tirto.id - Sikap pemerintah dinilai serbasalah dalam wacana pembebasan bersyarat narapidana terorisme Ustaz Abu Bakar Ba’asyir.
Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Yaqut Cholil Qousam menilai kondisi pemerintah saat ini kebingungan untuk mengambil keputusan membebaskan Abu Bakar Ba'asyir. Menurutnya, posisi pemerintah serbasalah.
Gus Yaqut, sapaan akrabnya, mengatakan, jika tidak membebaskan Ba'asyir sampai, misalnya, meninggal di penjara berdampak pada gerakan Islamisme.
Ia menilai hal itu bisa memicu bibit ekstrimisme dan berpotensi memicu konflik, karena rekam jejak Ba'asyir di kalangan umat Islam yang punya massa.
"Pertimbangan kita, ketika Abu Bakar Ba'asyir meninggal di penjara itu gerakan Islamisme akan menjadi semacam radikal. Iya menguatkan populisme Islam," ujarnya saat menyambangi kantor Tirto, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (23/1/2019).
Tetapi jika dibebaskan, lanjutnya, Ba'asyir tidak mau mengajukan grasi dengan menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahannya dalam terorisme. Ba'asyir, kata dia, juga tidak mau menyatakan ikrar kesetiaan pada NKRI secara tertulis dalam pembebasan bersyarat.
"Grasi itu kan mengaku bersalah, karena dia tidak mau mengakui Pancasila. Repot tuh makanya" ucapnya.
Yaqut juga mengkritik keras sikap Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan kebebasan Ba'asyir. Menurutnya, pernyataan pembebasan berasal dari Yusril sebagai penasihat hukum pribadi Joko Widodo (Jokowi), bukan kebijakan langsung kali pertama dari Presiden.
"Makanya kami juga tanyakan itu, kenapa Yusril melakukan itu, dia kan pengacara capres, karena itu bukan statement pemerintah resmi, itu statement dia sebagai pengacara capres. Tidak ada omongan pemerintah," ucap Yaqut.
Ia juga menilai jika momen yang dilakukan untuk membebaskan Ba'asyir tidak tepat. Mengingat saat ini tengah memasuki Pilpres 2019.
"Tapi yang jelas timming-nya nggak pas kalau dilepaskan. Karena semata-mata urusannya [politik] elektoral," terangnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Zakki Amali