tirto.id - Jelang Pemilu 2019, WhatsApp, aplikasi pesan instan yang dimiliki Facebook, menyediakan saluran khusus yang bisa digunakan para penggunanya untuk melaporkan hoaks yang menyebar melalui platformnya. Bekerjasama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan ICT Watch, saluran yang bisa dipakai adalah nomor pengaduan di +62 855-7467-6701.
Dalam keterangan pers-nya, WhatsApp menyebutkan mereka "peduli terhadap keamanan pemilihan umum di Indonesia". Dengan membuka saluran khusus pengaduan hoaks, WhatsApp ingin "mendorong para pengguna untuk berpartisipasi dalam upaya menanggulangi hoaks".
Upaya WhatsApp menanggulangi hoaks tak terjadi kali ini saja. Pertengahan Maret lalu misalnya, sebagaimana dilansir The Verge, WhatsApp sedang mengujicoba fitur in-app web browser dan reverse image search.
In-app web browser merupakan fitur web browser yang langsung terintegrasi pada aplikasi WhatsApp. Nantinya, pengguna bisa melakukan penjelajahan internet langsung, mencari tahu kebenaran suatu informasi lebih lanjut di internet.
Sementara itu, reverse image search merupakan fitur yang berguna untuk mencari asal-usul suatu gambar atau foto yang dikirim via WhatsApp di internet. Misalnya, apakah gambar atau foto itu hoaks atau bukan.
Lebih jauh ke belakang, upaya memberantas hoaks dilakukan WhatsApp dengan melakukan pembatasan forward atau pesan yang bisa diteruskan melalui aplikasinya, hanya sebanyak lima kali. Namun, melansir CNN, misalnya, karena tiap grup di WhatsApp bisa menampung sekitar 256 orang, kabar bohong yang menyebar melalui grup-grup di layanan ini bisa diterima hingga 1.280 orang. Ini menjadikan WhatsApp, sebagaimana diungkap Gilles Verniers, profesor dari Ashoka University adalah sebagai "megaphone".
Begitu gencarnya WhatsApp melakukan upaya-upaya memerangi hoaks terjadi karena aplikasi ini sukses dijadikan alat propaganda yang efektif dan efisien untuk penyebaran hoaks.
Pada laporan Quartz, misalnya, WhatsApp jadi alat propaganda Tanzania menjelang Pemilu. Mantan Wakil Menteri Komunikasi, Sains, dan Teknologi Tanzania mengatakan WhatsApp merupakan “platform yang sangat mudah digunakan untuk menyebarkan propaganda.” Atas keberadaan unsur privasi, sangat sulit melacak siapa orang-orang yang bertanggung jawab.
“Sangat sulit mengetahui apakah kelompok-kelompok ini ada tanpa bergabung (di grup pesan instan mereka) dan disetujui oleh mereka, ini menjadikan sulit untuk memperoleh informasi (tentang mereka). Juga ada masalah dengan jejak digital ketika mereka menggunakan aplikasi pesan instan komersial yang mengaktifkan enkripsi ujung ke ujung, hal demikian membuat sulit menyarikan percakapan,” kata Matt Birgess, jurnalis teknologi Wired.
Di Brazil, penyebaran propaganda dan hoaks via WhatsApp diyakini membantu kemenangan Bolsonaro, politisi asal Rio de Janeiro, yang diusung aliansi "Brazil di Atas Segalanya, Tuhan di Atas Semua Orang".
Bolsonaro sukses meraup suara terbanyak, 55,13 persen dari total perolehan suara. Mengalahkan Fernando Haddad. Salah satu alasannya, menurut laporan Vox, WhatsApp digunakan oleh para pendukung Bolsonaro untuk memojokkan Haddad. Padahal, pihak WhatsApp sendiri telah menonaktifkan sekitar 100 ribu akun di Brazil yang diketahui menyebarkan hoaks.
Dalam kasus Bolsonaro, sebagaimana dilansir The Guardian, ada tiga segmen penyebaran hoaks yang sukses memenangkan politisi yang dijuluki Donald Trump-nya Brazil itu. Ketiga segmen tersebut ialah “Ordinary Brazilians”, “Bolsominions”, dan “Influencers”.
Ordinary Brazilians dan Bolsominions merupakan para pendukung Bolsonaro, sementara influencers, yang jumlahnya lebih kecil, merupakan pihak-pihak yang aktif menyebarkan hoaks, menggembosi opini para pemilih yang belum menentukan pilihan jelang Pemilu.
Peran WhatsApp sebagai medium penyebaran hoaks terjadi, salah satunya, karena platform ini populer di banyak negara. Adi Putra Wardhana, dalam “Pseudi-Identity: Lifestyle’s Ecstasy Society in Whatsappization” paper yang terbit dalam “Borderless Communities & Nations with Borders Challenges of Globalisation”, menyebutkan populernya WhatsApp tercipta atas empat faktor: efisien, komunikatif, manipulatif, dan tanpa batas.
Efisien karena WhatsApp mudah dan murah. Komunikatif dan manipulatif karena WhatsApp dianggap memberikan jembatan komunikasi yang mudah bagi para penggunanya serta aplikasi ini memiliki banyak fitur yang memicu kesenangan para pengguna.
Salah satu fitur utama WhatsApp ialah grup. Menggunakan WhatsApp, masyarakat bisa menciptakan grup yang mencakup orang-orang dengan pemikiran atau latar belakang yang sama. Siapapun pengguna WhatsApp bisa mengirim pesan ke manapun, tanpa ada halangan.
Pada laporan “Hoax Distribution Through Digital Platforms in Indonesia 2018” di Daily Social berisi survei yang dilakukan pada 2.032 orang di Indonesia, menyebut bahwa WhatsApp digunakan 72,93 persen responden untuk memperoleh informasi. Jumlah tersebut menempatkan WhatsApp di urutan ke-2 untuk mendapatkan informasi. Sayangnya, beberapa informasi yang disebarkan merupakan kabar bohong, dan bisa memengaruhi opini para penerimanya.
Dengan besarnya jumlah pengguna dan cukup tertutupnya layanan ini, sukar membendung hoaks di WhatsApp, meski dengan segala taktik yang sudah dikeluarkan WhatsApp, termasuk nomor pengaduan.
Editor: Suhendra