tirto.id - Di Indonesia, pengampunan hukum (grasi) bisa diberikan kepada koruptor sekaligus predator seksual dengan alasan yang bahkan sepele: "faktor kesehatan".
Grasi tersebut dituangkan dalam Keppres Nomor 23/G tahun 2019 serta ditujukan untuk Annas Maamun, mantan Gubernur Riau.
“Memang dari sisi kemanusiaan ini, kan, sudah uzur umurnya dan sakit-sakitan terus. Sehingga dari kacamata kemanusiaan, [grasi] itu diberikan. Tapi, sekali lagi atas pertimbangan Mahkamah Agung,” ujarnya di Istana Bogor (27/11/2019).
Annas dihukum tujuh tahun penjara karena terbukti menerima suap atas alih fungsi lahan serta proyek Dinas Pekerjaan Umum manakala dirinya menjabat sebagai Gubernur Riau. Ketok palu atas hukuman itu baru final di tingkat kasasi pada 4 Februari 2019—empat tahun setelah Annas terjaring OTT KPK di kediaman pribadinya di Cibubur, Jakarta Timur.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik keras grasi dari Jokowi. Kurnia Ramadhana, peneliti ICW, menegaskan bahwa grasi kepada Annas adalah pertanda bahwa “narasi anti-korupsi Jokowi hanyalah omong kosong belaka.”
Peninggalan Monarki Inggris
Konsep grasi dalam sistem hukum punya riwayat sejarah yang panjang. William F. Duker, dalam “The President's Power to Pardon: A Constitutional History” (PDF, 1977), menjelaskan grasi berakar dari sistem hukum pada masa pemerintahan monarki Raja Ine dari Wessex (668-725 M) di Inggris. Dari Ine, grasi kemudian diterapkan pula oleh raja-raja berikutnya seperti Alfred (871-901), Ethelred (978-1016), hingga Knut yang Agung (1017-1035).
Pada dasarnya, grasi dianggap sebagai kekuatan yang dimiliki seorang raja, sesuai dengan hak ilahi mereka untuk memerintah. Grasi disamakan dengan hadiah dari raja yang tidak memerlukan pembenaran dan tidak bisa dikritik.
Grasi ditafsirkan berbeda-beda di tiap pemerintahan. Di masa rezim Ine, ambil contoh, grasi dibuat untuk menjaga reputasi raja dari perbuatan yang kurang ajar. Pendeknya, grasi merupakan penghapus dosa-dosa raja. Sementara pada masa Ethelstan (924-939), grasi—yang maknanya bisa diartikan sebagai belas kasih raja—diperluas untuk mereka yang mencuri maupun menyerang para pengembara di jalan. Lalu ketika Edgar berkuasa (959-975), grasi diterapkan juga kepada mereka yang membelot dari kedaulatan kerajaan.
Cakupan grasi bertambah luas tatkala putra William, Henry I (1100-1135), mengambil tampuk kekuasaan. Perluasan grasi, yang termaktub dalam Leges Henrici Primi (Kode Hukum Henry I), diberlakukan agar proses peradilan bisa berlangsung dengan cepat.
Tapi, di titik itulah, masalah mulai bermunculan. Kewenangan raja dalam memberi grasi seringkali dianggap tidak tepat sasaran dan penuh penyelewengan. Raja bisa membebaskan pelaku kejahatan serius, tapi justru bersikap seperti tanpa kuasa dengan orang-orang yang lemah.
Contoh terbaiknya terjadi dalam kasus Katherine Passcavant, anak kecil berusia empat tahun, pada 1249. Katherine dianggap bersalah karena membikin nyawa anak kecil lainnya hilang. Ia tidak sengaja mendorong korban ke belanga yang berisikan air panas. Katherine lalu ditahan di penjara St. Alban dan bersiap mendapatkan hukuman.
Dalam sistem hukum pada masa itu, pembunuhan merupakan pelanggaran pidana yang berat—dan grasi bisa dipastikan sulit berlaku. Hampir tidak ada celah bagi pelaku untuk bebas. Masalahnya, Katherine adalah golongan yang tak boleh dihukum karena usianya masih kecil. Agar ia dapat bebas, pengampunan dari raja jadi solusi ampuh dalam memutus hukuman. Sebetulnya ada jalan lain yakni dengan membayar biaya ganti rugi (reparasi/the act of making amends for a wrong) kepada kerabat korban.
Namun, tak jarang mereka gagal membayar lantaran miskin. Walhasil, orang-orang dari kelompok lemah ini dicap sebagai penjahat dan dipaksa untuk angkat kaki. Hal yang semestinya dapat dihindari ketika pengampunan dari raja mampu diterapkan dengan mempertimbangkan unsur keadilan.
Kasus Katherine sedikit-banyak membuka mata kelompok yang berpikiran progresif: pengampunan raja harus diawasi dengan seksama. Ia tak boleh diterapkan serampangan dan digunakan untuk menindas.
Tak sekadar berlaku di dalam negeri, konsep grasi nyatanya turut dibawa ketika Inggris memperluas teritorinya sampai Amerika pada masa penjajahan “Dunia Baru.” Hak pengampunan didelegasikan oleh raja kepada otoritas eksekutif di wilayah koloni dengan sedikit pembatasan.
Situasi berubah ketika Revolusi Amerika (1775-1783) meletus dan berhasil memukul mundur Inggris. Sesuai dengan semangat revolusi yang menampik perwakilan monarki, wilayah-wilayah bagian di AS menempatkan kekuasaan grasi di tangan legislatif beserta gubernur—atau di legislatif saja.
Meski begitu, transisi ini hanya berlangsung sebentar. Jonathan Menitove dalam “The Problematic Presidential Pardon: A Proposal for Reforming Federal Clemency” (PDF) menjelaskan kewenangan grasi diberikan kepada eksekutif pemerintahan—presiden—oleh para framers (konseptor negara) sewaktu menyusun rancangan konstitusi pada 1787.
Kekuasaan memberikan grasi diserahkan kepada presiden dilandasi argumen bahwa bila grasi tetap berada di parlemen, prosesnya bakal rumit dan lambat. Selain itu, presiden dipandang lebih bisa berhati-hati dan tidak kelewat memiliki bias politik, sesuatu yang susah dijumpai di parlemen. Kendati demikian, kewenangan grasi presiden tetap dibatasi. Misalnya, tak dapat diterapkan dalam perkara pemakzulan (impeachment).
Kekuatan grasi yang diberikan kepada presiden, seperti ditulis Richard Thompson dalam “The President’s Pardon Power and Legal Effects on Collateral Consequences” (PDF, 2016), memberinya kewenangan untuk ‘memaafkan’ orang yang dihukum. Wujudnya bisa berupa pengurangan maupun perubahan hukuman yang tidak dapat ditolak secara konstitusional.
Bagaimana Indonesia?
Walaupun tak memakai kaidah dari sistem anglo-saxon, peraturan hukum di Indonesia juga mengenal konsep grasi. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi.
Pemberian grasi menjadi hak prerogatif presiden, bersanding dengan hak istimewa lainnya seperti rehabilitasi (pemulihan hak seseorang), amnesti (penghapusan semua akibat hukum pidana bagi seseorang), serta abolisi (peniadaan tuntutan dalam proses peradilan pidana).
Grasi dapat diberikan dengan mempertimbangkan keadaan seperti berikut: terpidana sakit atau tidak mampu menjalani pidana, atau berkelakuan baik selama di penjara. Pemidanaan yang dapat dimohonkan grasinya adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht), yang terdiri dari tiga unsur: pidana mati, seumur hidup, serta penjara minimal dua tahun.
Setiap terpidana hanya diberi satu kesempatan untuk mengajukan grasi kepada presiden. Bila grasi disetujui, hukuman bagi terpidana bisa berkurang. Sementara ketika grasi ditolak, terpidana tetap harus menjalani hukumannya sesuai dengan putusan pengadilan yang incraht.
Memang, grasi menjadi kewenangan penuh presiden sebagai kepala negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, presiden tetap diharuskan berkoordinasi dengan lembaga negara lainnya seperti Mahkamah Agung (MA). Tujuannya: agar tercipta check and balance.
Dalam perkembangannya, Annas bukanlah terpidana pertama yang menerima grasi dari Jokowi. Pada 2017 lalu, misalnya, Jokowi memberi grasi kepada mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. Grasi tersebut, yang dituangkan dalam keputusan presiden (keppres), membuat masa hukuman Antasari berkurang sebanyak enam tahun.
“Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan dan berhasil, harus kita syukuri. Grasi ini memiliki makna buat saya, keluarga, dan bangsa Indonesia,” kata pria kelahiran 1953 ini.
Antasari ditahan sejak 2010, setelah dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Ia divonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 2016, Antasari bebas bersyarat, kendati ia masih diwajibkan melapor sekali dalam sebulan sampai 2020.
Dua tahun sebelumnya, 2015, Jokowi juga sempat memberikan grasi kepada Dwi Trisna Firmansyah, terpidana hukuman mati dalam kasus pembunuhan Agusni dan Dodi Haryanto di Pekanbaru, Riau pada 2012. Grasi dari Jokowi, lapor Tempo, membuat vonis mati tersebut hilang dan digantikan penjara seumur hidup.
Di tahun yang sama, grasi diberikan pula kepada lima tahanan politik dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pemberian grasi dilakukan Jokowi saat berkunjung ke Lapas Abepura, Papua pada Mei 2015. Grasi merupakan salah satu upaya pemerintah “dalam menyelesaikan konflik di Papua.”
Tak semua grasi yang masuk ke meja Jokowi disetujui. Laporan Institute for Criminal Justice Reform (PDF) menyebutkan grasi yang ditolak Jokowi sebagian besar berhubungan dengan kasus narkoba, yang melibatkan nama-nama seperti Mary Jane Veloso sampai Andrew Chan. Penolakan grasi tersebut sejalan dengan kebijakan perang melawan narkoba yang digaungkannya sejak menjabat pada 2014.
Pemberian grasi, sebagaimana ditulis Rachel Barkow, profesor hukum di New York University School of Law, dalam “The Politics of Forgiveness: Reconceptualizing Clemency” (PDF, 2016), bukanlah tugas yang mudah. Ongkos yang didapatkan, terlebih ketika grasi salah sasaran, sangatlah besar. Kepala pemerintahan bisa memperoleh tekanan politik yang kuat dari pihak lainnya, entah itu parlemen maupun oposisi.
Oleh sebab itu, pemberian grasi mesti dirumuskan secara matang. Tak sekadar memperhatikan posisi individu, yang menjadi pusat penentuan grasi, kebijakan ini juga harus melihat kondisi sosial-politik sekitar, atau dengan kata lain bagi masyarakat.
Dalam konteks grasi Annas, Jokowi rentan dianggap abai dengan syarat tersebut. Memberikan grasi kepada pelaku korupsi bisa jadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi dan—utamanya—komitmen pemberantasan korupsi itu sendiri.
Akan tetapi, gelagat semacam itu sejatinya telah tampak jelas sejak Jokowi diam saja dengan revisi UU KPK. Ia bahkan tak menyebut satu kata pun soal “korupsi” ketika berbicara mengenai rencana pemerintah dalam lima tahun ke depan sewaktu dilantik beberapa bulan lalu.
Editor: Eddward S Kennedy