tirto.id - Tradisi nyadranrutin dijalankan masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadan. Kegiatan ini lahir dari kebudayaan suku Jawa, khususnya yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Tidak hanya itu, tradisi nyadran juga rutin dilaksanakan oleh komunitas Jawa yang tinggal di luar pulau Jawa. Salah satu contohnya adalah komunitas masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di Desa Triharjo Kabupaten Lampung Selatan.
Nyadran sebetulnya tidak hanya diselenggarakan pada bulan Ramadan saja. Masyarakat juga melaksanakan tradisi ini untuk menyambut musim panen sebagai rasa syukur terhadap hasil bumi yang diperoleh.
Tradisi nyadran dilaksanakan berbeda-beda di setiap wilayah. Namun, secara umum tradisi ini memuat kegiatan berupa bersih-bersih desa dan makam, ziarah, sedekah bumi, hingga selamatan dan makan bersama.
Kegiatan nyadran di sejumlah wilayah bisa dikenal dengan nama yang beragam. Di wilayah DI Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Kulon Progo tradisi nyadran dikenal sebagai kenduri masal yang bermanfaat untuk mempererat tali persaudaraan.
Di wilayah Jawa Tengah, seperti di Boyolali dan Temangung tradisi nyadran juga dikenal dengan sebutan sadranan. Sementara, wilayah Jawa Timur seperti Bojonegoro tradisi nyadran juga sering disebut dengan manganan atau sedekah bumi.
Tradisi Nyadran saat Bulan Ramadan
Nyadran juga diaksanakan untuk menyambut momen-momen keagamaan seperti bulan Ramadan. Tradisi ini dipercaya sudah berlangsung selama ratusan tahun dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Melansir laman resmi Kementerian PANRB, nyadran atau sadranan berasal dari kata "sraddha" yang artinya keyakinan. Kata ini diambil dari akulturasi budaya Jawa dan Islam yang berasal dari Timur Tengah.
Kegiatan nyadran diselenggarakan pada bulan Ruwah dalam kalender Jawa, tepatnya pada 15, 20, dan 23 Ruwah.
Tradisi nyadran secara umum diselenggaran kebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Ketika melakukan nyadran menjelang bulan Ramadan, masyarakat umumnya melaksanakan sejumlah kegiatan, yaitu:
1. Bersih-bersih dan ziarah makam
Kegiatan bersih-bersih dan ziarah dilakukan di makam terdekat maupun makam leluhur. Sembari makam dibersihkan, masyarakat membawa sejumlah hasil bumi untuk ditinggalkan di area pemakaman. Setelah itu, masyarakat akan meinggalkan uang untuk biaya pengelolaan makam.
2. Doa bersama
Kegiatan berdoa bersama umumnya dilakukan setelah pembersihan makam selesai. Kegiatan ini bisa dilaksanakan di hari yang sama atau satu hari setelah bersih-bersih makam.
Doa bersama bertujuan untuk memanjatkan puji syukur kepada Sang Pencipta sekaligus mendoakan para leluhur. Momen ini juga sering dimanfaatkan untuk bermaaf-maafan sebelum melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan.
3. Makan bersama
Makan bersama biasanya dilaksanakan setelah melakukan doa bersama. Kegiatan ini paling dinanti oleh masyarakat dalam tradisi nyadran. Seluruh warga masyarakat setempat diundang untuk mengikuti prosesi ini. Tujuannya memperkuat tali persaudaraan dan persatuan.
Makanan yang dihidangkan saat nyadran berbeda-beda tergantung kemampuan masyarakat dan hasil bumi di wilayah setempat. Umumnya masyarakat akan menyembelih hewan ternak seperti kambing dan ayam untuk prosesi ini. Daging kambing dan ayam yang sudah dimasak nantinya dibagi-bagikan kepada masyarakat atau dihidangkan saat makan bersama.
4. Perayaan atau kenduri
Kenduri yang diselenggarakan ketika nyadran di setiap masyarakat berbeda-beda, bisa ada ataupun tidak. Perayaan saat nyadran umumnya diisi dengan kegiatan kebudayaan atau keagamaan, seperti pertunjukkan wayang kulit atau pelantunan shalawat.