tirto.id - Praktik kejahatan jual beli bayi kembali ditemukan di Indonesia dan melibatkan jaringan sindikat lintas negara. Polda Jawa Barat awalnya melaporkan, 12 tersangka anggota sindikat mereka amankan, yang kemudian bertambah menjadi 13 orang. Polisi juga berhasil menyelamatkan enam bayi yang hendak dikirim ke Singapura.
Di antara enam bayi tersebut, lima bayi dibawa dari Pontianak ke Tangerang, sementara satu bayi lainnya berasal dari wilayah Jabodetabek. Bayi-bayi ini ada yang telah “direkrut”, untuk diperdagangkan, sejak dalam kandungan.
Polda Jawa Barat menjabarkan 13 orang tersangka punya perannya masing-masing. Ada seorang sebagai perekrut, kemudian empat orang sebagai penampung, satu orang yang bertugas menjadi perawat bayi, satu orang yang membuat dokumen palsu, dua orang perantara, dan satu orang yang mengorkestrasi semua proses ini. Terdapat pula tiga orang lainnya yang masih dalam daftar pencarian orang (DPO).
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Komisaris Besar Polisi Surawan menjelaskan penyidik masih menelusuri asal-usul bayi serta keterlibatan orangtua mereka dalam praktik jual beli bayi tersebut.
"Keterangan dari satu korban karena motif ekonomi. Kita masih menelusuri asal bayi-bayi itu, orangtuanya siapa, motifnya apa, sementara masih mendalami keterangan tersangka perekrut," katanya di Bandung, seperti dilaporkan Antara, Rabu (16/7/2025).
Sejak sindikat ini beroperasi pada 2023, ada sedikitnya 24 bayi yang telah menjadi korban penjualan ke Singapura. Surawan bilang, kasus penyelidikan perdagangan manusia ini berawal dari laporan adanya kasus penculikan anak yang terjadi di Kota Bandung.
"Kami mendapatkan keterangan bahwa tersangka sudah pernah mengambil sebanyak 24 bayi," katanya.
Surawan mengungkap mayoritas bayi yang dijual berusia dua sampai tiga bulan. Bayi-bayi tersebut diketahui akan kembali diadopsi oleh calon pembeli di Singapura dengan uang ganti Rp11 juta hingga Rp16 juta untuk setiap bayi.
Sementara terkait jalur pengiriman bayi ke Singapura, polisi menemukan bahwa Pontianak, Kalimantan Barat, digunakan sebagai titik transit. Di Pontianak, sindikat perdagangan bayi itu membuat dokumen kependudukan dan keimigrasian untuk para bayi. Sebelum dikirim ke Pontianak, bayi itu dirawat selama sekitar tiga bulan di Bandung.
"Di Pontianak itu tempat pembuatan dokumen. Bayi-bayi ini dimasukkan ke kartu keluarga orang lain, lalu dibuatkan paspor untuk proses pengiriman ke luar negeri. Mayoritas tersangka juga berdomisili di Pontianak," ujar Surawan.
Perkara yang menyangkut keselamatan dan masa depan anak-anak ini jelas harus diberangus tuntas, apalagi kejadian serupa juga pernah dilaporkan. Pada September 2024 lalu misalnya, Polres Metro Depok membongkar praktik jual-beli bayi di Depok, Jawa Barat (Jabar). Dalam pengungkapan kasus tersebut, polisi berhasil mengamankan sebanyak delapan orang tersangka.
Modus sindikat ini adalah memasang iklan melalui Facebook dengan tujuan mencari orang tua bayi yang mau menjual anaknya. Pelaku juga mengiming-imingi orang tua bayi dengan imbalan Rp10-15 juta.
Masalah Regulasi Aborsi sampai Kehamilan Tak Diinginkan (KTD)
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Andy Ardian, mengatakan kalau praktik adopsi ilegal yang berujung pada trafficking atau perdagangan manusia dilatari oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait kurang pemahaman terhadap regulasi adopsi, yang tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
Pasal 4 Permensos itu menyebut, syarat material calon anak yang dapat diangkat, yakni mereka yang belum berusia 18 tahun, anak terlantar atau ditelantarkan, anak berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak, dan anak memerlukan perlindungan.
Meski pengangkatan anak sejatinya bisa dilakukan antar-Warga Negara Indonesia (WNI), proses antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA) juga bisa dilakukan. Namun, syarat material, administrasi, dan tata cara yang perlu dipenuhi lebih kompleks.
Calon anak WNI yang akan diangkat oleh calon orang tua angkat WNA harus berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak, sebagaimana disebutkan dalam pasal 42 ayat (1) Permensos 110/2009.
“Kalau mau dibilang regulasi pemerintah terkait dengan proses adopsi itu kan tidak banyak dipahami oleh banyak orang. Nah, itu yang sebenarnya juga menjadi potensi akhirnya banyak orang yang gak paham soal regulasi, melakukan apa saja yang menurut mereka benar atau menurut mereka pantas,” kata Andy kepeda Tirto lewat sambungan telepon, Kamis (17/7/2025).
ECPAT Indonesia, tempat Andy bernaung adalah jaringan internasional yang dokus mencegah prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak. End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes adalah jabaran dari akronim nama organisasi.

Dia menambahkan, selain perkara regulasi, adopsi ilegal dan perdagangan orang juga kerap memanfaatkan kondisi Kehamilan Tidak Direncanakan/Diinginkan (KTD). Dari KTD atau orang tua yang sudah memiliki banyak anak, mereka akhirnya memilih untuk mengadopsikan anaknya. Apalagi bagi keluarga yang kurang mampu, ketika mereka tidak punya finansial mumpuni untuk pengobatan, perawatan dan proses persalinan.
“Meskipun sebenarnya proses persalinan itu kan gratis ya, saat ini di pemerintah. Karena mengurangi angka kematian anak dan ibu hamil itu gratis sebenarnya layanannya. Tapi kan ada banyak masalah nih soal administrasi di pemerintah yang dia tidak punya identitas, akhirnya dia tidak bisa akses BPJS. Kemudian yang tidak menikah itu kan juga jadi masalah tuh, prosesnya ribet dan dipersulit,” ungkap Andy.
Menurut pengalamannya, ia juga menemukan adanya keterlibatan orang-orang yang membantu proses persalinan, seperti bidan atau tenaga kesehatan di rumah sakit dalam menjadi kaki tangan adopsi ilegal, baik secara sadar maupun tidak.
“Bisa jadi mereka gak paham kalau itu sebenarnya adalah trafficking atau perdagangan orang atau mungkin juga paham tapi ya pura-pura gak paham aja gitu,” kata Andy.
Padahal, praktik perdagangan anak jelas merupakan praktik kejahatan dan pengabaian terhadap hak-hak anak. Ketentuan ini termaktub dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 27 ayat (1) tertera, identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya dan hal ini dituangkan dalam akta kelahiran. Pengangkatan anak wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal anak.
“Ketika adopsi meskipun anaknya udah punya akta nih, nanti dibuatkan akta sendiri tuh soal orangtua angkatnya dengan ayah angkat, nama ibu seolah-olah itu anak kandung. Itu aja sebenarnya mengaburkan identitas anaknya,” ungkap Andy.
Perlu Penguatan Layanan KTD dan Efek Jera
Maraknya permasalahan perdagangan orang yang menyasar anak tentu harus menjadi perhatian bersama. Tak cuman diperhatikan, persoalan ini mesti ditangani secara tuntas dan terkoordinasi.
Data pengaduan Komisi Perlindungan Anak (KPAI) mencatat, ada sekira 912 anak korban eksploitasi ekonomi/seksual, pornografi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sepanjang 2021 - 2023.
Di tengah kemungkinan KTD sebagai celah pemanfaatan kondisi untuk melancarkan TPPO, Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menekankan pentingnya penguatan layanan untuk terhadap orang-orang yang mendapati situasi rentan, termasuk orang dengan KTD.

Sebab, orang dengan KTD seringkali merasa bingung harus berkonsultasi ke mana dan bingung untuk menyelesaikan masalah. Apalagi disertai dengan kondisi ekonomi yang tidak mendukung, kemudian secara sosiologis tidak punya pasangan atau dicampakkan.
“Lalu misalnya juga tidak terjadi penerimaan dalam keluarga. Dia takut gitu, diancam. Dan keluarga menolak sama sekali, dianggap aib dan lain sebagainya,”ujar Ai kepada jurnalis Tirto, Kamis (17/7/2025).
"Sisi kerentanan ini yang tidak bisa kita tutup mata. Kita harus sudah mulai bahwa sentra-sentra layanan ini bukan hanya mereka yang sudah melapor secara konvensional, lalu terjadi kekerasan yang ditemukan. Tetapi juga bagian dari konsultasi pihak-pihak yang secara edukasi, secara aksesibilitas lemah,” tambah dia.
Selain itu, ia juga menekankan urgensi penjeraan kepada pelaku-pelaku yang terlibat TPPO. Dalam banyak kasus, Ai bilang, penyelesaian TPPO selesai pada mengembalikan bayi atau anak ke tempat tinggal tetap.
Langkah kepolisian menangkap tersangka jual beli bayi perlu diapresiasi. Tapi masih banyak catatan yang perlu disoroti, termasuk indikasi bagian pemerintahan yang ikut memanipulasi hingga melakukan eksploitasi.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































