Menuju konten utama

Obral Grasi, Revisi UU KPK & Capim Bermasalah: Jokowi Pro Koruptor?

Pemberian grasi untuk Annas Maamun, revisi UU KPK, hingga capim bermasalah dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan Jokowi dalam pemberantasan korupsi.

Obral Grasi, Revisi UU KPK & Capim Bermasalah: Jokowi Pro Koruptor?
Presiden Joko Widodo memberikan pidato saat menghadiri Rakornas Indonesia Maju antara Pemerintah Pusat dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Langkah Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada terpidana korupsi Annas Maamun menuai kritik keras. Pemberian grasi itu dinilai tak cuma mencoreng rasa keadilan masyarakat, tapi juga menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Hal itu hanya semakin menunjukkan bahwa tidak ada komitmen terhadap antikorupsi dan penghormatan HAM selama ini hanyalah parsial,” kata peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar, Kamis (28/11/2019).

Grasi terhadap Annas disampaikan melalui Keppres Nomor 23/G tahun 2019.

Jokowi berdalih pemberian grasi ini telah mempertimbangkan berbagai hal. Selain soal kesehatan, pengampunan juga diberikan atas dasar rekomendasi dari Mahkamah Agung (MA) dan Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

“Memang dari sisi kemanusiaan ini kan sudah uzur umurnya dan sakit-sakitan terus. Sehingga dari kacamata kemanusiaan itu diberikan,” kata Jokowi seperti dikutip Antara, 27 November 2019.

Namun demikian, Rivan menilai kemanusiaan hanya dijadikan dalih bagi Jokowi atas penegakan hukum yang tebang pilih, dan ini bukan pertama kali dilakukan.

Contohnya, kata Rivan, pengkebirian atas kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan melalui revisi UU KPK pun dilakukan dengan alasan kemanusiaan.

Rivan pun membandingkan Annas Maamun dengan terpidana mati kasus narkoba Zulfiqar Ali. Kala itu, pihak keluarga menyampaikan permohonan grasi kepada Jokowi.

Permohonan grasi dilayangkan bukan tanpa alasan. Sebab, pria asal Pakistan itu dinyatakan dokter mengidap kanker hati stadium 4. Selain itu, proses hukum terhadap Zulfiqar juga diduga bermasalah.

Namun, Jokowi tak menggubris permohonan itu hingga akhirnya Zulfiqar mati di RS Medistra pada 31 Mei 2018 karena komplikasi.

“Maka grasi dengan alasan kesehatan terhadap terpidana korupsi, hanya dalih atas penegakan hukum yang tebang pilih,” kata Rivan.

Hal senada diungkapkan aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Ia menilai pemberian grasi kepada koruptor kembali membuktikan nihilnya komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi.

Pernyataan Kurnia bukan tanpa alasan, karena Jokowi sebelumnya telah mengesahkan revisi Undang-Undang KPK dan meloloskan calon pimpinan KPK bermasalah melalui pansel yang dibentuk dia.

Jokowi juga disebut telah ingkar janji soal rencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang membatalkan revisi UU KPK.

“Jadi jika selama ini publik mendengar narasi antikorupsi yang diucapkan oleh Presiden, itu hanya omong kosong belaka," kata Kurnia lewat keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto.

Kurnia mengingatkan korupsi adalah sebagai kejahatan luar biasa yang menyebabkan kerugian besar bagi publik. Artinya perlakuan terhadap kejahatannya harus luar biasa pula, dan pengurangan hukum terhadap terpidana korupsi tak bisa dibenarkan, kata Kurnia.

Apalagi, nyatanya korupsi yang dilakukan Annas memang bukan kasus main-main. Dalam persidangan perdana Annas dijerat dengan tiga dakwaan sekaligus.

Pertama, Annas terbukti menerima suap sebesar 166.100 dolar AS atau sekitar Rp2 miliar dari Gulat Medali Emas Manurung (Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Riau) dan Edison Marudut (pemilik PT Citra Hokiana Triutama).

Uang itu diberikan supaya Annas mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi (1.188 hektare), Kabupaten Rokan Hilir (1.124 hektare), serta Kabupaten Bengkalis (120 hektare).

Kedua, Annas terbukti menerima hadiah uang sebesar Rp500 juta dari Gulat agar memenangkan PT Citra Hokiana Triutama milik Edison dalam pelaksana proyek pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau.

Ketiga, ia terbukti menerima suap Rp3 miliar dari janji Rp8 miliar (dalam bentuk mata uang dolar Singapura) dari Surya Damadi melalui Suheri Terta.

Uang itu diberikan agar lahan milik anak perusahaan PT Darmex Agro—yang bergerak di perkebunan sawit—masuk dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau.

“Jika konsep penegakan hukum seperti ini yang diinginkan oleh presiden, maka pemberian efek jera pada pelaku korupsi tidak akan pernah tercapai sampai kapan pun,” kata Kurnia.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif pun menyebut masih ada tersangka lain yang tengah disidik komisi antirasuah sebagai pengembangan dari kasus Annas Maamun. Salah satu tersangka itu adalah PT Palma Satu yang dijerat sebagai penyuap Annas.

"Jadi kami kaget juga [Annas dapat grasi]," kata Laode di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, pada Rabu (27/11/2019).

Dalih Jokowi

Presiden Jokowi buka suara soal pemberian grasi untuk mantan Gubernur Riau Annas Maamun sebagai narapidana kasus korupsi. Menurut Jokowi, tidak semua grasi yang diajukan dikabulkan dirinya.

“Tidak semua yang diajukan kepada saya, kami kabulkan. Coba dicek, berapa ratus yang mengajukan dalam 1 tahun yang dikabulkan berapa. Dicek betul,” kata Jokowi, di Istana Kepresidenan Bogor, seperti dikutip Antara, Rabu kemarin.

Jokowi berdasarkan Kepres Nomor 23/G Tahun 2019 tentang Pemberian Grasi tertanggal 25 Oktober 2019 menyatakan memberikan pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 tahun menjadi pidana penjara selama 6 tahun. Namun pidana denda Rp200 juta, subsider pidana kurungan selama 6 bulan tetap harus dibayar.

Berdasarkan data pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Annas seharusnya bebas pada 3 Oktober 2021. Akan tetapi, setelah mendapat grasi pengurangan hukuman selama 1 tahun diperhitungkan akan bebas 3 Oktober 2020 dan denda telah dibayar 11 Juli 2016.

Putusan grasi itu mengembalikan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat yang menghukum Annas 6 tahun penjara pada 2015.

Berdasarkan surat permohonan grasi yang disampaikan, Annas mengatakan mengidap berbagai penyakit sesuai keterangan dokter, yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK/COPD akut), dispepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak napas (membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari).

“Tapi sekali lagi atas pertimbangan MA, dan itu adalah hak yang diberikan kepada Presiden dalam UUD,” kata Jokowi.

Pasal 6A ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut.

Presiden kemudian memutuskan setelah mendapat pertimbangan hukum tertulis dari MA.

“Kita harus tahu semuanya dalam ketatanegaraan kita, grasi itu adalah hak yang diberikan kepada Presiden atas pertimbangan dari MA, itu jelas sekali dalam UUD kita, jelas sekali,” kata Jokowi.

Jokowi pun meminta agar komentar mengenai pemberian grasi terhadap Annas tersebut tidak perlu diperpanjang lagi. “Kalau setiap hari kami keluarkan grasi untuk koruptor, setiap hari atau setiap bulan, itu baru dikomentari, silakan dikomentari,” kata dia.

Baca juga artikel terkait GRASI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz