Menuju konten utama

Sneakers Jokowi Belum Menyamai Kenecisan Sukarno

Belum ada satu presiden pun yang menyamai Sukarno dalam hal berpenampilan. Dia tak hanya terlihat necis, tapi juga gagah.

Sneakers Jokowi Belum Menyamai Kenecisan Sukarno
Sukarno presiden necis. FOTO/Istimewa

tirto.id - Jokowi sangat berambisi menjadi Presiden Republik Indonesia yang dekat dengan generasi milenial, terutama dalam hal berpakaian. Jokowi kerap terlihat bersepatu sport atau sneakers layaknya anak muda. Sneakers Jokowi bahkan sempat jadi viral di media sosial. Jokowi kerap hanya memakai kemeja dan kadang dengan bawahan celana jeans.

Di Indonesia, dalam banyak acara resmi, celana jeans adalah haram. Celana jeans, yang mulanya dipakai kaum pekerja, bahkan dilarang dikenakan sebagai pakaian kerja di kantor pemerintahan atau sekolah-sekolah. Padahal berkat celana jeans, Timor-Timur bersatu dengan Indonesia.

Presiden-presiden sebelum Jokowi lebih sering terlihat kaku dalam berpenampilan. Bisa dibilang cara berbusana presiden-presiden tak mengikuti cara berpakaian yang sedang berkembang di masa mereka jadi presiden. Presiden berjenis kelamin laki-laki sering terlihat berbaju safari. Tapi tidak Sukarno.

Sukarno jadi presiden ketika perubahan mode pakaian di Indonesia berjalan sangat lambat. Saat itu, memakai bawahan berupa pantalon—menurut KBBI online artinya “celana yang panjangnya sampai ke mata kaki”—dengan atasan berupa kemeja dan memakai sepatu, seorang laki-laki sudah dianggap berpakaian rapi dan si pemakainya sudah jadi orang yang percaya diri. Bedanya, pada era 1940-an celana panjang umumnya lebar dan akhir era 1950-an hingga 1960-an celana panjang mulai agak ketat.

Di zaman Soeharto berkuasa, era 1970-an adalah masa ketika celana panjang yang paling digemari, terutama oleh anak muda, adalah celana panjang dengan bagian bawah lebar tapi bagian pahanya menyempit—yang sering disebut celana cutbray. Di masa ini, cara berpakaian orang-orang tua yang mengalami masa muda di era 1940-an umumnya masih seperti ketika mereka muda. Sulit ditemukan orang tua di tahun 1970-an dengan celana cutbray.

Presiden Soeharto pun tidak bercelana cutbray sehari-harinya. Tak hanya sulit berpenampilan seperti anak muda, Soeharto di era 1970-an sebetulnya tak dekat dengan anak-anak muda. Dia lebih dekat dengan para pembantunya.

Soeharto yang rendah hati dan dalam sejarah kepresidenan Indonesia paling rendah pendidikannya, berusaha untuk tampil sederhana. Puluhan tahun dan sejak muda, dia hidup dalam segaram militer. Dalam kebanyakan foto lawas Soeharto, sebelum 1967, dia kebanyakan berpakaian militer. Sudah pasti dia terlihat gagah. Seragam militer memang dirancang agar si pemakai terlihat gagah. Di luar seragam militer, Soeharto tidak senecis Sukarno. Dalam hal berpakaian, latar belakang sekolah dan tren di masa muda ikut membentuk.

Jika Soeharto terlihat gagah dengan seragam militernya waktu awal-awal jadi presiden, maka B.J. Habibie tentu berbeda. Habibie lebih sering terlihat dengan pakaian safari dalam kunjungan kerja. Dalam acara formal, Habibie dikenal penampilannya dengan jas beserta celana panjang hitam dan peci di kepala. Presiden Abdurrahman Wahid dan Susilo Bambang Yudhoyono pun demikian ketika jadi presiden. Bedanya, SBY kerap terlihat dengan baju batik. Kecuali SBY, presiden-presiden pasca-Soeharto ini bukan orang berlatarbelakang militer.

Sebagai orang yang menikmati sekolah Belanda—macam Europeesche Lagere School (ELS) juga sekolah menengah 5 tahun Hogere Burger School (HBS)—Sukarno terbiasa berpakaian ala orang Barat. Dengan celana bahan, kemeja, dan sepatu. Atau bahkan pakai dasi dan jas sekalian. Apalagi ketika dirinya berkuliah di Technische Hoogeschool Bandung.

Di awal abad lalu, berpakaian ala barat jadi sebuah masalah, bahkan bagi para pemuka pribumi. Sukarno tidak akan lupa bagaimana dia melangsungkan pesta perkawinannya yang pertama. “Penghulu secara serampangan menolak menikahkan kami karena aku pakai dasi,” ingat Sukarno seperti ditulis Cindy Adam dalam autobiografi yang dirilis ulang, Untold Story: Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesiat (2018: 133-134).

Si penghulu alias Tuan Kadi bahkan beri ceramah, “Anak muda, dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen. Dan tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.”

Sukarno yang doyan berpenampilan rapi dan suka pakai dasi tak mau kalah omong dengan penghulu.

“Tuan Kadi, saya menyadari bahwa dulunya mempelai hanya memakai pakaian bumi putra, yaitu sarung. Tapi ini adalah cara lama. Aturannya sekarang sudah diperbarui,” balas Sukarno.

Penghulu tak mau kalah juga dan bilang, “akan tetapi pembaruan itu hanya untuk memakai pantalon dan jas buka.”

Sukarno muda pun beri kalimat untuk menghantam opini si penghulu, “adalah kegemaran saya untuk berpakaian rapi dan memakai dasi.”

Begitulah Sukarno menggambarkan dirinya agar dimengerti dan dilihat orang lain.

Infografik Gaya Para Presiden Indonesia

Sangat Perhatian pada Pakaian

Cara berpakaian orang juga menjadi masalah penting bagi Sukarno. Sukarno melihat bahwa cara berpakaian orang-orang bumiputra sangat memengaruhi sikap mental mereka. Orang pribumi terlihat bersikap rendah diri dalam pakaian tradisional.

“Di saat orang Indonesia memakai pantalon, di saat itu pula ia berjalan tegap seperti setiap orang kulit putih. Akan tetapi begitu ia memasangkan lambang feodal di sekeliling pinggangnya ia lalu berjalan dengan bungkukan badan yang abadi,” kata Sukarno.

Baginya sarung memang asli Indonesia, tapi tidak sesuai sebagai pakaian untuk tampil. Pakaian yang kerap dipakai golongan tani dan kuli itu dianggap akan membuat orang Indonesia kurang percaya diri dan merasa lebih rendah.

Di masa sekarang, Sukarno kerap diingat orang dengan peci di kepala, celana panjang putih, dan jas putih ala militer (yang modelnya tidak jauh beda dengan pakaian dinas upacara TNI). Pakaian resmi yang kerap dipakainya tak selalu putih. Kadang berwarna hijau. Sejak masa Revolusi, Sukarno sudah memakai pakaian seperti itu.

Di era Demokrasi Liberal 1950-an yang penuh pergolakan, Sukarno masih dengan gaya yang sama. Tapi setelah era Demokrasi Terpimpin (sejak Dekrit 5 Juli 1959), pakaian yang sering dikenakan Sukarno adalah jas yang mirip seragam militer yang biasa dipakai jenderal, dan dihiasi tanda atau bintang militer. Kadang-kadang, yang dipakai bukan model jas, tapi model safari.

“Aku ingin menggunakan pakaian seragam pada setiap penampilan di depan publik karena aku tahu rakyat yang tertindas senang melihat Presidennya yang berpakaian necis,” kata Sukarno seperti dicatat Cindy Adam.

Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003: 352) menyebut, “pakaian seragam adalah pakaian kekuasaan. Tidak ada orang yang paling sadar akan kekuasaan pakaian seragam daripada Sukarno.”

Sukarno terus merasa gagah dengan seragam militer di masa Demokrasi Terpimpin. Dia tak cuma merasa percaya diri dan merdeka ketika memakainya. Toh, dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kala itu. Siapa pun sulit melarangnya, termasuk para panglima angkatan dan kepala staf.

Banyak orang menyukai cara berpakaian Sukarno. Dengan seragam macam itu, Sukarno tergolong presiden Indonesia paling necis dan terlihat paling gagah dalam hal berpakaian.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan