tirto.id - Selama ini, pengertian kearifan lokal sering disampaikan dengan penjelasan dan pemahaman yang beragam. Kearifan lokal kerap pula dihubungkan dengan budaya tradisional. Namun, kearifan lokal sebenarnya mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengetahuan tradisional.
Ini karena kearifan lokal juga berkaitan dengan cara hidup suatu masyarakat yang mencerminkan pengetahuan kebudayaan dan mencakup pula model-model pengelolaan sumber daya akam secara bijaksana dan bertanggung jawab.
Identitas atau kepribadian budaya sebuah masyarakat yang menyebabkan mereka bisa menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri, bisa pula disebut dengan Kearifan Lokal.
Sementara Muh. Aris Rifai dalam bukuPengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal (2019: 35) menyimpulkan, definisi kearifan lokal adalah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya, dan kelembagaan serta praktek dalam mengelola sumber daya alam.
Dengan demikian, menurut Rifai, kearifan lokal menjadi wujud formasi dari keseluruhan bentuk keyakinan, pengetahuan, pemahaman, wawasan, serta adat kebiasaan atau etika, yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan dalam komunitas ekologis.
Adapun bukuKearifan Lokal Petani Kopi Dataran Tinggi Gayo (2020: 2), karya Dr. Puspitawati Dkk, yang mengutip penjelasan dari Clifford Geertz, memuat penjelasan bahwa substansi kearifan lokal adalah norma yang berlaku di suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya serta menjadi acuan dalam tindakan maupun perilaku sehari-hari. Maka, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.
Sedangkan dalam artikel berjudul "Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas Keindonesiaan" yang dilansir di laman Kemendikbud, Suyono Suyatno menulis, kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, sekaligus pandangan hidup (way of life), yang mengakomodasi kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan.
Contoh Kearifan Lokal di Indonesia: Jateng, Jabar, Bali
Di Indonesia, kearifan lokal bisa berbentuk nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum, adat, hingga aturan-aturan khusus. Kearifan lokal juga menjadi tradisi budaya, yang bisa menjaga kesimbangan lingkungan serta kelestarian alam.
Kembali mengutip artikel karya Suyono Suyatno, di Indonesia, kearifan lokal tidak hanya berlaku di sebuah komunitas budaya atau etnik tertentu, melainkan juga sering kali hidup dengan sifat lintas-budaya atau lintas-etnik sehingga membentuk nilai-nilai kebudayaan yang bersifat nasional.
Sejumlah contoh nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam banyak kelompok etnis ataupun suku di Indonesia ialah gotong royong, toleransi, menghormati alam, saling menolong dan lain sebagainya.
Nilai-nilai moral dari kearifan lokal di Indonesia tersebut diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan (pepatah, peribahasa, cerita rakyat), manuskrip, hingga tradisi. Kearifan lokal juga kerap dikemas dalam bentuk kepercayaan tradisional dan mitologi.
Berikut ini, sejumla contoh kearifan lokal yang hingga saat ini masih hidup di tengah masyarakat Provinsi Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
1. Contoh Kearifan Lokal di Bali
Sebagai salah satu daerah penghasil padi yang produktif, Bali memiliki sistem irigasi kuno untuk mengairi sawah mereka, yang disebut dengan Subak.
Dipandu oleh nilai-nilai kearifan lokal, agama dan budaya; serta dikombinasikan dengan teknik yang kompleks dan prinsip yang mengedepankan kesejahteraan sosial subak, tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri.
Menukil penjelasan di laman Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), istilah ‘Subak’ berasal dari Bahasa Bali, yang mengacu pada sistem dan kelembagaan sosial yang memiliki aturan-aturan dan ciri khasnya tersendiri.
Subak sekaligus merujuk pada adanya asosiasi petani dalam menentukan penggunaan air irigasi untuk menanam padi yang dilakukan secara demokratis dan hierarkis sesuai dengan pembagian peran bagi masing-masing pemilih lahan sawah. Tak hanya itu, banyak pakar pertanian dunia yang sudah mengakui bahwa sistem Subak merupakan prinsip pengelolaan irigasi unggul dan maju.
Irigasi Subak (palemahan) memiliki fasilitas pokok yang berupa bendungan air (pengalapan), parit (jelinjing), serta sarana untuk memasukan air ke dalam bidang sawah garapan (cakangan).
Meskipun pada dasarnya merupakan sistem irigasi, Subak juga dihayati oleh masyarakat Bali sebagai konsep kehidupan, karena merupakan manifestasi langsung dari filosofi yang disebut Tri Hita Karana. Adapun secara bahasa, pengertian Tri Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan
Ketiga penyebab yang terkandung dalam sistem Subak ialah Parahyangan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan); Pawongan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama); dan Palemahan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungan).
Kearifan lokal masyarakat Bali tersebut sudah diakui oleh UNESCO sebagai World Cultural Heritage. Sistem Subak dianggap tidak hanya sekadar situs alam berbentuk materi, melainkan juga filosofi luhur yang perlu dilindungi.
2. Contoh Kearifan Lokal di Jawa Barat
Contoh kearifan lokal di masyarakat Jabar itu diulas di artikel "Kearifan Lokal Masyarakat Sunda dalam Memitigasi Bencana dan Aplikasinya sebagai Sumber Pembelajaran IPS Berbasis Nilai," yang dimuat Jurnal Penelitian Pendidikan (Vol 14, No 2, 2014) terbitan LPPM UPI.
Bentuk kearifan lokal itu tercermin di bangunan Rumah Bambu, Tata Ruang & Zonasi Penggunaan Lahan dalam Skala Mikro dan Pengelolaan Lahan Secara Ramah Lingkungan.
Artikel ilmiah karya Enok Maryani dan Ahmad Yani tersebut merupakan hasil riset di enam lokasi komunitas adat di Jawa Barat dan Banten.
Keenam lokasi penelitian kearifan lokal itu adalah Desa Pangandaran (Pangandaran, Jawa Barat; Kampung Kuta (Ciamis, Jawa Barat); Kampung Naga (Tasikmalaya, Jabar); Desa Kanekes (Lebak, Banten); dan Kasepuhan Ciptagelar (Sukabumi, Jawa Barat).
Di antara kearifan lokal yang ditemukan dalam penelitian itu adalah Konsep Leuweung Kolot yang mirip dengan konsep hutan lindung sebagai kawasan yang sama sekali tidak boleh dimasuki.
Selain itu ada konsep Leuweung Larangan yang mirip dengan hutan penyangga yaitu hutan yang dilarang dirambah atau dibuka tetapi masih boleh dimasuki dengan seizin para ketua adat.
Di Kanekes, Leuweung Larangan digunakan sebagai lokasi pemahaman para pu’un atau ketua adat sehingga menambah kewibawaan hutan.
Kearifan lokal di masyarakat Jawa Barat (Sunda) juga bisa ditemukan di sejumlah dongeng yang mengandung nilai-nilai yang positif untuk membentuk karakter anak-anak.
Contoh cerita rakyat yang sering didongengkan kepada anak-anak di masyarakat Sunda misalnya, ialah dongeng sasakala gunung tangkuban parahu, dongeng si kabayan, dongeng kancil dan kura-kura, serta banyak lainnya.
Dongeng-dongeng itu mengandung pesan-pesan moral yang bisa dijadikan cerminan anak-anak dalam menjalani hidup, demikian dijelaskan dalam salah satu karya ilmiah terbitan Badan Bahasa, Kemdikbud.
Peribahasa yang hidup di masyarakat Sunda (Jawa Barat) juga banyak yang memuat nilai-nilai kearifan lokal. Sejumlah contohnya diulas artikel ilmiah "Nilai Kearifan Lokal dalam Peribahasan Sunda: Kajian Semiotika" karya Siti Kodariah dan Gugun Gunardi yang dimuat Jurnal Patanjala (Vol 7, No 1, 2015) terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat.
Contoh kearifan lokal di Jawa Barat itu termuat daam peribahasa "cul dogdog tinggal igel" yang mengandung ajaran moral bahwa orang yang serakah dan lupa diri akan tercela di masyarakat dan dianggap tidak bertanggung jawab.
Contoh kearifan lokal lainnya di peribahasa "nété tarajé nincak hambalan" yang mencerminkan kearifan masyarakat Sunda mengenai ketertiban dan kedisiplinan dalam mencapai suatu maksud yang diinginkan.
3. Contoh Kearifan Lokal di Jawa Tengah
Cilacap, Jawa Tengah merupakan salah satu daerah dengan komunitas nelayan yang dianggap terbelakang dan tertinggal. Namun, komunitas nelayan di Cilacap memelihara beberapa tradisi menjadi unsur-unsur penting dalam kebudayaan nasional.
Masyarakat di daerah itu memelihara mitologi Ratu Selatan sebagai penjaga pantai selatan Jawa, dan sering pula disebut Nyi Roro Kidul di Yogyakarta.
Mitologi Ratu Selatan mengilhami kepercayaan di kalangan nelayan Cilacap pada keyakinan bahwa pada Jumat Kliwon, mereka tidak boleh menangkap ikan agar tetap selamat dan mendapat berkah.
Selain itu, kepercayaan ini membuat mereka harus melakukan beberapa tradisi serta pantangan yang harus mereka patuhi.
Tradisi ini diulas dalam artikel ilmiah "Tradisi Jumat Kliwonan sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Kab. Cilacap, Jawa Tengah" karya Bagus Wiranto yang termuat di Jurnal Sabda (Vol 13, No 1, 2018) terbitan Undip.
Hasil riset Bagus Wiranto itu menyimpulkan tradisi Jumat Kliwonan di masyarakat nelayan Cilacap, yang sarat akan unsur mistis dan religi, menyimpan banyak nilai-nilai kearifan lokal.
Nilai-nilai itu seperti ajaran moral bahwa tidak selamanya manusia harus mengejar duniawi semata tapi juga harus memperhatikan relasi dengan sang pencipta, lingkungan alam dan masyarakat.
Contoh kearifan lokal lainnya di Jawa Tengah bisa ditemukan dalam Tradisi Nyadran masyarakat sekitar Situs Liangan, Temanggung. Ritual adat nyadran telah dilaksanakan warga sejak dahulu hingga kini secara turun temurun.
Dalam bukuKearifan Lokal Dalam Tradisi Nyadran Masyarakat Sekitar Situs Liangan (2016), dijelaskan bahwa tradisi nyadran di masyarakat sekitar Situs Liangan memuat banyak pesan moral.
Tradisi nyadran itu mengajarkan pentingnya rasa syukur pada yang maha kuasa, keselarasan kebutuhan lahir dan batin, serta perekat masyarakat lintas-agama, etnis, dan sosial. Tradisi nyadran tersebut juga meningkatkan solidaritas, kegotongroyongan, dan keguyuban masyarakat.
Di sejumlah daerah Jawa Tengah yang lain, tradisi nyadran juga masih lestari dan digelar secara rutin setiap tahun.
Penulis: Versatile Holiday Lado
Editor: Addi M Idhom