Menuju konten utama

Skrining COVID-19 Bobol Berulang, Evaluasi Total Jadi Keharusan

Skrining COVID-19 berulang kalo bolong. Para epidemiolog mendesak ini dievaluasi total.

Skrining COVID-19 Bobol Berulang, Evaluasi Total Jadi Keharusan
Calon penumpang antre untuk tes deteksi COVID-19 dengan metode GeNose C-19 di Lobby Baru Terminal 1 Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (24/4/2021). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/hp.

tirto.id - Terbongkarnya praktik penggunaan alat tes rapid antigen COVID-19 bekas pakai di Bandara Kualanamu oleh Polda Sumatera Utara pada Selasa (27/4/2021) lalu hanya satu dari sekian banyak kejadian bobolnya upaya skrining COVID-19. Semua ini mengancam kesehatan publik di tengah pandemi dan meningkatkan potensi masuknya mutasi baru.

Kejadian di Medan bermula dari laporan masyarakat yang ditindaklanjuti oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda Sumut dengan penggerebekan ke lokasi. Seorang petugas Kimia Farma mengaku menggunakan alat bekas yang telah dicuci kembali dengan air dan dimasukkan ke dalam kemasan agar terlihat baru. Sebanyak 5 orang dibawa ke kantor polisi atas kejahatan ini.

Praktik itu sangat berbahaya lantaran alat bekas itu berpotensi jadi medium penyebaran virus. Belum jelas berapa orang jadi korban. Namun, menurut keterangan Direktur Utama PT Kimia Farma Diagnostik Adil Fadilah Bulqini, selama 10 hari setidaknya 662 warga telah menjalani tes di tempat tersebut. "Jumlah tersebut sesuai dengan laporan yang kami terima dari Kepala Pelayanan Kimia Farma Diagnostik Rapid Test yang bertugas di Bandara Kualanamu," kata Fadilah, Rabu (28/4/2021).

Ini bukan kali pertama pengawasan terhadap warga yang bepergian bobol lantaran ulah petugas yang culas.

Sebelumnya, polisi menetapkan empat tersangka, masing-masing berinisial JD, S, RW, dan GC karena bersekongkol menghindari karantina. Kasus bermula kala JD baru tiba di Jakarta dari India, negara yang tengah menghadapi gelombang tsunami COVID-19. Ia kemudian menyogok Rp6,5 juta ke S dan RW agar bisa menghindari kewajiban karantina. Dalam hal ini GC bertugas mengolah data sehingga JD terdata menjalani karantina padahal kenyataannya tidak.

Diduga kelompok ini juga terlibat dalam masuknya sejumlah warga negara India beberapa waktu lalu.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher menilai terbongkarnya kasus persekongkolan menghindari karantina hanya kebetulan, sebab kabar warga negara India yang ketahuan masuk Indonesia memang sedang ramai dibicarakan. Ia pun menuntut seluruh petugas yang memiliki wewenang terkait karantina diperiksa agar masalah ini terbongkar sampai ke akarnya.

"Kita tidak ingin kasus ini berhenti hanya di tersangka saja, tapi harus sampai mengungkap seluruh jaringan mafia karantina kesehatan. Jangan sampai terulang lagi," katanya, Kamis (28/4/2021).

Menurutnya hal itu penting karena Indonesia tengah berupaya mencegah masuknya mutan baru Sars-Cov2 yang lebih ganas dari negara lain, yang sebetulnya juga sudah terjadi. Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Senin (15/3/2021), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan sudah ada 6 sampel--saat ini sudah 10 sampel--yang terinfeksi virus Sars-Cov2 B.1.1.7. Sebanyak dua sampel berasal dari kedatangan luar negeri, dan empat di antaranya diduga hasil dari transmisi lokal. Empat sampel tersebut masing-masing berasal dari Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.

Daftar kebobolan semakin panjang dengan kasus yang terjadi pada awal Januari lalu. Saat itu terkuak ada sindikat pemalsu surat PCR di Bandara Soekarno-Hatta. Kasus ini melibatkan 15 orang, termasuk pegawai bandara.

Belum lagi kasus-kasus penipuan lain. Pada Januari 2021, Polres Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, menangkap tiga pria pemalsu surat rapid tes. Lalu di Surabaya, polisi membongkar sindikat pemalsu surat tes rapid kepada penumpang kapal seharga Rp100 ribu. Di Jember, penjual surat keterangan rapid test antibodi dan antigen palsu adalah seorang mahasiswa berusia 24 tahun.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan pada dasarnya skrining pelaku perjalanan bisa berdampak positif jika dilakukan dengan benar. Namun, dengan banyaknya kasus seperti saat ini, maka tes tersebut menjadi tak ada artinya dan hanya menjadi ajang bisnis petugas di tingkat pusat hingga lapangan. Pandu mencontohkan penggunaan alat tes Genose yang tak memiliki bukti sahih mampu mendeteksi virus COVID-19.

"Harus kita tinjau ulang semua. Apakah skrining itu diperlukan? Karena itu hanya akan membebani dan tidak akan mencegah penularan," kata Pandu kepada reporter Tirto, Kamis.

Pandu menyarankan alih-alih melakukan skrining setengah hati sebaiknya pemerintah fokus pada pencegahan mobilitas antar wilayah. Misalnya dengan menghapus libur panjang untuk mengurangi motivasi warga bepergian ke luar kota.

Senada dengan Pandu, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman juga menilai yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah membatasi perjalanan antar wilayah. Misalnya, melarang tiket dijual untuk keperluan yang tidak mendesak, atau larangan penjualan tiket di zona merah. Hanya orang dengan kepentingan mendesak yang dapat melakukan perjalanan dan sebelumnya diskrining.

Hari ini, menurutnya, skrining sebatas jadi legitimasi untuk bepergian yang belum tentu penting.

"Ini yang harus diperbaiki. Jadi respons keseluruhan dievaluasi," kata Dicky kepada reporter Tirto, Kamis.

Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito tidak merespons ketika dimintai komentar mengenai tuntutan evaluasi skrining pada pelaku perjalanan.

Baca juga artikel terkait SKRINING COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi & Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino