tirto.id - Midway Atoll adalah rumah bagi burung albatros. Pulau tersebut ada di tengah samudera Pasifik dan bisa dijangkau dengan penerbangan 3.5 jam dari Honolulu, Hawai. Tujuh tahun lalu, fotografer Chris Jordan datang ke pulau yang tak dihuni manusia itu. Ia memotret sejumlah bangkai Albatross. Perut burung penuh dengan serpihan sampah plastik. Midway menyimpan kisah tentang spesies yang kelaparan dan mati, serta kontaminasi sampah di perairan hingga pesisir pantai.
“Di pulau yang tidak ada manusia pun sampah-sampah plastik itu bisa sampai. Bisa dibayangkan betapa besarnya dampak sampah dari produk-produk plastik yang kita, manusia, pakai. Kerugiannya sangat besar,” kata Sheila Agatha, desainer busana, pendiri label SeanSheila.
Kami berbincang di Jakarta Fashion Week (JFW), beberapa hari sebelum Sheila hendak menampilkan koleksi terbaru pada Dewi Fashion Knights (DFK), acara puncak sekaligus penutup pekan mode. Untuk peragaan tersebut, ia bersama Sean Loh, partnernya, tidak ingin membuat busana rapi yang bisa membuat para wanita terkesan elegan. Bagi Sean dan Sheila, menyiratkan wacana kepada publik lebih penting. Mereka malah tak keberatan jika penonton terganggu ketika melihat busana yang ditampilkan, agar penonton bisa mendapat kesan bahwa itulah yang terjadi di lingkungan saat ini: kacau dan berantakan karena sampah plastik.
SeanSheila menampilkan 10 busana dengan material utama plastik. Sebagian besar baju berupa jaket serupa coat dan terusan. Pada tubuh para model menempel baju plastik yang dipadu dengan material bubble wrap, potongan karung goni, dan sisa kain dari koleksi SeanSheila terdahulu. Mereka turut menciptakan kemeja compang camping yang nampak seperti kemeja sobek yang hanyut di lautan.
“Kami sudah siap dikritik,” kata desainer yang busananya dijual di beberapa negara seperti Inggris, Mesir, Kuwait, Jepang, dan Singapura.
Bayangan- bayangan seperti itu bisa tercipta jelas lantaran para model berjalan pelan. Nyanyian "Sound of Silence" dari Simon & Garfunkel mempertegas bayangan yang terkesan kelam itu.
Ini kali pertama DFK terasa berjarak dari citra glamor. Program peragaan busana ini pertama kali diadakan 10 tahun lalu. Sebagai acara penutup, penyelenggara JFW sepakat untuk membuat DFK sebagai peragaan busana yang terkurasi. Tim DFK memilih beberapa desainer yang memiliki rekam jejak baik di ranah mode, baik dari sisi bisnis, popularitas, maupun kreativitas.
Setelah nama-nama terkumpul, mereka diminta untuk berkarya sesuai tema yang dipilih oleh tim internal majalah Dewi selaku penanggungjawab acara. Bila desainer tertarik, tahap selanjutnya yang dilakukan ialah mempresentasikan konsep busana di depan juri yang terdiri dari pelaku di industri mode, dari petinggi bisnis retail, model, influencer, dan fotografer.
Awalnya acara ini fokus pada desainer-desainer Indonesia yang menghasilkan karya haute couture seperti Sebastian Gunawan, Ghea Panggabean, Ali Charisma, Deden Siswanto, Sally Koeswanto, Denny Wirawan, Auguste Soesastro, Priyo Oktaviano, Tex Saverio, maupun Sapto Djojokartiko.
“Seiring waktu kami merasa perlu menampilkan desainer-desainer muda yang karyanya tak selalu couture,” kata Margaretha Untoro, Pemimpin Redaksi Dewi.
SeanSheila terbilang pemain baru yang muncul empat tahun lalu. Selain SeanSheila, tim DFK memilih Tommy Ambiyo, desainer tas dan pemilik label BYO. Di DFK, ia menampilkan koleksi busana pastel yang terkesan sporty dan futuristik. Busana itu terlihat tersusun dari detail-detail serupa puzzle yang berbentuk huruf X, O, dan tanda +.
“Ini adalah hasil persepsi saya setelah melihat proses menenun kain Sumatera. Saya melihat ada kesamaan geometris antara tenun dan bentuk-bentuk tersebut. Agar terkesan lebih modern. Saya rasa sudah saatnya untuk mengembangkan diri dan DFK ialah acara yang aspiring.”
Pada malam itu, ketenangan hanya tersirat ketika Chitra Subyakto menampilkan koleksi Sejauh Mata Memandang. Potongan-potongan busananya sederhana. Sesederhana kain yang dililit ke tubuh dengan berbagai macam. Yang hendak Chitra tonjolkan ialah motif kain. Motif-motif itu digambar di atas kain katun merah, biru, kuning, hitam, dan biru. Semua diambil dari palet warna tua.
“(Kain ini) dibuat oleh ibu-ibu korban penggusuran yang kini tinggal di rusun Marunda. Ibu-ibu ini sangat berarti buat saya. Motif kain adalah representasi saya tentang isi kotak bekal dari dongeng anak Timun Mas. Dongeng yang menyiratkan bahwa anak kecil juga bisa jadi pahlawan,” kata Chitra.
Ia membuat orang diam dan fokus mengamati koleksi dengan suara denting dan musik instrumental lembut yang dibuat oleh Tulus.
“Ini bukan sekadar peragaan busana. Saya ingin meninggalkan rasa senang dan damai seperti sedang liburan. Kita sudah terlalu banyak terpapar oleh hal-hal negatif dari luar sana. Terlebih orang-orang menanti acara ini dengan semangat. Ini acara yang punya privilege,” katanya.
Tahun ini, desainer Rinaldy A. Yunardi jadi sosok yang mendapat buket bunga paling banyak dari penonton. Ia terpilih sebagai desainer DFK lantaran karya-karyanya kian sering dipakai oleh selebritas internasional seperti Beyonce dan Madonna. Malam itu Rinaldy menutup wajah para model dengan berbagai topeng dan hiasan kepala berukuran masif yang di antaranya terbuat dari taco hpl, sebuah bahan pelapis untuk produk seperti lemari atau meja.
Bagi orang yang belum familiar melihat karya Rinaldy, topeng-topeng itu bisa memunculkan berbagai reaksi. Aktris Hannah al Rashid misalnya. Matanya terbelalak tiap melihat aksesori yang eksperimental, terutama ketika melihat koleksi terakhir: Topeng tengkorak merah dari manik-manik berkilau yang dipadu dengan aksesoris serupa hiasan kepala tradisional wanita Tiongkok. Salah satu kawan saya menyebut model yang memperagakan aksesori layaknya malaikat kematian. Dan peragaan busana malam itu ditutup dengan wujud yang cukup mengerikan itu.
Editor: Nuran Wibisono