tirto.id - Indonesia memiliki banyak suku yang tersebar di berbagai daerah. Keunikan suku-suku ini yaitu memiliki budaya yang khas dan sering kali berbeda dengan suku lainnya. Kekhasan tersebut lantas menjadikan setiap suku memiliki kearifan lokal dalam kehidupan bermasyarakat.
Istilah kearifan lokal kerap diserupakan dengan kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genious).
Kearifan lokal adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Kearifan lokal menjadi sebuah sarana mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik.
Kearifan lokal menjadi pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi dengan wujud aktivitas yang dilakukan masyarakat lokal.
Bentuk kearifan lokal cukup beragam. Ia tertuang dalam adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, hingga kebiasaan sehari-hari. Adanya kearifan lokal ini membuat kehidupan bermasyarakat lebih bernilai.
Kearifan Lokal Masyarakat Sunda dan Contohnya
Suku Sunda mendominasi wilayah Provinsi Jawa Barat. Fakta ini terlihat dari bahasa daerah yang dipakai mayoritas warga di provinsi itu, yakni bahasa Sunda.
Di masyarakat Sunda, banyak kearifan lokal berkembang serta beragam, baik berkaitan dengan petuah kehidupan, menjaga alam, dan lain sebagainya.
Dalam hal petuah hidup, misalnya, masyarakat Sunda memiliki kearifan lokal berupa nukilan atau kutipan. Nukilan ini berhubungan dengan anjuran dan larangan dalam hidup bermasyarakat.
Nukilan sebagai salah satu kearifan lokal yang menjadi peninggalan peradaban masa lalu. Menurut Sudjana dan Sri Hartati, dalam Nukilan Kearifan Lokal Suku Sunda Berupa Anjuran dan Larangan (PESAT, 2011), setidaknya ada 317 nukilan yang berkembang di masyarakat Sunda.
Semuanya dapat diklasifikasikan berupa anjuran dan larangan, yang sebagian besar bersumber dari naskah klasik ataupun sumber tertulis lainnya.
Contoh nukilan anjuran yaitu "Indung suku ge moal dibejaan" yang berarti "Ibu jari pun tak akan diberi tahu." Nukilan ini adalah anjuran untuk berkomitmen saat menjaga rahasia ketika seseorang diberikan amanah untuk hal itu.
Sementara itu contoh nukilan larangan yaitu "Dikungkung teu diawur, dicangcang teu diparaban (Dikurung tidak dirawat, diikat tidak diberi makan)". Petuah ini ditujukan pada suami yang tidak merawat istrinya dengan menafkahinya. Setiap suami yang punya tanggung jawab tidak akan memperlakukan istri seperti itu.
Kearifan lokal suku Sunda lainnya terlihat dari budaya mengurangi risiko bencana. Masyarakat Sunda memiliki bangunan rumah bambu tahan gempa. Dalam sebuah eJurnal UPI disebutkan, bahan rumah ini 80 persen memakai bambu dan bahan alami lainnya. Ketahanannya bahkan mencapai lebih dari 20 tahun dan masih kokoh.
Kelebihan rumah bambu khas Suku Sunda yaitu tahan terhadap guncangan saat gempa. Bambu memiliki sifat fleksibel dan lentur. Jika saja rumah bambu roboh akibat gempa, risiko korban jiwa juga lebih rendah dibanding kasus serupa di rumah tembok.
Contoh kearifan lokal masyarakat Sunda lainnya diulas di artikel "Kearifan Lokal Masyarakat Sunda dalam Memitigasi Bencana dan Aplikasinya sebagai Sumber Pembelajaran IPS Berbasis Nilai," yang dimuat Jurnal Penelitian Pendidikan (Vol 14, No 2, 2014) terbitan LPPM UPI.
Artikel ilmiah karya Enok Maryani dan Ahmad Yani tersebut merupakan hasil riset di enam lokasi komunitas adat di Jawa Barat dan Banten.
Keenam lokasi penelitian kearifan lokal itu adalah Desa Pangandaran (Pangandaran, Jawa Barat; Kampung Kuta (Ciamis, Jawa Barat); Kampung Naga (Tasikmalaya, Jabar); Desa Kanekes (Lebak, Banten); dan Kasepuhan Ciptagelar (Sukabumi, Jawa Barat).
Di antara kearifan lokal yang ditemukan dalam penelitian itu adalah Konsep Leuweung Kolot yang mirip dengan konsep hutan lindung sebagai kawasan yang sama sekali tidak boleh dimasuki.
Selain itu ada konsep Leuweung Larangan yang mirip dengan hutan penyangga yaitu hutan yang dilarang dirambah atau dibuka tetapi masih boleh dimasuki dengan seizin para ketua adat.
Di Kanekes, Leuweung Larangan digunakan sebagai lokasi pemahaman para pu’un atau ketua adat sehingga menambah kewibawaan hutan.
Kearifan lokal di masyarakat Jawa Barat (Sunda) juga bisa ditemukan di sejumlah dongeng yang mengandung nilai-nilai yang positif untuk membentuk karakter anak-anak.
Contoh cerita rakyat yang sering didongengkan kepada anak-anak di masyarakat Sunda misalnya, ialah dongeng sasakala gunung tangkuban parahu, dongeng si kabayan, dongeng kancil dan kura-kura, serta banyak lainnya.
Dongeng-dongeng itu mengandung pesan-pesan moral yang bisa dijadikan cerminan anak-anak dalam menjalani hidup, demikian dijelaskan dalam salah satu karya ilmiah terbitan Badan Bahasa, Kemdikbud.
Peribahasa yang hidup di masyarakat Sunda (Jawa Barat) juga banyak yang memuat nilai-nilai kearifan lokal. Sejumlah contohnya diulas artikel ilmiah "Nilai Kearifan Lokal dalam Peribahasan Sunda: Kajian Semiotika" karya Siti Kodariah dan Gugun Gunardi yang dimuat Jurnal Patanjala (Vol 7, No 1, 2015) terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat.
Contoh kearifan lokal Sunda termuat dalam peribahasa "cul dogdog tinggal igel" yang mengandung ajaran moral bahwa orang yang serakah dan lupa diri akan tercela di masyarakat dan dianggap tidak bertanggung jawab.
Kearifan lokal Sunda lainnya ada di peribahasa "nété tarajé nincak hambalan" yang mencerminkan pandangan mengenai ketertiban dan kedisiplinan dalam mencapai suatu maksud yang diinginkan.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Addi M Idhom