tirto.id - Pemerintah Indonesia akan memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen paling lambat mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Rencana kenaikan tarif PPN tersebut sudah tercantum di dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP pasal 7 ayat 1.
Dengan kenaikan PPN, pemerintah menargetkan untuk meningkatkan pendapatan negara sebesar 6,4 persen pada tahun depan, yakni menjadi Rp2.996,9 triliun. Dari jumlah itu, Rp2.490,9 triliun di antaranya berasal dari penerimaan pajak.
Sekadar informasi, PPN merupakan salah satu pajak yang wajib kita bayarkan saat melakukan transaksi jual beli yang termasuk dalam objek BKP (Barang Kena Pajak) atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Berdasarkan pengertiannya, PPN termasuk jenis pajak konsumsi atau Value-Added Tax (VAT) atau Good and Service Tax (GST) yang merupakan jenis pajak tidak langsung.
Artinya, PPN disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau penanggung pajak (konsumen) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Saat ini, besar tarif PPN di Indonesia adalah 11 persen yang berlaku sejak 1 April 2022 lalu. Perubahan tarif PPN menjadi 12 persen diprediksi akan berdampak langsung pada daya beli dan taraf ekonomi masyarakat Indonesia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengingatkan agar pemerintah berhati-hati membuat regulasi terkait kenaikan pajak, agar tidak menurunkan daya beli masyarakat.
"Untuk menaikkan tax ratio kita salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak, walaupun masih ada cara lain. Namun, pemerintah juga harus hati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini malah menggerus daya beli," ujar Agus, dikutip Antara News.
Siapa yang Mengusulkan Kenaikan PPN 12 Persen?
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, keputusan untuk menaikkan tarif PPN sebesar 12 persen pada 2025 diambil melalui banyak pertimbangan berat dan bukan tanpa alasan oleh pemerintah.
Pertama, kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara, PPN memegang peranan penting dalam mendanai berbagai program pemerintah.
Hal ini diperburuk dengan pandemi COVID-19 yang memperburuk kondisi fiskal dan kenaikan PPN ini sebagai upaya memperbaiki anggaran pemerintah.
Kedua, kenaikan PPN juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Indonesia masih bergantung pada utang untuk menutupi defisit anggaran. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah berupaya untuk mengurangi penggunaan utang dan menjaga stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang.
Ketiga, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini juga dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan standar internasional. Saat ini, tarif PPN Indonesia yang berada di angka 11 persen yang kemudian akan naik mencapai 12 persen, masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa rata-rata PPN seluruh dunia, termasuk negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), memiliki tarif PPN sebesar 15 persen.
Siapa yang Mengesahkan PPN 12 Persen 2025?
Pemerintah bersama DPR RI sepakan untuk mengesahkan RUU HPP menjadi UU pada Kamis, 7 Oktober 2021 pada Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022.
Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Muhaimin Iskandar mengesahkan perubahan RUU menjadi UU di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
"Kepada seluruh anggota dewan, apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?," tanya Muhaimin Iskandar dalam Sidang Paripurna, disambut ucapan setuju para anggota DPR.
Sebanyak delapan fraksi di DPR RI menyatakan persetujuan pengesahan pada UU HPP, yaitu fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Sementara itu, fraksi PKS menolak pengesahan RUU HPP seperti yang sudah terjadi di tingkat komisi sebelumnya.
Adapun sistematika UU HPP terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. UU ini telah mengubah beberapa ketentuan di UU lainnya, di antaranya UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU PPN, UU Cukai, UU 2/2020, dan UU 11/2020 cipta kerja.
Pertimbangan penolakan PKS adalah karena tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi nasional.
PKS juga menolak kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, pelayanan sosial dan layanan keagamaan kena pajak meski saat ini tarif PPN masih 0 persen namun dengan barang kena pajak berpotensi dikenakan pajak.
Di lain sisi Gerindra menilai program tax amnesty akan memfasilitasi wajib pajak untuk patuh dan terintegrasi di sistem perpajakan sehingga program ini dapat meningkatkan kepatuhan dan suka rela yang berdampak signifikan terhadap penerimaan perpajakan.
Setali tiga uang, PDIP meminta pemerintah untuk memperhatikan aspirasi kelompok menengah bawah dan pelaku UMKM dengan tetap berkomitmen kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dibebaskan dari pengenaan PPN.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi struktural di bidang perpajakan dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Maju.
Menurutnya, pandemi COVID-19 justru memberikan momentum dan sudut pandang baru dalam menata ulang serta membangun fondasi baru perekonomian termasuk menata ulang sistem perpajakan agar lebih kuat.
Reformasi perpajakan diselaraskan dengan langkah pemerintah dalam mempercepat proses pemulihan ekonomi dan meningkatkan kualitas kebijakan fiskal sebagai instrumen kebijakan mendukung pembangunan nasional.
“Reformasi perpajakan bertujuan untuk meningkatkan tax ratio dan kepatuhan pajak agar menjadi lebih baik,” katanya.
Penulis: Wisnu Amri Hidayat
Editor: Dipna Videlia Putsanra