tirto.id - Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang membentuk jati diri suatu bangsa. Kearifan lokal tidak hanya berasal dari daerah di Indonesia.
Namun, juga berbagai bidang, contohnya dalam sistem konservasi tanah dan air.
Dilansir dari pemakalah utama 4 berjudul Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem Konservasi Tanah dan Air, secara etimologi kearifan lokal terdiri dari dua kata.
Dua kata tersebut adalah kearifan (wisdom) dan lokal (local). Berdasarkan pemahaman dari KBBI lokal berarti setempat. Sementara kearifan, berarti kebijaksanaan.
Dengan demikian, kearifan lokal berarti gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan berniat baik. Gagasan-gagasan tersebut tertanam, dan dipatuhi oleh anggota masyarakat.
Para ahli mengemukakan beberapa pengertian terkait pengertian lokal. Beberapa pengertian tersebut, pertama dikemukakan oleh seorang penulis dari London yang bernama HG. Quaritch Wales.
Menurut Wales, kearifan lokal disebut juga sebagai local genius. Local genius berarti, sejumlah ciri kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat sebagai sebuah akibat dari pengalamannya di masa lalu.
Sementara menurut penulis Yunus Abidin, kearifan lokal dipahami sebagai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu. Budaya tersebut ditempatkan pada suatu lokasi tertentu.
Tidak hanya itu, budaya juga dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus globalisasi. Lantaran, kearifan lolak tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa.
Bedasarkan dasar hukumnya pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat. Tujuannya yaitu, untuk melindungi, dan mengelola lingkungan hidup dengan lestari.
Dari semua pemahaman sebelumnya, inti dari definisi kearifan lokal yaitu kumpulan pengetahuan berupa nilai, norma, dan aturan-aturan khusus yang berkembang. Aturan-aturan tersebut mesti ditaati dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Contoh Kearifan Lokal Tanah dan Air dalam Bidang Budaya
Kearifan lokal yang berkaitan dengan konservasi air dan tanah dapat berupa nilai-nilai yang diwujudkan dalam praktik ritual, maupun upacara adat.
Konservasi tersebut juga dapat diwujudkan dalam bentuk anjuran maupun larangan untuk tidak menggunakan sumberdaya air dan tanah secara berlebihan.
Selain itu, konsevasi juga dapat diwujudkan berupa sanksi bagi orang-orang yang melanggar aturan di dalamnya. Berikut ini beberapa contoh praktik budaya dan kearifan lokal di Indonesia:
1. Di Jawa
a. Pranoto Mongso
Berdasarkan bahan bacaan Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 berjudul Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan milik Suhartini Pranoto mongso merupakan aturan waktu musim yang digunakan oleh para tani di pedasaan.
Aturan tersebut didasarkan pada naluri dari leluhur, dan dipakai sebagai dasar untuk mengolah pertanian.
Maka itu, pranoto mongso memberi arahan kepada petani untuk bercocok tanam dengan cara mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan.
Sehingga, pemanfaatan tanah oleh petani sifatnya terukur. Meskipun, air dan saluran irigasi sudah tersedia dengan baik. Praktik ini dipercaya dapat menjaga keseimbangan alam.
b. Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung merupakan praktik bercocok tanam dengan cara membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Praktik ini umumnya berlangsung di lereng Bukit Sumbing dan Sindoro.
Nyabuk gunung adalah suatu wujud konservasi lahan dalam bercocok tanam. Hal itu karena didasarkan pada garis konturnya. Berbeda dengan praktik nyabuk gunung di Dieng yang memotong kontur pada saat bercocok tanam.
Memotong kontur dapat mempermudah terjadinya longsor.
c. Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin)
Anggapan tentang tempat keramat cenderung membuat banyak orang tidak merusak tempat tersebut. Sebaliknya, mereka akan memelihara tempat itu. Bahkan, tidak berani untuk membuang sampah sembarangan.
Mereka takut jika nanti karma buruk akan diterima di kemudian hari. Misalnya, pada pohon beringin besar. Praktik ini merupakan bentuk konservasi karena dengan memelihara pohon, maka seseorang akan menjaga sumber air.
Hal ini disebabkan karena, pohon beringin memiliki akar yang sangat kuat. Dekat lokasi akar pohon yang kuat, biasanya ada sumber air.
2. Di Sulawesi
Di Sulawesi terdapat komunitas adat Karampuang. Komunitas adat itu berperan dalam pengelolaan hutan. Mereka meyakini bahwa hutan merupakan bagian dari alam dirinya.
Sehingga, untuk menjaga keseimbangan ekosistem, di dalamnya terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat.
Aturan itu akan dibacakan oleh seorang galla atau pelaksana harian pemerintah adat tradisional sebagai suatu bentuk fatwa adat. Pembacaannya akan dilakukan di hadapan dewan adat dan warga sebagai suatu bentuk peraturan bersama.
3. Di Baduy Dalam
Masyarakat Baduy meyakini bahwa mereka adalah orang yang pertama yang diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi.
Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun.
Tidak ada seorang pun yang berhak dan berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku secara turun menurun.
Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Peraturan tersebut yaitu:
- Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya.
- Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenis-jenis tertentu.
- Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat pemberantas hama penyakit, atau meracuni ikan.
- Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat, dan sebagainya.
Contoh Kearifan Lokal Tanah dan Air dalam Bidang Agama
Solusi dari permasalahan lingkungan tidak hanya dengan teknologi dan metode ilmiah saja. Solusinya juga bisa dengan kepercayaan yang diajarkan dalam agama.
Berikut ini konservasi menurut berbagai ajaran agama di Indonesia:
1. Konservasi menurut ajaran Islam
Dalam islam terdapat empat konsep yang dipahami sebagai cara untuk membangun pemahaman agama terhadap ekologi atau lingkungan. (1) taskhir (penundukan), (2) ‘abd (kehambaan), (3)khalifah (pemimpin), dan amanah (dipercaya).
Empat konsep tersebut berdasar dari konsep tujuan penciptaan alam semesta dan manusia.
Secara seimbang, pandangan yang komprehensif akan memberikan pengetahuan yang baik pada relasi manusia dan lingkungan dalam kaitannya dengan keseimbangan alam.
2. Konservasi menurut ajaran Kristen dan Katolik
Pada tahun 1967, sejarawan Lynn White Jr. mempublikasikan sebuah paper berjudul The Historic Roots of Our Ecological Crisis.
Di dalamnya dia membahas tentang masyarakat kristiani yang sangat berhati-hati dalam mengeksploitasi sumber daya alam.
Hal itu didasarkan pada Injil yang menyatakan bahwa Tuhan telah mengutus Adam dan Ave untuk menguasai alam: “Berhasil melipatgandakan, menundukkan, dan mengisi bumi, serta menguasai ikan-ikan di laut, unggas-unggas di udara, dan semua yang ada di bumi” (Terjemahan bebas dari Genesis 1:28).
Sehingga, ajaran Kristen memandang bahwa kerusakan lingkungan hidup sebagai bagian dan wujud dari perilaku manusia yang tidak sejalan dengan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta.
3. Konservasi menurut ajaran Hindu
Ajaran-ajaran agama Hindu yang dituangkan ke dalam upacara atau yadnya berlandaskan pada filsafat Tri Hita Kirana (THK).
THK terdiri dari tiga aspek yang dijalankan dalam kehidupan harmonis berkelanjutan. Pertama, Palemahan, yang mengatur keharmonisan manusia dengan lingkungannya, termasuk lingkungan hayati.
Kedua, Parahyangan yang berarti mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (religius). Ketiga, Pawongan yang berarti mengatur hubungan antara manusia dengan masyarakat (aspek sosial kemasyarakatan).
Secara filosofis, ketiga aspek tersebut saling berkaitan. Tidak hanya itu, tiga aspek tersebut juga telah menjadi tradisi komunal yang dimanifestasikan dalam berbagai kegiatan religius.
4. Konservasi menurut ajaran Budha
Agama Budha memandang terdapat hubungan antara kemoralan seseorang dengan kelestarian alam.
Hal itu disebabkan karena peristiwa yang terjadi di alam ini saling berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh tersebut ada pada terdapat pada komponen-komponen lainnya. Komponen itu tersusun dalam hukum paticcasamuppada.
Hal ini berarti bahwa perilaku yang dilakukan oleh manusia sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup, dan lingkungan juga memberikan pengaruh terhadap manusia. Jika manusia merusak lingkungan, maka lingkungan akan memberikan dampak buruk bagi manusia.
5. Konservasi menurut aliran kepercayaan Lain
Salah satu aliran kepercayaan yang sampai saat ini berkembang di Indonesia adalah Komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu.
Komunitas ini lebih sering dikenal dengan Dayak Indramayu. Aliran kepercayaan ini mempunyai pandangan teologis tersendiri yang berbeda dengan agama lain.
Mereka meyakini bahwa alam adalah sumber kehidupan, alam menjadi tempat tumbuh, dan matinya semua makhluk hidup termasuk manusia.
Alam juga merupakan pencipta kehidupan. Mereka meyakini bahwa manusia lahir dari saripati alam. Sama halnya dengan seorang bayi yang lahir dari pertemuan sel ovum dan sperma kedua orang tuanya.
Sel tersebut tercipta dari saripati makanan, dan makanan manusia diperoleh dari alam. Sehingga alam menjadi pusat proses kehidupan.
Penulis: Ega Krisnawati
Editor: Dhita Koesno