semua pemangku kepentingan untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba.
Petrus juga mengatakan akan ada rencana lapas khusus narkotika dengan keamanan maksimal. Hal ini untuk mengurangi kepadatan lapas yang didominasi pengguna narkoba saat ini.
“Jadi, yang paling penting adalah sinergitas antara BNN, TNI-Polri, dan kementerian-lembaga. Itu sinergitas dalam penanggulangan narkotika secara masif,” kata Petrus.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyatakan, grasi massal narapidana narkoba merupakan kebijakan yang tepat bila ingin mengatasi kepadatan lapas. Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa perlu ada pendekatan rehabilitatif pada pengguna narkoba.
“Penggunaan narkoba itu kejahatan yang pelakunya sekaligus sebagai korban. Sehingga hukuman seharusnya di titik beratkan pada rehabilitasi. Kecuali hukuman untuk para pengedar dan bandar,” kata Fickar kepada reporter Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz