Menuju konten utama

Sikap Malu-Malu Parpol soal Wacana Pemilihan Presiden Lewat MPR

Pemilihan presiden lewat MPR terbukti memiliki banyak mudarat, salah satunya presiden bisa tumbuh jadi sosok otoriter dan antikritik, sementara MPR hanya menjadi tukang “stempel.”

Sikap Malu-Malu Parpol soal Wacana Pemilihan Presiden Lewat MPR
Helikopter kepresidenan terparkir jelang pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.

tirto.id - Wacana pemilihan presiden dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali mengemuka setelah pertemuan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet dengan Pengusrus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rabu, 27 November 2019. Sementara parpol masih malu-malu dalam menentukan sikap soal wacana ini.

“Parpol ini malu-malu kucing sepertinya, dan tidak berani untuk bersuara, karena mereka sangat hati-hati betul terkait soal citra dan sebagainya,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (29/11/2019).

Pangi berpendapat semestinya partai-partai yang mengklaim diri demokratis langsung menolak wacana itu seketika. Terlebih pemilihan presiden lewat MPR terbukti memiliki banyak mudarat: salah satunya presiden bisa tumbuh jadi sosok otoriter dan antikritik, sementara MPR hanya menjadi tukang “stempel.”

Menurut Pangi, pemilihan presiden lewat MPR juga terbukti membawa instabilitas politik lantaran presiden dapat dicongkel dengan sangat mudah. Ia mencontohkan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gusdur.

“Gusdur dijatuhkan di tengah jalan oleh MPR. Mestinya cukup menjadi pembelajaran penting bagi kita betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR,” kata Pangi menegaskan.

Pangi mengakui dalam perjalanannya, pemilihan umum pasca reformasi memang menyisakan sejumlah masalah, mulai dari keterbelahan publik, politik biaya tinggi, dan korupsi politik.

Namun, kata Pangi, solusinya tak serta-merta instan dengan mengganti sistem pemilihan presiden langsung yang selama ini dianggap sudah sangat demokratis, karena publik bisa berpartisipasi secara nyata.

Menurut Pagi, banyak solusi lain yang masih bisa diakomodir lewat revisi Undang-Undang Pemilu. Misal, kata dia, penghapusan ambang batas syarat partai mengusung calon presiden, perbaikan pembiayaan politik, dan penegakan hukum.

Parpol Bermain Dua Kaki

Wacana pemilihan presiden lewat MPR ini bermula seiring dengan rencana amandemen UUD 1945.

Meski Bamsoet sempat menyatakan amandemen UUD 1945 ini tidak akan menyentuh urusan politik, termasuk masa jabatan dan mekanisme pemilihan presiden, tapi parpol masih malu-malu dalam menentukan sikap terkait wacana ini.

Apalagi setelah Bamsoet bertemu dengan pengurus PBNU. Dalam pertemuan itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan pemilihan presiden secara langsung mengakibatkan banyak masalah.

Ia mengatakan para kiai dan ulama saat musyawarah nasional (munas) di Pondok Pesantren Kempek Cirebon, pada 2012, berpikir mengusulkan pemilihan presiden kembali kepada MPR RI demi kuatnya solidaritas persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.

Namun, Said Aqil menegaskan, jika wacana itu hanya suara kiai dan para alim ulama dan bukan suara Pengurus Tanfiziah (Dewan Pelaksana) PBNU.

“Itu suara kiai-kiai, bukan tanfiziah. Kalau tanfiziah, namanya konferensi besar (konbes) di bawah muktamar. Di NU begitu,” kata Said Aqil seperti dikutip Antara, Rabu (27/11/2019).

Masukan PBNU ini pun direspons beragam partai politik. Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid misal, mengaku akan menampung dan mengkaji masukan tersebut.

Sementara Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid membenarkan pendapat Said Aqil dan menganggap itu sebagai arahan.

Hal itu, kata Jazilul, akan menjadi masukan bagi PKB dalam menentukan sikap. Menurut dia, di sisi lain PKB akan melihat sekaligus mendorong agar partai-partai lain menerima masukan itu.

“Tentu Fraksi PKB akan menerima itu sebagai masukan, nasihat sekaligus kami akan berpikir apakah nanti ide atau arahan dari PBNU akan diterima dari semua fraksi yang ada,” kata Jazilul, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Jazilul menambahkan, “Kalau semua fraksi yang ada menerima, berarti PKB berhasil meyakinkan apa yang menjadi rekomendasi PBNU.”

Hal berbeda diungkapkan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Ia menyebut mengembalikan pemilihan presiden ke MPR sama dengan mengambil langkah mundur.

Namun, Puan tak serta-merta menolak wacana tersebut. Ketua DPR RI ini pun mengaku partainya masih menunggu kajian atas rencana itu.

“Apakah kita kembali ke belakang, mundur? Apakah itu akan ada manfaat dan faedahnya ke depan?" kata Puan di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arya Budi menilai wacana ini tak bisa dilihat terpisah dengan rencana pemilihan kepala daerah lewat DPRD yang telah digaungkan sejak 2014.

Menurut Arya, ada upaya untuk mengembalikan dominasi partai politik di jabatan publik di Indonesia.

"Yang saya tangkap sejak akhir 2014 adalah mereka frustasi terhadap jabatan publik yang berada di luar kontrol mereka, jadi politisi-politisi ini, pemimpin partai ini, merasa berdarah-darah berkarier di politik, tapi mereka ditumbangkan oleh orang yang sama sekali tidak punya kontribusi di partai," kata Arya.

Untuk itu, kata dia, kemungkinan wacana ini akan terealisasi tergantung pada konsolidasi antarparpol. Namun di sisi lain parpol juga mempertimbangkan pendapat publik, hal ini yang membuat mereka mengambil sikap ambivalen terhadap isu ini.

Baca juga artikel terkait AMANDEMEN UUD 1945 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz