tirto.id - Sidang perdana atas gugatan Surat Keputusan (SK) Rektor Univesitas Sumatera Utara (USU) Nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019 tentang pemecatan 18 Anggota Pers Mahasiswa Suara USU akan dilaksanakan pada 14 Agustus mendatang.
Sidang akan berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sumatera Utara dengan agenda sidang pembacaan berkas.
Informasi tersebut diperoleh wartawan Tirto dari Yael Stefani Sinaga, Pemimpin Umum Suara USU.
Yael mengatakan, sejak keluarnya SK Rektor tersebut pada 25 Maret silam, Suara USU terus melakukan upaya agar SK tersebut dicabut. Tetapi tidak membuahkan hasil, hingga Suara USU menempuh jalur hukum.
Pada 5 Juli lalu, Yael Stefani dan Pemimpin Redaksi SUARA USU Widya Hastuti bersama Perhimpunan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) mengajukan gugatan ke PTUN.
Pengajuan gugatan ini ditempuh sebagai jalan akhir mengembalikan SK kepengurusan Suara USU 2019.
"Usai pengajuan gugatan, Suara USU beberapa kali mengalami intimidasi. Seperti Pemred Suara USU ditelepon oleh Kepala Jurusan Ilmu Sejarah dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang meminta orang tua pemimpin redaksi Suara USU untuk hadir ke USU. Juga Dosen yang meminta Pemred Suara USU menarik gugatan dengan alasan membahayakan suku Gayo yang ada di USU," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (6/8/2019) malam.
Yael melanjutkan, pada 22 Juni lalu, Rektorat juga membongkar sekretariat Pers Mahasiswa Suara USU dengan alasan akan direnovasi. Pembongkaran dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. pada pintu Suara USU ditempel tulisan "Dilarang masuk gedung ini sedang renovasi, pasal 551."
"Meski tidak seluruh ruangan berhasil dibongkar, namun sebagian besar atap telah pecah hingga tidak dapat digunakan ketika hujan," katanya.
Yael menilai, seluruh tindakan rektorat pada Suara USU merupakan pelanggaran hak-hak anggota Suara USU sebagai mahasiswa dan pers mahasiswa
"Pertama, kebebasan pers, Suara USU adalah pers mahasiswa yang melakukan kerja-kerja pers yang harusnya diberikan kebebasan dalam menyampaikan informasi, pembongkaran terhadap ruang redaksi telah membatasi kebebasan pers Suara USU," katanya.
"Kedua, kebebasan berpendapat dan berekspresi, Rektor USU tidak memberi ruang bagi anggota Suara USU untuk menyampaikan pendapatnya mengenai suatu hal di kampus dalam kasus ini pendapat tentang tindakan tidak diskriminasi terhadap kelompok minoritas LGBT," lanjutnya.
Ketiga, kata Yael, adalah kebebasan berkumpul dan berserikat. Sekretariat Suara USU adalah tempat anggota Suara USU berkumpul dan membentuk organisasi. Pembongkarab terhadap sekretariat, kata Yael, berarti membubarkan orang-orang dan organisasi yang ada di dalamnya.
"Ditambah dengan tidak menghargai hak asasi manusia bagi minoritas LGBT. Rektorat tidak memberikan ruang bagi mereka yang ingin menyampaikan pendapat mengenai setuju atau tidak setuju terhadap LGBT," katanya.
"Kami akan terus mempertahankan sekretariat dan melawan kebijakan rektor USU yang membunuh kreativitas anggota Pers Mahasiswa Suara USU. Kami akan perjuangkan hingga SK kami kembali melalui PTUN," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dhita Koesno