tirto.id - Google Doodle hari ini menghadirkan Subak, sistem irigasi tradisional di Bali, Indonesia, yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Subak adalah sistem yang dimiliki oleh masyarakat petani di Bali yang khusus mengatur tentang manajemen atau sistem pengairan/irigasi sawah secara tradisional. Laman resmi Buleleng Bali menulis, keberadaan Subak merupakan manifestasi dari filosofi/konsep Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan”. Tri Hita Karana sendiri berasal dari kata "Tri" yang artinya tiga, "Hita" yang berarti kebahagiaan/kesejahteraan dan "Karana" yang artinya penyebab.
Bali dianggap sebagai salah satu daerah penghasil padi paling produktif di negara ini. Rahasia untuk keunggulan Bali dalam menghasilkan beras berkualitas tinggi adalah pada sistem irigasi kuno untuk menngairi sawah mereka, yang disebut dengan Subak.
Dipandu oleh nilai-nilai kearifan lokal, agama dan budaya; serta dikombinasikan dengan teknik yang kompleks dan prinsip yang mengedepankan kesejahteraan sosial - Subak kini telah menjadi salah satu warisan budaya Dunia yang ditetapkan oleh UNESCO, demikian dikutip bali.com.
Bagi masyarakat Bali, subak tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri. Dalam pandangan rakyat Bali, Subak adalah gambaran langsung dari filosofi Tri Hita Karana tersebut.
Sebagai suatu metode penataan hidup bersama, Subak mampu bertahan selama lebih dari satu abad karena masyarakatnya taat kepada tradisi leluhur.
Pembagian air dilakukan secara adil dan merata, segala masalah dibicarakan dan dipecahkan bersama, bahkan penetapan waktu menanam dan penentuan jenis padi yang ditanam pun dilakukan bersama. Sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran akan ditentukan sendiri oleh warga melalui upacara atau ritual yang dilaksanakan di pura. Harmonisasi kehidupan seperti inilah yang menjadi kunci utama lestarinya budaya Subak di pulau dewata.
"Subak" merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Bali, kata tersebut pertama kali dilihat di dalam prasasti Pandak Bandung yang memiliki angka tahun 1072 M. Kata subak tersebut mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang unik, memiliki pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi yang demokratis dari petani dalam menetapkan penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.
Ancaman bagi area persawahan subak di Bali
Ditetapkannya subak sebagai Warisan Dunia, juga telah mendatangkan keuntungan bagi warga sekitar, namun dia melihat seperti subak di Jatiluwih, pemerataan ekonomi tidak terjadi. Padahal di subak Jatiluwih didukung oleh 19 subak lainnya, namun masyarakat di subak penyangga tidak mendapatkan manfaat yang sama, demikian dikutip Antara.
Tak hanya itu, wisatawan yang datang juga telah mengotori saluran air irigasi dengan sampah plastik, akibatnya musim panas sampah mengendap di saluran dan sewaktu musim hujan sampah itu terbawa hingga ke sawah.
Untuk mengatasi hal tersebut dia menyarankan bagi petani untuk tetap memperhatikan konservasi sumber daya alam dan prinsip Tri Hita Karana. Pemerintah daerah setempat perlu diminta agar mengeluarkan aturan untuk melarang adanya alih fungsi lahan.
Sistem Subak merupakan bagian dari sistem pertanian tradisional. Bentang lahan subak yang telah bertahan sejak berabad silam adalah wujud warisan budaya yang senantiasa hidup di Pulau Bali.
Tri Hita Karana sebagai falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Bali adalah wujud tradisi budaya yang telah mendapat perhatian dunia, khususnya dalam menjaga keseimbangan hidup antara manusia, lingkungan alam, dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Refleksi Subak melalui pengaturan pembagian air yang teratur dan seimbang, yaitu menjaga ekosistem melalui organisasi subak dan persembahan rasa syukur pada Sang Pencipta dilaksanakan pada pura yang ditempatkan pada area-area tertentu dalam kawasan.
Editor: Agung DH