tirto.id - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Teknologi (Kemdikbudristek) melalui Direktorat Pelindungan Kebudayaan menyelenggarakan Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) tahun 2024 mulai Senin (19/8) lalu di Jakarta.
Hasil sidang WBTbI dibacakan pada Kamis (22/8) di Holiday Inn and Suites, Jakarta, dengan melibatkan tim ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia, kepala dinas dari provinsi/kabupaten/kota seluruh Indonesia yang membidangi kebudayaan atau yang mewakili, serta perwakilan dari Balai Pelestarian Budaya.
Dalam penetapan sidang, Warisan Budaya Takbenda (WBTb) disampaikan dalam dua kategori, yaitu WBTb yang direkomendasikan dan ditangguhkan. Beberapa WBTb yang direkomendasikan di antaranya adalah Seumapa yang masuk dalam domain tradisi dan ekspresi lisan dari Aceh, Cingkreman yang masuk dalam domain adat istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan dari Bali, serta Kecapi Buhun yang masuk dalam domain keterampilan dan kemahiran tradisional dari Banten.
Berdasarkan laporan Ketua Tim Kerja Warisan Budaya, M. Natsir Ridwan, Direktorat Pelindungan Kebudayaan merekomendasikan 272 Warisan Budaya Takbenda dari 31 provinsi di Indonesia.
“Berdasarkan usulan per awal tahun 2024 itu, sebanyak 668 usulan. Hari ini direkomendasikan sebanyak 272,” terang Natsir.
Natsir menambahkan, 272 WBTb diperoleh berdasarkan tiga tahapan penilaian budaya yang diusulkan, meliputi tiga kali penilaian, verifikasi, dan sidang penetapan final.
“Itu akan dinilai dalam tiga kali tahapan penilaian: satu, dua, tiga. Kemudian, ada verifikasi juga setelah penilaian satu. Setelah itu, sidang, yang sekarang, ini tahapan di dalam adalah proses dari penetapan WBTb,” tambahnya.
Ketua Tim Ahli WBTb 2023-2025, G. R. Lono Lastoro Simatupang turut menambahkan bahwa penilaian dalam penetapan rekomendasi WBTb dipandang sebagai produk hukum.
“Untuk penetapan ini, ini adalah sebuah produk hukum sehingga yang diutamakan adalah perkara informasinya, tidak cukup hanya dengan karya budayanya ini. Tetapi, dokumentasi dan informasi yang disampaikan itu seberapa reliable, seberapa itu sesuai dengan lapangan, dan seterusnya,” jelas Lono.
Lono menegaskan bahwa kriteria penilaian rekomendasi utamanya dinilai dari pemeriksaan dan evaluasi naskah-naskah yang diajukan.
“Kalau itu ditangguhkan, bukan berarti itu belum baik. Bukan begitu, tetapi bahwa dokumen yang diajukan itu belum cukup reliable untuk bisa diusulkan, ditetapkan, oleh menteri,” paparnya.
Lono menyebut naskah-naskah yang telah diajukan sebagai WBTb, tetapi ditangguhkan, dapat diajukan kembali ke depannya dengan kelengkapan yang lebih matang. Dengan catatan tersebut, Lono menyampaikan bahwa pengajuan WBTb yang ditangguhkan ini berpotensi untuk direkomendasikan ke depannya.
“Tahun-tahun depan kalau itu diperbaiki, itu masih bisa diajukan lagi untuk ditetapkan,” imbuh Lono.
Selanjutnya, selaku Tim Ahli WBTb, Lono berharap penetapan WBTb tidak akan berhenti pada verifikasi dari sidang penetapan saja. Ia mengimbau WBTb yang telah direkomendasikan untuk ditindaklanjuti pengembangannya.
“Harapannya, sebetulnya bahwa itu tidak hanya untuk ditetapkan, tetapi untuk ditindaklanjuti dengan pemanfaatan dan juga pengembangan. Jadi, tidak cukup dengan sertifikasi, tapi kemudian yang ditetapkan ini memperoleh suatu perlakuan-perlakuan khusus. Apa gunanya ditetapkan kalau tidak memperoleh perlakuan khusus? Jadi, dalam pengertian seperti itu, penetapan ini merupakan langkah awal bagi tindak lanjut untuk pengembangannya," tutupnya.
Editor: Nuran Wibisono