tirto.id - Di masa keruntuhan Imperialisme Inggris Raya, banyak wilayah koloninya meraih kemerdekaan. Negara-negara baru itu muncul lewat berbagai cara, ada yang bermula dari pemberontakan, perundingan, maupun sebagai akibat dari tekanan politik internasional. Satu aspek lagi yang agaknya sering terlewat dibicarakan adalah tekanan dari gerakan komunisme internasional.
Dalam berbagai kesempatan, para pejabat kolonial Inggris mengeluhkan gerakan komunisme sebagai biang kerok instabilitas di koloni. Partai Konservatif bahkan sampai mengeluhkan masalah itu di parlemen Inggris. Media cetak seperti Daily Express dan The Telegraph juga terang-terangan menunjuk gerakan komunisme sebagai pengganggu hegemoni politik Inggris Raya.
Di awal abad ke-20, imperialisme memang kerap menjadi target perlawanan para komunis. Pendiri Uni Soviet Vladimir Lenin bahkan menegaskan imperialisme sebagai lawan utama komunisme. Baginya, imperialisme adalah praktik eksploitasi kelas penguasa terhadap rakyat negeri jajahan.
Hingga 1948, gerakan komunisme internasional mendapat angin segar dengan terbentuknya negara-negara berhaluan kiri, seperti Jerman Timur, Polandia, Rumania, Bulgaria, Hungaria, dan lain-lain. Di waktu bersamaan, beberapa koloni Inggris di Asia menganggap hal itu sebagai momentum untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan.
Meski begitu, mayoritas pemimpin gerakan nasional di Asia sebenarnya tidak terlalu terpengaruh komunisme. Bagi mereka, komunisme adalah satu dari sekian ideologi yang turut bergerak dalam konstelasi politik tanah koloni. Setidaknya, kondisi ini membuat komunisme bisa berkembang dengan cukup progresif di beberapa negara kolonial, seperti Malaya, Cina, Filipina, Vietnam, dan Indonesia.
Di kawasan Asia Tenggara, Uni Soviet amat tertarik pada Malaya. Alasannya: kekayaan alam Malaya—berupa karet dan timah—punya nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pada dekade 1940-an hingga 1950-an, Malaya menyumbang hampir sepertiga dari jumlah produksi karet dan timah global. Secara finansial, Malaya menjadi koloni Inggris yang paling menguntungkan.
Meski begitu, setelah Perang Dunia II, pemerintah Inggris memfokuskan kekuatannya untuk membangun kembali negaranya sehingga beberapa wilayah koloni tidak lagi menjadi prioritas. Pada periode inilah gerakan kemerdekaan Malaya bangkit.
Selang beberapa bulan setelah Perang Dunia II berakhir, aktivis-sktivis kemerdekaan Malaya mulai aktif membentuk partai politik. Parti Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM), misalnya, dibentuk pada 17 Oktober 1945. Kemudian, disusul berdirinya Malayan Democratic Union pada Desember dan Pan-Malayan Federation Trade Union pada Februari 1946.
Secara umum, tujuan pembentukan partai-partai itu adalah untuk menyatukan masyarakat dalam wadah politik dan memupuk kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Kemunculan partai-partai itu mendulang tanggapan berbeda dari masyarakat Melaya. Sebagian tentu saja mendukung penuh, tapi tidak sedikit juga kelompok masyarakat yang menganggap gerakan politik itu justru mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Respons semacam itu adalah hal wajar mengingat armada militer Inggris masih cukup kuat di wilayah itu.
Gerakan Komunis Malaya
Gerakan komunisme di Semenanjung Melayu yang utama diinisiasi oleh Malayan Communist Party (MCP) yang berdiri pada 1930. Sebagai partai progresif, MCP tentu turut dalam arus perjuangan kemerdekaan Malaya.
Sejak awal kelahirannya, mayoritas anggota MCP adalah imigran dari Tionghoa yang sangat miskin. Meski begitu, mereka mendapat dukungan dari Cina, Vietnam, dan negara-negara Komunis lainnya.
Pada dekade 1940-an, pemerintah kolonial Inggris menganggap kelompok komunis bisa sangat berguna secara politik. Pasalnya, kaum komunis adalah lawan politik dari kaum fasis. Di masa perang, mereka turut bergerak mengusir fasis Jepang yang menduduki Tanah Malaya. Namun, segera setelah perang berakhir, kaum komunis Malaya mengarahkan kekuatannya untuk menjungkalkan kolonialisme Inggris.
Selain kaum imperialis, kaum komunis juga punya sasaran lain, yakni para sultan Malaya. Karenanya, gerakan komunis Malaya segera menjadi musuh bersama bagi imperialis Inggris dan kaum feodal Malaya. Sejak 1948, kolinialis Inggris memberlakukan darurat politik di seluruh Tanah Malaya yang disebut Malaya Emergency. Di masa ini, MCP membentuk Malayan National Liberation Army (MNLA) dan melancarkan perang gerilya terhadap Inggris.
Strategi gerilya MNLA cukup radikal. Mereka bersembunyi di hutan-hutan dan menyerang para pekerja penyadap karet dan penambang timah agar Inggris tidak bisa mengambil keuntungan.
Untuk menghentikan perang ini, kolonialis Inggris mengajukan model konstitusi baru yang mengakui status kependudukan para imigran Tionghoa yang jumlahnya semakin banyak. Perdana Menteri Inggris Clement Attlee juga turun tangan dengan mengirimkan Sir Edward Gent ke Malaya untuk menjadi perwakilan khususnya.
Namun, konsep yang kemudian disebut sebagai Malayan Union itu dengan tegas ditolak oleh para sultan Malaya. Kesetaraan status yang diberikan Inggris kepada imigran Cina itu dianggap akan membahayakan posisi orang-orang Melayu.
“Komunitas Cina yang industrialis dan jumlahnya yang mencapai lebih dari sepertiga populasi, ditambah lagi dengan dominasi mereka di sektor-sektor komersial dan intelektual, telah sejak lama mengganggu orang-orang Melayu,” tulis Brian Lapping dalam bukunya End of Empire (1985, hlm. 215).
Perselisihan antara komunitas Melayu dan Tionghoa itu sebenarnya sudah terlihat pada dua tahun sebelum pemberlakuan Malayan Emergency. Kelompok masyarakat Melayu yang merasa terdesak oleh keberadaan imigran Tionghoa mendirikan UMNO dengan dukungan para sultan.
UMNO kemudian menjadi kekuatan politik utama orang-orang Melayu. Putra angkat Sultan Johor Dato Onn bin Jaafar yang terpilih menjadi pemimpin pertama UMNO. Uniknya, berbeda dengan kelompok Komunis, UMNO tidak menuntut kemerdekaan dari Inggris. Menurut Onn, jika mereka merdeka sekarang, segala urusan ekonomi dan sektor-sektor penting di Malaya akan didominasi oleh orang-orang Tionghoa.
Dari Perselisihan hingga Aliansi
Sebagai solusi atas kebuntuan konsep Malayan Union, kolinialis Inggris membentuk Federasi Malaya. Dalam konsep kenegaraan baru ini, kedaulatan para sultan Malaya tetap diakui. Federasi Malaya memiliki agenda besar mempersiapkan rancangan pembangunan dan pemerintahan independen.
Onn mendukung langkah ini dan bersikap lebih moderat terhadap etnis minoritas. Onn kemudian mendeklarasikan UMNO sebagai partai politik yang merangkul komunitas Tionghoa dan India. Namun, mayoritas anggota UMNO justru menolak langkah Onn itu. Di antara para penentang Onn itu kemudian muncul jargon politik “Malaya for the Malays”.
Penolakan itu berujung pada mundurnya Onn sebagai pemimpin UMNO pada 1951. Untuk menjaga agar UMNO tidak terpecah, para anggota kemudian menunjuk pemimpin baru, yakni Tunku Abdul Rahman—anak kandung Sultan Kedah.
Meski begitu, perselisihan antaretnis terus berlanjut dan Abdul Rahman segera saja dihadapkan pada masalah perselisihan rasial. Pidato pertamanya sebagai Presiden UMNO bahkan langsung menimbulkan kontroversi.
“Dalam pidato pertamanya, Tunku bertanya siapakah orang Melayu? Meski ia bermaksud menunjukkan perbedaan mereka dengan orang-orang Inggris, pertanyaan itu justru menimbulkan perdebatan soal perubahan sosial yang akan dihadapi jika Malaya merdeka,” tulis T.N. Harper dalam bukunya The End of Empire and the Making of Malaya (1999, hlm. 361).
Abdul Rahman tidak punya pilihan selain menerima aspirasi mayoritas anggota partainya: Malaya for the Malays. Meski begitu, seperti pendahulunya, Abdul Rahman sebenarnya juga menyadari bahwa Malaya merdeka harus dibangun sebagai negeri multirasial.
Karenanya, Abdul Rahman mendukung pembentukan aliansi antara UMNO cabang Selangor dan Malayan Chinese Association (MCA). Aliansi itu kemudian maju dalam pemilihan umum lokal pada 1952.
Dukungan Abdul Rahman atas aliansi itu sebenarnya juga dilambari tujuan pragmatis. Sebagai politikus, dia tahu betul dukungan itu dapat memperbesar popularitasnya di mata masyarakat. Jadi, semakin banyak kelompok yang mendukungnya, tentu semakin baik.
Aliansi antara UMNO dan MCA juga terjadi di beberapa wilayah lain, seperti Johor Bahru, Muar, Batu Pahat, Trengganu, Johor, dan Malaka. Pada pemilihan umum legislatif 1955, Abdul Rahman akhirnya dapat merangkul pemimpin MCA Tan Chen Lok dan membuat kesepakatan politik yang penting: mengajukan 52 kursi parlemen yang terdiri dari 35 Melayu, 15 Tionghoa, dan 2 India.
Untuk mencapai tujuannya itu, Abdul Rahman bahkan berani berkampanye mengajak rakyat untuk mendukung para calon dari MCA.
Kemerdekaan Malaya
Dalam pemilihan umum yang digelar pada 1 Agustus 1955 itu Tunku Abdul Rahman akhirnya terpilih menjadi Chief Minister.
Kepada pemerintahan Abdul Rahman yang baru terbentuk itu, pemimpin MCP Chin Peng menyatakan akan menarik mundur pasukan gerilyanya jika kelompok komunis juga mendapatkan hak politik yang setara di Malaya. Tuntutan itu jelas tidak bisa dipenuhi oleh Abdul Rahman. Tak hanya itu, Abdul Rahman juga menyatakan tidak bisa bekerja sama dengan kelompok komunis.
Penolakan itu rupanya berhasil meyakinkan pihak Inggris bahwa Abdul Rahman dapat diandalkan untuk memerangi komunisme di Malaya. Kepercayaan Inggris itu berdasarkan tiga faktor utama. Pertama, dia jelas antikomunis. Kedua, dia bisa menjadi pemersatu berbagai kelompok rasial di Malaya. Ketiga, dia bisa diandalkan untuk mengamankan kepentingan para pemodal yang telah menanamkan investasi di Malaya.
Dukungan Inggris itu membuat Abdul Rahman sedikit lebih leluasa dalam merancang peta jalan kemerdekaan Malaya. Sejak saat itu pun, perhatian masyarakat Malaya tak lagi tertuju pada upaya mengusir kolonialis Inggris, melainkan pada upaya melindungi keistimewaan status ras Melayu.
Dengan dukungan Inggris, Abdul Rahman ikut menyusun konstitusi Malaya merdeka. Dengan hak istimewa bagi orang Melayu, mereka menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan agama Islam sebagai agama resmi negara.
Pada Januari 1956, Tunku Abdul Rahman memimpin delegasi Malaya untuk mendorong Inggris memberikan kemerdekaan paling lambat pada 1957. Lewat misi yang disebut Misi Merdeka ini, proses menuju kemerdekaan Malaya berjalan lancar. Perlawanan kelompok komunis pun perlahan-lahan berhasil diredam.
Keberhasilan meredam gerakan komunisme ini menjadi modal besar bagi Tunku Abdul Rahman untuk mendesak Inggris dan mempercepat proses ratifikasi pakta kemerdekaan Malaya.
Pada 31 Juli 1957, parlemen Inggris sepakat memberikan kedaulatan penuh dan status negara merdeka pada Malaya. Sebulan kemudian, pada pagi hari tanggal 31 Agustus 1957—tepat hari ini 64 tahun silam, tidak kurang dari 20 ribu orang berkumpul di Stadion Merdeka. Di hadapan Duke of Gloucester dan Donald MacGillivray yang mewakili Kerajaan Inggris, rakyat Malaya menegaskan kemerdekaannya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi