Menuju konten utama

Mengenal Kearifan Lokal Jawa Tengah Beserta Contohnya

Mengenal kearifan lokal di Provinsi Jaw Tengah beserta contoh-contohnya. 

Mengenal Kearifan Lokal Jawa Tengah Beserta Contohnya
Sejumlah warga mengikuti tradisi malam satu Suro di kompleks sendang Sidhukun Desa Traji, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.

tirto.id - Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya bangsa yang membentuk jati diri bangsa tersebut.

Kearifan lokal juga merupakan wujud dari nilai budaya masyarakat lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pasca jatuhnya rezim Presiden Soeharto pada tahun 1998, Indonesia mulai menumbuhkan kesadaran dan kearifan lokal.

Selain itu, kearifan lokal juga dapat dipahami sebagai kemampuan beradaptasi, menata, menumbuhkan pengaruh alam, serta budaya lain yang menjadi medan penggerak transformasi.

Kearifan lokal dijadikan pula sebagai motor penggerak dari penciptaan keanekaragaman budaya Indonesia yang luar biasa.

Kearifan lokal dapat menjadi representasi dari bentuk pengetahuan, kepercayaan, pemahaman, atau persepsi beserta kebiasaan yang menjadi pedoman perilaku manusia dalam kehidupan ekologis dan sistemik.

Jelas bahwa nilai-nilai yang tertanam pada suatu budaya bukan objek material yang konkret, tapi cenderung menjadi semacam pedoman bagi perilaku manusia. Sehingga, dalam keadaan normal, perilaku seseorang terungkap melalui batas-batas norma, etiket, dan hukum yang terkait dengan wilayah tertentu.

Akan tetapi, dalam situasi tertentu budaya memiliki potensi untuk menghadapi tantangan dari dalam atau dari luar kepribadian bangsa.

Tanggapan dan tantangan tersebut adalah cara normal untuk melihat bagaimana perubahan terjadi dalam budaya.

Dinamika perubahan struktur, nilai sosial, tata krama, norma, dan hukum setempat akan menyesuaikan dengan kebutuhan situasi sosial.

Tantangan dalam suatu budaya dapat terjadi karena umpan balik yang terjadi dalam jaringan kehidupan suatu sistem sosial.

Setiap daerah di Indonesia memiliki budaya lokalnya masing-masing, tak terkecuali Jawa tengah. Berikut ini beberapa contoh kearifan lokal Jawa Tengah.

1. Jumat Kliwonan

Menurut jurnalSabda berjudul Tradisi Jumat Kliwonan sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah milik Bagus Wiranto (2018), Jumat Kliwonan merupakan hari istimewa yang ada pada sistem penanggalan Jawa. Dalam tradisi Jawa.

Jumat Kliwonan dikenal dengan konsep lukat dengan arti dihapuskan, dibatalkan, dilepaskan, dibersihkan, disucikan dari segala marabahaya sehingga memperoleh keselamatan.

Masyarakat nelayan Kabupaten Cilacap merupakan contoh kelompok masyarakat pesisir yang masih memegang teguh tradisi leluhur yang diwariskan, dan masih diwariskan hingga saat ini.

Dalam tradisi Jumat Kliwonan ini juga terdapat beberapa ritual dan larangan yang harus dipatuhi oleh seluruh nelayan Kabupaten Cilacap. Aturan-aturan yang terbentuk secara bersamaan, dengan kesadaran yang tinggi ternyata berdampak terhadap kehidupan dan pola hidup nelayan Kabupaten Cilacap.

Hari Jumat Kliwon tidak diartikan sebagai hari untuk berhenti dari segala kegiatan secara keseluruhan, tetapi mengganti kegiatan utama dengan kegiatan tambahan yang bernialai sosial dan religi yang pada dasarnya tidak bisa dinilai dengan materi semata.

Dari tradisi Jumat Kliwonan ini masyarakat nelayan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya didorong untuk dapat lebih mengingat Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh alam, dan isinya dan dapat mengambil hikmah bahwa tidak selamanya manusia mengejar duniawi semata. Tetapi, juga harus memperhatikan kehidupan setelahnya.

2. Tradisi Sadranan

Dilansir dari laman resmi Institut Agama Islam Negeri Surakarta, masyarakat Jawa Tengah juga menyebut tradisi sadranan sebagai ruwuhan. Tradisi ini dilakukan pada bulan Sya’ban.

Bulan Sya’ban dirayakan tiap menjelang Ramadhan. Masyarakat akan mengirim doa kepada para leluhur yang telah meninggal agar dosa-dosanya diampuni, diterima amal baiknya, dan mendapat di sisi-Nya.

Dengan begitu, tradisi sadranan merupakan simbol hubungan dengan para leluhur, sesama, dan sang Maha Kuasa. Dalam tradisi sadranan, terdapat percampuran dari budaya lokal dan nilai-nilai Islam.

Sadranan merupakan tradisi Hindu-Budha yang tumbuh dan berkembang semenjak sekitar abad 15. Kemudian, dalam perjalanannya sadranan mengalami akulturasi dengan budaya Islam.

Perubahan tersebut terlihat dari tradisi sadranan yang dahulu identik dengan dengan pemujaan roh, lalu diluruskan penataan tujuannya menjadi kepada yang Maha Esa oleh para ulama wali songo.

Tradisi sadranan dimulai dengan ritual membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan. Kemudian, ketiga makanan tersebut dijadikan adonan.

Lalu, adonan itu dimasukkan ke dalam takir. Takir adalah tempat makanan yang terbuat dari daun pisang, di sebelah kanan dan kirinya akan ditusuki lidi.

Kue-kue tersebut akan dibagikan kepada sanak saudara, dan menjadi ubarampe atau pelengkap kenduri.

Kenduri diawali dengan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Dialnjurkan dengan, shalawat. Setelah itu, masyarakat secara bersama-sama akan membaca tahlil untuk para leluhur, dan ahli kubur.

Pembacaan tahlil biasanya dipimpin oleh ulama desa. Pada kearifan lokal tradisi sadranan, terdapat nilai-nilai social yang diwariskan. Nilai-nilai tersebut yakni, gotong-royong, guyub, pengorbanan, dan ekonomi.

3. Upacara Tingkeban

Menurut bacaan dari laman resmi Perpustakaan Provinsi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, upacara tingkeban disebut juga dengan mitoni.

Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Maka itu, upacara mitoni diselenggarakan setiap kandungan seorang ibu sudah berusia tujuh bulan.

Upacara ini memiliki makna bahwa pendidikan seorang anak tidak hanya dimulai saat anak sudah beranjak dewasa, tapi juga saat anak masih ada di dalam kandungan ibu pada usia ke-7 bulan.

Pendidikan tersebut yaitu, agar seorang ibu dapat menjaga kandungannya dengan melakukan hal-hal baik, dan menjauhi hal-hal buruk.

Upacara ini dijalankan dengan, memandikan air kembang kepada sang ibu disertai dengan doa-doa sakral.

Doa tersebut bertujuan agar bayi yang ada di dalam kandungan sang ibu dapat lahir dengan selamat.

Biasanya siraman dilakukan oleh para sesepuh atau orang yang dituakan. Jumlah sesepuhnya ada tujuh orang.

4. Upacara Tedak Siten

Upacara Tedak Siten, juga dikenal dengan upacara turun tanah. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dari orang tua terhadap kelahiran anaknya.

Upacara ini diselenggarakan saat anak berusia 7 x 35 hari. Upacar ini ingin memperkenalkan anak untuk pertama kalinya turun ke bumi.

Biasanya upacara Tedak Siten dilangsungkan pada pagi hari, sesuai hari dan tanggal kelahiran anak.

Beberapa perlengkapan selama berjalannya upacara ini adalah, nasi tumpeng lengkap dengan sayur mayurnya, jenang boro-boro, dan beras kuning.

Tidak hanya makanan, dalam upacara tersebut juga dilengkapi dengan barang-barang yang bermanfaat. Barang-barang tersebut seperti, buku, alat tulis, dan sebagainya.

5. Mubeng Benteng

Tradisi Malam Satu Suro masih dilestarikan di pulau Jawa. Salah satu bentuk pelestariannya adalah dengan tradisi mubeng benteng.

Tradisi mubeng benteng (mengelilingi benteng) alias keraton di Yogyakarta merupakan simbol dari refleksi dan introspeksi diri.

Ketika mengelilingi keraton, para peserta tidak boleh mengeluarkan suara. Selain itu, peserta juga tidak boleh makan dan minum. Kegiatan mubeng benteng ini terbuka untuk umum, jadi siapa saja bisa ikut.

Baca juga artikel terkait KEARIFAN LOKAL atau tulisan lainnya dari Ega Krisnawati

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ega Krisnawati
Penulis: Ega Krisnawati
Editor: Yandri Daniel Damaledo